LIPUTAN KHUSUS:
Segudang Masalah di Sekitar Tetangga PLTU
Penulis : Aryo Bhawono
"Omong kosong kalau petani bisa kerja di pabrik. Paling banter kerja bangunan Itupun cuma sebentar. Sebulan, dua bulan jadi kuli doang. Setelah itu jadi perampok"
Energi
Rabu, 01 Desember 2021
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BETAHITA.ID - Pembangunan PLTU di Cirebon dan Cilacap tak membawa nasib warga sekitar menjadi lebih baik. Temuan peneliti dari dua lembaga, Salam Institute dan Sajogyo Institute menyebutkan lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar rusak. Bahkan hidup mereka tak lagi rukun karena kecemburuan sosial.
Peneliti Salam Institute, Neni Rahmawati, menuturkan penelitiannya di desa sekitar PLTU Cirebon 1 dan 2 menemukan berbagai dampak yang merugikan masyarakat. PLTU Cirebon 1 dibangun di atas lahan yang dulunya dijadikan tambak garam di Desa Kanci Kulon sedangkan PLTU Cirebon 2 berada di Desa Kanci Wetan dan Desa Wor Duwur. Keduanya pembangkit ini sudah beroperasi.
Neni mencatat sejak masa prakonstruksi ketimpangan harga pembebasan lahan dirasakan warga. Warga yang melepaskan tanahnya pada 2005 dihargai mulai dari Rp14 ribu hingga Rp45 ribu per meter namun ketika 2006 harga tanah menjadi Rp150 ribu per meter. Hal ini memicu aksi protes hingga demonstrasi karena perbedaan harga ini.
Proses melepaskan tanah sendiri penuh dengan intimidasi. Para pemilik tambak diancam akses air dan jalan menuju tambaknya ditutup. Bahkan preman turut dikerahkan untuk melakukan intimidasi. Ancaman inilah menjadi alasan dominan warga melepaskan tanahnya.
“Padahal mereka menggantungkan hidup dari tambak, kalau musim hujan jadi tambak ikan kalau musim kemarau menjadi tambak ikan,” uca Neni.
Peralihan tanah pun selanjutnya memicu bencana sosial. Mayoritas masyarakat biasa mencari rezeki dengan menjadi petani tambak garam (penggarem), petani padi, kuli panggul garam, terpaksa beralih profesi dan berpindah. Lapangan kerja yang dijanjikan di PLTU tak bertahan lama karena sekedar kerja kasar pada masa konstruksi, selebihnya membutuhkan keahlian khusus yang tidak mereka miliki.
Ketika konstruksi pun beberapa tambak yang masih produktif pun terkena dampak pembangunan. Pengurukan menyisakan debu yang membuat garam berwarna gelap sehingga harus dicuci berulang-ulang. Selain itu besi bekas pembangunan dok dermaga ditinggalkan begitu saja di dasar pantai.
Lowongan kerja yang dijanjikan pun tak sesuai harapan, calo tenaga kerja, nepotisme pejabat, dan pungutan liar, menutup kemungkinan warga mendapat pekerjaan. Selebihnya beberapa warga merasa enggan karena tak terbiasa dengan pola kerja di bagian konstruksi.
Peneliti Salam Institute, Sheila Herlita, mengungkap di PLTU 3 kondisi desa hampir sama. hanya saja pembangkit di PLTU 3 belum berdiri namun keresahan karena pembebasan lahan sudah dirasakan warga. Hanya saja pembebasan lahan melibatkan PT King Property.
Namun keresahan masyarakat akan kehilangan mata pencaharian sudah terjadi. Salah satu narasumber penelitiannya mengungkap kalau dirinya bakal tak punya pekerjaan.
"Omong Kosong kalau petani bisa kerja di pabrik. Paling banter kerja bangunan Itupun cuma sebentar. Sebulan, dua bulan jadi kuli doang. Setelah itu jadi perampok,” tulis Sheila dalam paparannya.
Hal serupa juga terjadi di desa wilayah lima PLTU di Cilacap, yakni Cilacap 1, Cilacap 2, Ekspansi 1, Ekspansi 2, dan Adipala. Peneliti Sajogyo Institute, Fathur Rahman, menyebutkan, seluruh pembangkit ini telah beroperasi namun janji untuk mempekerjakan warga sekitar tak semanis yang dijanjikan.
Beberapa dusun yang berbatasan langsung, bahkan hanya segelintir warganya saja yang dipekerjakan disana. Misalnya saja RW 5 Desa Menganti, hanya sekitar 2 orang warga yang bekerja di PLTU, Dusun Winong Desa Slarang hanya 20 orang yang direkrut, terbanyak adalah Desa Karangkandri yang jumlahnya mencapai ratusan.
Jumlah penduduk di beberapa desa pun menyusut karena ditinggalkan, mereka mencari penghidupan yang lebih menjanjikan di daerah lain. Pertanian yang bisa dilakukan kian menyusut karena pencemaran dan mengeringnya sumber air.
PLTU, teknologi subcritical maupun ultra critical menyedot banyak air dengan kemurnian tinggi dan meninggalkan air buangan dengan kadar garam dan logam tinggi. Hasilnya adalah pencemaran.
Selebihnya, masyarakat yang tinggal harus berhadapan dengan risiko penyakit pernafasan akibat limbah FABA (fly ash bottom ash). Hingga Juni ini tercatat 2.241 jiwa mengidap penyakit gangguan pernafasan. Jumlah ini belum ditambahkan dengan pengidap penyakit sama yang sudah ada, yakni 1.119.