LIPUTAN KHUSUS:

Kera Ekor Panjang, Ditangkapi dan Diekspor untuk Biomedis


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat sipil mengecam penangkapan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) di Indonesia yang dianggap brutal dan biadab.

SOROT

Senin, 07 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Baru-baru ini Action for Primates mengunggah sejumlah foto dan video yang menampilkan proses penangkapan sejumlah kera ekor panjang (Macaca fascicularis) yang terjadi di Indonesia secara brutal di situsnya. Lembaga yang mengadvokasi kesejahteraan primata yang berbasis di Inggris itu mengecam penangkapan secara kasar terhadap sekelompok kera ekor panjang itu.

Dalam rekaman video itu sejumlah kera terperangkap di dalam jaring besar dan ditarik paksa dengan tangan. Sering kali kera-kera yang sulit dipegang diseret keluar dengan menarik ekornya, menempatkan mereka pada risiko cedera tulang belakang yang parah.

Kera lainnya terlihat terjepit kaki para penjebak/pemburu di tanah, anggota badan depan mereka ditarik ke belakang dengan cara yang mungkin mengakibatkan dislokasi dan patah tulang, dicengkeram leher mereka dan diangkat. Mereka dimasukkan lebih dulu ke dalam karung atau dijejalkan ke dalam peti kayu bersama kera yang lain.

Action for Primates mengambarkan proses penangkapan kera-kera itu sebagai sikap tidak berperasaan dan acuh tak acuh. Saat ditangkap, bayi dipisahkan dari ibu mereka, menyebabkan tekanan pada keduanya. Para penjebak atau pemburu tertawa dan bercanda sambil memegang kera.

Macaca fascicularis atau kera ekor panjang ditangkap saat sedang menggendong anaknya./Foto: Action for Primates

Insiden paling brutal melibatkan pembunuhan satu kera yang ditangkap. Dipukuli dengan galah, hewan yang linglung dan terluka itu diseret ekornya, ditahan dan tenggorokannya digorok dengan parang. Perlakuan brutal dan tidak berperikehewanan itu seperti itu jelas melanggar pedoman kesejahteraan hewan internasional.

Nedim C Buyukmihci, VMD, dari University of California mengatakan, menangkap primata non-manusia dari alam tidak diragukan lagi terkait dengan penderitaan yang substansial. Penanganan dan perlakuan monyet seperti yang terlihat dalam rekaman video itu brutal dan tidak manusiawi, dan jelas melanggar pedoman kesejahteraan hewan internasional.

Kekejaman seperti itu--pemukulan dan pembunuhan pejantan alfa, memindahkan bayi dari induknya, menyeret monyet dengan ekornya yang tidak dapat memegang dan menarik kaki depan dengan paksa ke belakang sehingga dislokasi dan patah tulang dapat terjadi--, menurut Nedim tidak boleh ditoleransi. Juga tidak harus menjebak kera liar.

"Saya mendesak praktisi kesejahteraan hewan lainnya untuk menentang keras otoritas Indonesia dan badan internasional," kata Nedim, dalam pernyataan tertulisnya di situs Action for Primates.

Pada 2021, Pemerintah Indonesia mengizinkan penangkapan dan ekspor kera ekor panjang liar untuk dilanjutkan. Hal ini terlepas dari kekhawatiran global yang meluas tentang kebrutalan yang melekat dalam menjebak kera liar dan meningkatnya kesadaran akan status konservasinya. Ratusan kera liar kemudian ditangkap, dicabut dari habitat aslinya, keluarga dan kelompok sosialnya. Dalam daftar merah (red list) International Union for Conservation of Nature (IUCN), status konservasi kera ekor panjang  adalah vulnerable atau Rentan.

Menurut Action for Primates, kera yang diekspor oleh Indonesia sebagian besar ditujukan untuk laboratorium di Amerika Serikat dan Cina. Data ekspor yang disampaikan Indonesia menunjukkan bahwa pada 2020 lalu, Indonesia mengekspor 2.793 ekor kera ekor panjang ke Cina dan 120 ekor ke Amerika Serikat. Angka ekspor untuk 2021 diperkirakan akan jauh lebih besar dan termasuk kera tangkapan liar.

