LIPUTAN KHUSUS:
2 IUPSWA di TN Komodo Dievaluasi, Walhi NTT: Harusnya Dicabut
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Walhi NTT menilai, setelah dievaluasi IUPSWA yang dipegang PT SKL dan PT KWE di TN Komodo harusnya juga dicabut.
Konservasi
Kamis, 13 Januari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pada 5 Januari 2022 lalu, 3 Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA)/Ekowisata dicabut oleh pemerintah bersamaan dengan 190 izin konsesi kawasan hutan lainnya, lewat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Nomor: SK.01.MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan.
3 IUPSWA itu yakni nomor 4/1/IUPSWA/PMDN/2015 atas nama PT Mitra Alam seluas 99,8 hektare di Nusa Tenggara Barat (NTB), nomor 5/1/IUPSWA/PMDN/2016 atas nama PT Refile Property Management seluas 16,71 hektare di NTB dan nomor 790/Kpts-II/98 atas nama PT Putra Walmas Wisata seluas 16,23 hektare di Sulawesi Utara.
Dalam SK.01.MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 itu terdapat 1 IUPSWA yang dicabut pada periode September 2015-Juni 2021, dengan nomor 1/1/IUPSWA-PB/PMA/2017 jo. SK Menteri Kehutanan No 548/Kpts-II/1991 atas nama PT Teluk Mekaki Indah seluas 33,83 hektare di NTB.
Selain yang dicabut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mempublikasikan daftar izin konsesi kawasan hutan yang dievaluasi. Dalam daftar itu ada 13 IUPSWA yang tercatat. 13 IUPSWA itu lokasinya berada di 6 provinsi dengan total luas 1.208 hektare.
Daftar IUPSWA yang Dievaluasi
NO |
NO SK |
NAMA PERUSAHAAN |
LUAS (HA) |
PROVINSI |
1 |
6/1/IUPSWA/ |
PT LISE BATAM RIMBA LESTARI |
247,60 |
RIAU |
2 |
1/1/IUPSWA/ |
PT JOBEN EVERGREEN |
14,71 |
NTB |
3 |
2/1/IUPSWA/ |
PT LINGGAU BISA |
42,38 |
SUMSEL |
4 |
3/1/IUPSWA/ |
PT PUSAKA SUAKA KULON |
44,99 |
JABAR |
5 |
2/1/IUPSWA/ |
PT SURA PARAMA SETIA |
16,24 |
JATIM |
6 |
SK.796/Menhut- |
PT KOMODO WILDLIFE ECOTOURISM |
426,07 |
NTT |
7 |
7/1/IUPSWA/ |
PT SEGARA KOMODO LESTARI |
22,10 |
NTT |
8 |
SK.438/Menhut- |
PT RIA SO MILA PANTAI INDAH |
49,29 |
NTB |
9 |
6/1/IUPSWA/ |
PT KARYA PRATAMA EKAJAYA |
50 |
NTB |
10 |
SK.841/MENHUT- |
PT DINANDA SELARAS LESTARI |
119,62 |
NTB |
11 |
4/1/IUPSWA/ |
PT BANGKO- BANGKO LESTARI |
50 |
NTB |
12 |
2/1/IUPSWA/ |
PT PRABU ALAM LESTARI |
50 |
NTB |
13 |
S.237/MENHUT- |
PT TABITA INDAH SEJAHTERA |
75 |
NTB |
TOTAL |
1.208 |
Sumber: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Nomor: SK.01.MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nusa Tenggara Timur (NTT) memberikan catatan mengenai sejumlah IUPSWA yang masuk dalam daftar evaluasi ini. Terutama terhadap IUPSWA No.796/Menhut-II/2014 yang dipegang oleh PT Segara Komodo Lestari (SKL) dan No.7/1/IUPSWA/PMDN/2015 yang dipegang PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE).
Kedua izin itu berada di wilayah Taman Nasional (TN) Komodo. PT SKL berada di Loh Buaya, Pulau Rinca dengan luas lahan konsesi 22,1 hektare, sementara PT KWE di dua lokasi, yakni di Loh Liang, Pulau Komodo seluas 151,94 hektare dan di Pulau Padar seluas 274,13 hektare.
