LIPUTAN KHUSUS:
Food Estate Singkong Diduga Ilegal dan Berpotensi Bikin Banjir
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Pembukaan lahan food estate singkong di Gunung Mas diduga ilegal dan berpotensi memperluas wilayah banjir di kabupaten tersebut.
Ekosistem
Senin, 22 November 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pelaksanaan proyek food estate atau lumbung pangan dengan komoditi singkong di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng), diduga ilegal dan berpotensi memperluas wilayah banjir di Kalteng. Pembukaan lahan food estate dilakukan mendahului Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan terjadi penambahan luas wilayah banjir di Kabupaten Gunung Mas.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho W. mengatakan, direncanakan lahan untuk pengembangan food estate komoditi singkong di Kalteng seluas kurang lebih 1 juta hektare. Pengembangan proyek singkong dimulai di Gunung Mas dengan luas kurang lebih 30.000 hektare. Saat ini, lahan yang sudah dibuka seluas 634 hektare dan yang sudah ditanam singkong seluas 32 hektare.
Pembukaan atau land clearing lahan singkong di Gunung Mas itu dimulai pada 14 November 2020. Pekerjaan juga meliputi pembukaan jalan akses, pembukaan main road dan pekerjaan galian drainase. Selain itu pembangunan barak dan kantor. Namun pembukaan lahan 634 hektare dan sejumlah pekerjaan itu ternyata dilakukan mendahului KLHS food estate.
Karena rapat konsultasi publik penyusunan KLHS food estate tahap pertama yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertahanan bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah secara virtual melalui video conference, baru digelar 4 bulan setelah 634 hektare hutan alam digunduli, tepatnya pada 11 Februari 2021.
"Hal ini mengguatkan dugaan kepada kita semua bahwa pembukaan lahan food estate kebun singkong di Gunung Mas tanpa melalui mekanisme kajian KLHS seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup," kata Aryo, dalam pernyataan tertulisnya, 17 November 2021.
Pasal 15 Undang-Undang Lingkungan hidup menyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Aryo menegaskan, pembukaan lahan singkong seluas 634 hektare itu juga bertentangan dengan Permen LHK No.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food estate, khususnya Pasal 4 Ayat 5 huruf a yang berbunyi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b untuk Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan, meliputi KLHS/KLHS cepat, dan Ayat 6 huruf a yaitu persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b untuk penetapan KHKP, meliputi KLHS/KLHS cepat.
Selain diduga ilegal, pembukaan hutan alam untuk food estate singkong Gunung Mas juga berpotensi memperluas wilayah banjir. Aryo menyebut, berdasarkan data yang pihaknya himpun, selama 5 tahun terakhir, dari 2017 hingga 2021, wilayah Kabupaten Gunung Mas, mengalami perluasan wilayah banjir. Pada 2019 banjir yang terjadi menggenangi sekitar 8 kecamatan. Pada 2020 wilayah banjir meningkat menjadi 9 kecamatan dan pada 2021 meluas menjadi 12 kecamatan.
"Dampak yang akan terjadi dengan adanya pembukaan hutan untuk food estate kebun singkong di Kabupaten Gunung Mas sangat berisiko tinggi memperluas wilayah banjir di kawasan tersebut," ujar Aryo.
Aryo menjelaskan, deforestasi didefinisikan sebagai perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan. Konversi hutan menyebabkan terlepasnya cadangan karbon dalam biomassa tumbuhan dan memicu terjadinya degradasi tanah yang menyebabkan terlepasnya karbon dari bahan organik tanah. Perubahan vegetasi penutup lahan juga menyebabkan tidak terjadinya proses penyerapan karbon sehingga yang terjadi bukan hanya pelepasan cadangan karbon di hutan namun juga hilangnya fungsi penyerapan karbon oleh hutan.
Deforestasi diperkirakan menyumbang sekitar 20 persen emisi gas rumah kaca di atmosfer. Dengan persentase sedemikian, maka deforestasi menjadi penyebab terbesar kedua--setelah emisi dari penggunaan bahan bakar fosil--perubahan iklim. Bahkan, di negara negara berkembang deforestasi menjadi penyebab terbesar perubahan iklim termasuk Indonesia. Deforestasi turut menyumbang dan menjadi salah satu faktor pemicu kejadian bencana hidrometeorologis seperti banjir dan longsor
Per 30 Agustus 2021 lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan sebanyak 8.355 rumah warga tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah terdampak banjir. Hujan dengan intensitas tinggi menjadi pemicu banjir di tiga kabupaten ini, yaitu Kabupaten Kotawaringin Barat, Seruyan dan Katingan.
Laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat adanya pengungsian ke tempat yang lebih aman di Kabupaten Katingan. Banjir tersebut berdampak pada 9.640 kepala keluarga atau 13.781 jiwa, serta pengungsian warga ke tempat yang lebih aman. BPBD masih terus melakukan pemutakhiran data terdampak dan mereka yang masih mengungsi. Catatan kerugian material yang terdampak akibatkan banjir ini, mencakup rumah warga 7.561 unit, sekolah 47, rumah ibadah 42, kantor 25, fasilitas kesehatan 16 dan posko PPKM 13.
Pada November 2021 ini, banjir kembali terjadi ke Kalteng, akibatnya 6 Kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Timur terendam banjir, 7 Kecamatan di Kabupaten Katingan dan di Kota Palangka Raya sendiri banjir merendam 17 kelurahan, 118 RT dan 38 RW dari 4 kecamatan. Sebanyak 10.739 warga dari 4.157 kepala keluarga pun masih menjadi korban terdampak banjir.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut LBH Palangka Raya menyatakan sikap sebagai berikut:
- Presiden Jokowi Widodo sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945, harus menghentikan proyek strategis nasional food estate singkong di Kabupaten Gunung Mas, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan berpotensi memperluas banjir di Kalteng akibat deforestasi.
- Presiden Jokowi Widodo dan menteri-menteri terkait berserta Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran untuk segera memulihkan kondisi kerusakan lingkungan hidup di Provinsi Kalteng. Termasuk pemulihan lahan seluas sekitar 634 hektare untuk kebun singkong di Kabupaten Gunung Mas.
Hal ini dilakukan untuk memenuhi Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945, yaitu setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan dan memenuhi Pasal 28 I Ayat 4 UUD 1945, yang menyatakan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.