LIPUTAN KHUSUS:

Panel Listrik Tenaga Surya Kunci Transisi Energi Terbarukan


Penulis : Kennial Laia

Panel surya disebut sebagai kunci keberhasilan transisi energiterbarukan di Indonesia. Fasilitas publik hingga gedung pemerintah mulai mengadopsi teknologi PLTS.

Energi

Senin, 17 Januari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) merupakan salah satu sumber energi terbarukan di Indonesia. Jumlahnya melimpah sehingga paling potensial untuk dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, salah satunya kelistrikan.

Menurut Idoan Marciano, peneliti Spesialis Teknologi Energi dan Kendaraan Listrik di Institute for Essential Services Reform (IESR), sumber energi ini memiliki potensi teknis terbesar di Indonesia. Skalanya juga luas, sehingga bisa diadopsi untuk skala residensial maupun bisnis dan industri.

“Selain itu, sifatnya lebih padat energi dibanding sumber energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya, sehingga pemanfaatannya tidak membutuhkan lahan yang terlalu besar dan penempatannya pun fleksibel,” kata Idoan pekan. 

Transisi ke energi terbarukan semakin penting. Saat ini Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) juga sedang digodok di parlemen. Menurut Idoan, sejak RUU EBT dinyatakan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021, banyak pihak berupaya mendorong agar RUU ini bisa segera disahkan.

Pembangkit Tenaga Listrik di Kupang./Foto: Dok. EBTKE ESDM

Draf undang-undang itu juga merupakan bagian dari upaya menuju bauran energi baru dan terbarukan sebanyak 23 persen pada 2025. Diberitakan di berbagai media, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga terus mendorong pemanfaatan panel tenaga surya di berbagai fasilitas publik.

Ada banyak implementasi panel listrik tenaga surya yang sudah dikembangkan, mulai dari sumber listrik untuk green building sampai dengan sumber energi untuk penerangan lalu lintas dan fasilitas publik lainnya. 

Masjid Istiqlal, misalnya, mengusung konsep green building yang menggunakan panel tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Masjid nasional ini memiliki 504 unit modul solar dengan kapasitas masing-masing sebesar 325 WP (watt peak) yang beroperasi sejak 2019. 

Saat ini pasokan energi PLTS di rumah ibadah tersebut telah memenuhi sekitar 16% dari total kebutuhan. Menurut Wakil Kepala Bidang Riayah Masjid Istiqlal Her Pramtama, pemanfaatan saat ini utamanya untuk pengadaan listrik termasuk operasional pendingin ruangan (AC), lampu, hingga kamera pengawas.

Sementara itu biaya yang cukup tinggi dibutuhkan saat instalasi. Her mengaku, saat ini operasional yang dibutuhkan hanya untuk perawatan. Di sisi lain, terjadi penghematan dalam penggunaan AC.

“Setelah kita melakukan improvisasi pengaturan energi langsung turun biaya listrik hingga 15 persen. Energi ini berasal dari sumber ramah lingkungan yakni matahari,” kata Her.

“Rencananya kami akan meningkatkan kapasitas listrik dengan menambah instalasi PLTS,” tambahnya.

Konsultan Green Building Yodi Danusastro mengatakan, Masjid Istiqlal telah melewati penilaian masjid ramah lingkungan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Yodi turut mendampingi pengelola masjid tersebut dalam proses sertifikasi green building dari MUI dan beberapa lembaga lainnya. Yodi menambahkan, dalam konsep green building, bukan hanya dari pengadaan listriknya saja yang diperhatikan, tetapi juga faktor lainnya seperti pengelolaan sampah.

Pemerintah juga menerapkan konsep serupa di gedung utama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Namun, implementasi tersebut diharapkan tidak terbatas pada gedung pemerintahan dan rumah ibadah. Fasilitas publik lainnya hingga bangunan pemerintah di daerah juga sekiranya dapat mengikuti tren ini.

“Sejauh ini, implementasi green building kebanyakan masih di tingkat pemerintah pusat. Kami tentunya berharap bukan hanya pemerintah pusat, tapi bisa meluas ke pemerintah daerah agar mereka bisa aktif untuk menginstall ini untuk kebutuhan listrik mereka,” kata Tenny Kristiana, peneliti International Council on Clean Transportation (ICCT). 

Idoan mengatakan, masyarakat perlu memahami sumber listrik dari batu bara yang disediakan Perusahaan Listrik Negara (PLN) memperburuk kualitas udara. Sosialisasi dibutuhkan untuk membangun perubahan paradgiman dan persepsi mengenai panel surya.

“Gerakan literasi dari pemerintah perlu agar masyarakat bisa melek akan manfaat PLTS, hal teknis, dan skema pembiayaan yang ada,” kata Idoan.

Harga terjangkau menjadi faktor utama peralihan ke PLTS. Karena itu pemerintah perlu memberikan insentif finansial untuk masyarakat untuk mendorong pemanfaatan yang lebih masif. Menurut Idoan, harga listrik ke depannya akan semakin murah secara global.

Tenny mengatakan, pemanfaatan panel tenaga surya juga bisa digunakan untuk fasilitas publik di perkotaan. Misalnya penerangan jalan, taman, hingga operasional lampu lalu lintas. Dia mencontohkan Amerika, yang memasang PLTS di parkiran bandara John F. Kennedy. Sementara di Washington DC, stasiun kereta memakai teknologi serupa.

Di India, ada bandara yang keseluruhan operasionalnya telah menggunakan listrik dari PLTS. "Jadi aplikasinya ke depan akan banyak. Dari sisi ruang publik, mungkin yang bisa dilakukan adalah melakukan pemetaan ruang publik mana saja yang bisa banyak mendapatkan manfaat dari instalasi PLTS,” kata Tenny. 

Saat ini fasilitasi publik di beberapa daerah Indonesia telah menggunakan energi tenaga surya dari PLTS. Hingga saat ini Kementerian ESDM mengklaim telah menggunakan penerangan jalan umum dari tenaga surya di 30.000 titik yang menerangi jalan sepanjang 1.500 kilometer di 200 kabupaten/kota di Indonesia.

Pada 2019, pemerintah kota Surabaya juga menggunakan teknologi panel surya untuk memenuhi listrik di sekitar 70 persen atau 100 titik lampu lalu lintas di wilayah kota. Kebijakan tersebut diambil untuk mencegah pemadaman luas  akibat ketergantungan sumber energi batu bara.

Indonesia memiliki potensi PLTS (fotovoltaik) mencapai 3.000 - 20.000 GWp. Beberapa provinsi dengan potensi terbesar termasuk Kalimantan Barat (2.948 GWp), Riau (1.557 GWp), Sumatra Utara (1.509 GWp), Jawa Timur (1.362 GWp), dan Papua (955 GWp).