Izin konsesi tersebut dikeluarkan oleh pemerintah setelah utak-atik zona dalam kawasan TN Komodo. Melalui SK No. SK.21/IV-SET/2012, KLHK mengkonversi 303,9 hektare lahan di Pulau Padar menjadi zona pemanfaatan wisata darat.
Berdasarkan desain tapak, zona pemanfaatan ini dibagi menjadi dua, 275 hektare untuk ruang usaha dan 28,9 hektare untuk ruang wisata publik. Kemudian 274,13 hektare dari total 275 hektare ruang usaha diserahkan kepada PT KWE untuk dibangun resort-resort eksklusif.
Deputi Walhi NTT, Yuven Nonga menuturkan, evaluasi KLHK itu jangan sampai dijadikan sebagai momentum pemanfaatan atau pemberian jeda untuk perusahaan yang izinnya dievaluasi untuk memenuhi kebutuhan administrasi atau kepatuhan hukum, seperti pemenuhan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan lain sebagainya.
"Evaluasi harus mempertimbangkan berbagai aspek dan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup taman nasional. Selain itu, pemerintah harus memastikan tidak ada ruang privatisasi di ruang hidup Komodo dengan mencabut izin seluruh konsesi perusahaan di TN Komodo," kata Yoven, Jumat (7/1/2022).
Dari kaca mata Walhi NTT, evaluasi yang dilakukan KLHK ini merupakan langkah baik di tengah kuatnya protes publik hingga teguran UNESCO terhadap krisis pembangunan terkini di dalam kawasan TN Komodo yang dipicu oleh pembangunan dalam skala masif, baik infrastruktur yang dibangun oleh dana APBN seperti sarana wisata jurassic di Pulau Rinca maupun resort-resort eksklusif yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan swasta.
"Kami mendorong agar perusahaan-perusahaan ini tidak saja dievaluasi tetapi izinnya harus dicabut sebab sangat berdampak buruk bagi keberadaan Taman Nasional Komodo sebagai rumah alami bagi satwa langka yang rentan punah, Varanus komodoensis."
Investasi perusahaan-perusahaan ini juga secara sosial berdampak buruk bagi warga yang telah lama mendiami kawasan, sebab mereka terancam direlokasi. Di samping itu, kawasan TN Komodo merupakan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki risiko besar terhadap perubahan iklim.
Kehadiran investasi perusahaan besar yang akan mengubah bentang alam kawasan akan menambah risiko dan beban kawasan terhadap perubahan iklim. Kehadiran investasi perusahaan pariwisata skala besar akan melanggengkan ketidakadilan akses terhadap air bersih di kawasan TN Komodo.
Hal ini berdasarkan temuan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) pada 2019 lalu. Yang mana dari debit air 40 liter per detik, dan 10 liter per detiknya diperuntukkan untuk perhotelan, khususnya 10 hotel berbintang yang berada di sekitar Kawasan TN Komodo.
Sedangkan debit air yang dialokasikan untuk 5.000 pelanggan rumah tangga yang merupakan masyarakat pesisir di sekitar Kawasan TN Komodo hanya 18 liter per detik. Dengan kata lain, layanan air diprioritaskan untuk perhotelan.
"Selain kedua perusahaan ini, kami juga mendesak pemerintah dalam hal ini KLHK untuk mengevaluasi, selanjutnya mencabut izin dua perusahaan yang lain di dalam kawasan Taman Nasional Komodo yaitu PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa dan PT Karang Propertindo Permai yang wilayah konsesinya bersebelahan dengan PT KWE di Loh Liang, Pulau Komodo."
Atas dasar itu, Walhi NTT berharap agar langkah evaluasi ini bukan saja terdorong oleh alasan-alasan administrasi seperti perusahaan yang belum merealisasikan proyek pembangunan, lahan yang terlantar tetapi merupakan bukti komitmen Pemerintah Indonesia terhadap konservasi di TN Komodo serta masa depan pariwisata Indonesia yang berkelanjutan.