LIPUTAN KHUSUS:
Perdagangan Karbon Bukan Solusi Indonesia Atasi Iklim
Penulis : Syifa Dwi Mutia
Penetapan tarif karbon Indonesia sangat rendah dari rekomendasi Bank Dunia dan IMF bahkan dari laporan IPCC yang sudah memaparkan kisaran tarif karbon.
Energi
Sabtu, 06 November 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pada bulan Oktober, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dengan tarif Pajak Karbon hanya Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Pajak ini akan diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi batas (cap and tax) yang ditetapkan.
Menurut Manager Program Ekonomi Hijau Institute for Essential Services Reform (IESR), Lisa Wijayani, penetapan tarif karbon Indonesia sangat rendah dari rekomendasi Bank Dunia dan IMF bahkan laporan IPCC yang sudah memaparkan kisaran tarif karbon.
“Penetapan harga pajak karbon di angka Rp30 per kg (USD 2 per ton) masih sangat jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan IMF yang menetapkan harga pajak karbon negara berkembang seharusnya berada di kisaran USD 35-100t/CO2e. Bahkan laporan IPCC memaparkan bahwa tarif pajak karbon di tahun 2020 berada di kisaran US$ 40-80/tCO2. Dengan kecilnya tarif pajak karbon maka tujuan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan melalui pajak karbon ini tidak akan tercapai,” jelas Lisa dalam siaran pers IESR (4/11).
Sementara itu, Presiden Joko Widodo masih berkutat pada perdagangan karbon dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi COP 26 di Glasgow. Dalam pidatonya, Jokowi menekankan pentingnya peranan pasar karbon dan harga karbon dalam mengatasi krisis iklim.
“Selain itu, carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari upaya penanganan isu perubahan iklim. Ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, inklusif, dan adil harus diciptakan,” pidato Jokowi di KTT COP26, Glasgow.
Menanggapi Pidato Jokowi, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyayangkan Pak Jokowi tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk mendorong tercapainya Perjanjian Paris dan seolah menyerahkan tanggung jawabnya pada negara maju untuk tercapainya kondisi netral karbon di Indonesia lebih cepat.
“Indonesia seharusnya menyampaikan ambisi iklimnya secara lugas, peningkatan target Nationally Determined Contribution (NDC) dan menyampaikan kebutuhan pendanaan dari negara-negara maju untuk mencapai emisi puncak sebelum 2030 dan dekarbonisasi pada 2060 atau lebih awal. Sayangnya Presiden tidak secara jelas menyatakan target dan rencana aksi mitigasi yang lebih ambisius dalam pidatonya,” ujar Fabby Tumiwa, yang saat ini sedang di Glasgow menghadiri COP26.a
Berdasarkan laporan Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021, jika Indonesia tidak berupaya untuk memperbarui target NDC dengan mengurangi gas rumah kaca lebih besar 29 persen tanpa syarat (dengan usaha sendiri), emisi justru akan meningkat hingga 535 persen di atas level tahun 1990, atau sekitar 1.817 MtCO2e pada tahun 2030.
Agar tetapi di bawah 1,5 derajat celcius, emisi Indonesia pada 2030 harus sekitar 461 MtCO2e, atau 61 persen di atas 1990. Ini menunjukkan adanya kesenjangan ambisi sebesar 1.168 MtCO2e.
Lisa berpendapat Indonesia memiliki sumber daya alam dan mineral yang cukup sehingga mampu untuk menaikkan ambisi iklim melebih target 29 persen pada 2030.
“Jika Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar telah menerapkan konservasi dan efisiensi energi sejak dini maka tanpa kebutuhan pendanaan yang bergantung dengan negara maju, Indonesia akan mampu mengurangi emisi karbon lebih besar dari target yang ada di NDC,” jelas Lisa.
Selain itu, IESR mengamati bahwa rencana Indonesia, yang diutarakan oleh Jokowi untuk bertransisi energi menuju energi bersih masih terkendala pada regulasi yang tak kunjung terbit. Jokowi mengemukakan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara, tetapi hingga kini Permen ESDM No. 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap masih tertahan di Kementerian Keuangan. Ditambah, Peraturan Presiden (Perpres) tentang energi baru terbarukan (EBT) yang dinantikan sejak awal tahun 2021, belum juga rampung.
“Seharusnya, pemerintah Indonesia secara beriringan menerbitkan segera regulasi yang tepat untuk menciptakan ekosistem pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, juga mendorong masuknya investasi negara maju. Regulasi dan target yang jelas dapat membuka peluang yang lebih besar untuk para investor menanamkan modalnya di energi terbarukan,” kata Lisa.
*Penulis merupakan reporter magang di betahita.id