LIPUTAN KHUSUS:
Satu Miliar Orang Akan Terdampak Panas Ekstrem Jika Suhu Naik 2C
Penulis : Kennial Laia
Satu miliar manusia diprediksi menderita stres akibat gelombang panas ekstrem jika suhu bumi naik menjadi 2C.
Perubahan Iklim
Rabu, 10 November 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Para ilmuwan kembali memperingatkan mengenai dampak kenaikan suhu bumi pada manusia. Kali ini diperkirakan 1 miliar manusia akan mengalami stres akibat gelombang panas ekstrem bahkan dengan kenaikan hingga 2C saja. Angka ini naik hingga 15 kali lipat dibandingkan jumlah yang terekspos hari ini.
Hasil studi tersebut diumumkan oleh Met Office Inggris pada konferensi perubahan iklim (COP26) di Glasgow, Selasa, 9 November 2021. Konferensi yang dihadiri delegasi dari 197 negara tersebut dinilai masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mencapai kesepakatan target 1.5C hingga agenda berakhir akhir pekan ini.
Met Office, yang merupakan badan meteorologi di Inggris, mengamati temperatur bolas basah—temperatur paling rendah yang bisa dicapai di bawah kondisi lingkungan dengan tambahan parameter evaporasi yang terjadi di lingkungan itu—yang mengandung panas dan kelembaban. Ketika suhunya mencapai 35C, tubuh manusia tidak mampu menyejukkan badan hanya dengan mengeluarkan keringat. Orang yang sehat yang berlindung di tempat teduh bahkan dapat meninggal dalam enam jam.
Analisis Met Office menggunakan batas 32C, suhu ketika pekerja beristirahat secara regular untuk menghindari kelelahan akibat panas, setidaknya 10 hari per tahun. Jika upaya menghentikan darurat iklim gagal dan suhu terus naik menjadi 4C, setengah populasi dunia akan menderita stres akibat gelombang panas ekstrem.
Suhu panas merupakan dampak paling nyata dari pemanasan global. Menurut studi terbaru, intensitas gelombang panas ekstrem juga meningkat tiga kali lipat di kota-kota dunia satu dekade terakhir. Pada musim panas 2020, lebih dari seperempat populasi di Amerika Serikat dilaporkan terdampak suhu panas ekstrem, dengan gejala termasuk mual dan kram.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya 166.000 jiwa meninggal akibat gelombang panas di seluruh dunia dalam dua terakhir hingga 2017. The Guardian melaporkan bahwa negara maju seperti Inggris juga sama sekali tidak siap terhadap kenaikan suhu, terutama pada wilayah rentan seperti rumah sakit dan sekolah.
Analisis Met Office berangkat dari studi yang dibiayai oleh Helix Climate dari Uni Eropa, yang juga memetakan risiko kenaikan banjir sungai, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, dan kerawanan pangan. Secara virtual, seluruh wilayah berpenduduk di dunia mengalami setidaknya satu dampak dari pemanasan global.
“Dampak iklim menghadirkan visi tentang masa depan yang menakutkan. Namun, tentu saja perubahan iklim yang parah akan mendorong banyak dampak, dan peta kami menunjukkan bahwa beberapa wilayah akan dipengaruhi oleh banyak faktor,” kata Andy Wiltshire dari Met Office, dikutip The Guardian, Selasa, 9 November 2021.
Negara-negara tropis seperti Brazil, Etiopia, dan India akan mengalami dampak paling parah dari stres akibat suhu panas ekstrem. Sebagian wilayah di negara tersebut juga akan didorong menuju batas ketahanan manusia.
Direktur Met Office Hadley Centre Prof Albert Klein Tank mengatakan, meski beberapa wilayah mengalami dampak terparah, seluruh wilayah di dunia akan ikut merasakan dampak berkelanjutan dari perubahan iklim.
“Peta ini mengungkap area di mana dampak paling berat diproyeksikan terjadi. Namun, seluruh wilayah di dunia – termasuk Inggris dan Eropa – akan terus mengalami dampak perubahan iklim,” kata Tank.
Ilmuwan telah memperingatkan mengenai tingkat mematikan dari suhu panas dan kelembaban selama bertahun-tahun. Studi pada 2015 menunjukkan bahwa sebuah teluk di Timur Tengah, yang merupakan jantung dari dari industri minyak, diperkirakan akan menderita gelombang panas di luar batas ketahanan manusia jika perubahan iklim terus terjadi tanpa upaya signifikan.
Wilayah paling mematikan di bumi terkait gelombang panas ekstrem adalah daratan Cina utara, salah satu area terpadat di dunia dan merupakan penghasil pangan paling penting bagi negara tersebut, menurut studi pada 2018.