LIPUTAN KHUSUS:
Walhi Kritik Cara Gubernur NTT Selesaikan Sengketa Agraria
Penulis : Aryo Bhawono
Konflik agraria di NTT mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah investasi dan pembangunan.
Agraria
Sabtu, 04 Desember 2021
Editor : Kennial Laia
BETAHITA.ID - Ancaman Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat kepada Umbu Maramba Hawu, mantan Kepala Desa Kabaru sekaligus Ketua Kepercayaan Marapu di Sumba menunjukkan buruknya pengelolaan pertanahan di NTT. Umbu Maramba meminta kembali tanah yang diberikannya kepada pemerintah kabupaten di masa Bupati Umbu Mehang Kunda untuk dijadikan lahan ternak sapi. Tapi permintaan ini dibalas hardik oleh gubernur.
“Dengar baik-baik, datang omong supaya saya urus baik-baik buat kalian. Tetapi, kalau kalian berbeda dengan pemerintah supaya ganggu, kalian akan berhadapan dengan saya. Saya tidak tembak kalian, tidak ada. Saya angkut kalian, kasih masuk di penjara,” ucap Viktor dalam rekaman video yang beredar di media sosial.
Walhi NTT menganggap ancaman Gubernur NTT kepada Umbu Maramba hanya satu dari berbagai contoh konflik agraria di provinsi itu. Konflik agraria di NTT mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah investasi dan pembangunan. Walhi mencatat setidaknya terdapat tujuh konflik sejak 2018.
Pertama, kasus sengketa warga dengan PT Sutera Marosi di lahan 300 hektare yang tersebar di tujuh bidang tanah di pesisir Marosi. Aksi penolakan pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional dan perusahaan memicu bentrok hingga polisi menembak seorang warga bernama Poro Duka hingga tewas.
Kedua, sengketa lahan perkebunan tebu antara PT Muria Sumba Manis dengan Masyarakat Adat Umalulu dan Rindi. Berbagai pelanggaran hak asasi manusia diduga terjadi berupa kriminalisasi, perampasan tanah, hingga perusakan ritus adat.
Ketiga, konflik tambang batu gamping dan batu semen milik PT Istindo Mitra Manggarai dan PT. Singa Merah. Operasi perusahaan ini merusak lingkungan hingga membuat warga kesulitan mengakses air bersih.
Keempat, sengketa adat Besipae antara masyarakat adat dengan klaim pemerintah. Sengketa disertai dengan pengusiran, perusakan, hingga pembakaran rumah.
Kelima, konflik pembangunan tambak garam PT Indi Daya Kencana (IDK) seluas sekitar 242 hektare di Kabupaten Malaka, NTT. Operasi perusahaan yang mendapat penolakan ini telah membabat habis mangrove di wilayah pesisir itu.
Keenam, penolakan masyarakat adat Rendu yang tergabung dari tiga desa, yakni Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan; Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa; dan Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo terhadap pembangunan Waduk Limbo. Pemerintah bersikeras pembangunan waduk dilakukan meski masyarakat memberikan alternatif lain dari lahan mereka.
Ketujuh, pembangunan kawasan wisata premium di Pulau Komodo. Proyek ini mendapat penolakan sebagian warga dan pegiat lingkungan karena dianggap merusak habitat satwa langka dan endemik komodo (Varanus komodoensis).
“Konflik ini adalah fenomena gunung es yang menjelaskan buruknya penanganan tata kelola agraria di NTT. Baik oleh eksekutif, legislatif, yudikatif hingga distorsi kelembagaan adat dalam konteks agraria,” ucap Direktur Eksekutif Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Jumat, 3 Desember 2021.
Menurut Umbu Wulang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT telah gagal melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah dan memastikan hak warga terpenuhi. Masyarakat dibiarkan sendirian memperjuangkan hak adatnya. DPRD mati angin melihat permasalahan ini, kata dia, bahkan tidak memiliki keberpihakan sama sekali.
Umbu Wulang meminta pemerintah dan aparat tidak asal-asalan menyelesaikan sengketa agraria karena sudah ada korban jiwa dari masyarakat. Sikap gubernur sendiri dipandangnya mencoba turun ke tapak lebih sering menunjukkan sikap arogan.
“Mengingat reputasi gubernur yang dikenal temperamen tinggi, WALHI menyarankan gubernur untuk menghentikan aktivitas beliau menyelesaikan persoalan persoalan teknis agraria di tingkat tapak,” ucapnya.