Kera ekor panjang muda yang ditangkap./Foto: Action for Primates

Kera ekor panjang adalah spesies primata non-manusia utama yang digunakan dalam uji toksisitas regulasi, yang merupakan area di mana sebagian besar primata non-manusia digunakan. Pengujian toksisitas atau keracunan dilakukan untuk menilai reaksi merugikan terhadap obat atau bahan kimia dan biasanya melibatkan penderitaan dan kematian yang substansial.

Alasan yang biasanya diberikan oleh pihak berwenang atas penangkapan monyet tersebut adalah karena hewan tersebut berkonflik dengan warga dan petani di masyarakat setempat. Ekspansi dan perambahan yang terus meningkat ke habitat satwa liar secara tragis mengarah pada interaksi negatif yang berpotensi dapat dihindari antara kera dan manusia.

Daripada membiarkan kera terperangkap dan diekspor untuk penelitian atau dibunuh, Action for Primates mendesak pihak berwenang untuk mengatasi masalah yang menyebabkan konflik ini, seperti penggundulan hutan dan pembuangan sisa makanan yang menyebabkan monyet tertarik ke pemukiman manusia. Diketahui bahwa menjebak monyet tidak menyelesaikan dugaan 'konflik', terutama karena hal ini menyebabkan peningkatan reproduksi.

"Dimulainya kembali penangkapan dan ekspor kera ekor panjang oleh Indonesia merupakan perkembangan yang mengkhawatirkan, terutama pada saat ada kekhawatiran global yang meluas dan kecaman atas penangkapan primata liar non-manusia. Action for Primates mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan kekejaman ini dan melindungi populasi kera ekor panjang," ujar salah satu pendiri Action for Primates, Sarah Kite.

Selain seruan kepada Pemerintah Indonesia, Action for Primates telah bergabung dengan Lady Freethinker di AS untuk mendesak Pemerintah AS mengambil sikap melawan kekejaman ini dengan melarang semua kera yang diimpor dari Indonesia.

Nina Jackel, pendiri dan Presiden Lady Freethinker, mengatakan, rekaman kekejaman yang mengerikan dan sangat mengganggu terhadap kera harus menjadi perhatian baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat, yang mengimpor kera dari Indonesia untuk eksperimen brutal.

"Saya sangat mendesak pemerintah AS untuk mengambil sikap melawan kekejaman ini dengan melarang semua monyet yang diimpor dari Indonesia."

Sejumlah kera ekor panjang yang ditangkap yang kemudian dimasukkan ke dalam peti bambu./Foto: Action for Primates

Lembaga swadaya masyarakat ini kemudian menggalang tanda tangan untuk petisi guna mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri penangkapan dan ekspor kera luar yang kejam untuk penelitian. Selain itu Action for Primates juga mengajak publik untuk berkirim surat elektronik ke alamat email Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pusdatin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Tak hanya bersurat ke Menteri Siti, Action for Primates juga mengajak publik bersurat ke Kedutaan Besar RI di negara masing-masing dan mendorong untuk menandatangani dan membagikan petisi kepada Pemerintah Amerika Serikat dan petisi dalam Bahasa Indonesia.

Tahun lalu, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor: SK.1/KSDAE/KKH/KSA.2/1/2021 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Periode 2021, kuota penangkapan untuk jenis Macaca fascicularis yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar 2.070 ekor.

Lokasi penangkapan yang diberikan adalah wilayah Jawa Timur (330 ekor), Jawa Tengah (270 ekor), Jawa Barat (300 ekor), Yogyakarta (300 ekor) dan Sumatera Selatan (870 ekor). Disebutkan, kuota 2.070 ekor itu adalah kuota ekspor untuk kepentingan biomedis dengan umur tangkap minimal 2 tahun.

Kuota itu diberikan kepada dua perusahaan ekspor primata, yakni CV Primaco untuk di Pulau Jawa sebanyak 1.200 ekor dan CV Inquatex sebanyak 870 ekor untuk wilayah Sumatera Selatan.

Menurut Laporan Kinerja Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) Tahun 2019, ada setidaknya 5 penerima Sertifikat Jaminan Kualitas Penangkar, dengan jenis usaha penangkaran kera ekor panjang, yakni PT Wanara Satwaloka, CV Primaco, CV Inquatek, CV Universal Funa dan PT Prestasi Fauna Nusantara.

Penetapan Kuota Penangkapan Macaca Fascicularis Periode 2022 Ditunda

Lalu bagaimana dengan kuota penangkapan Macaca fascicularis periode 2022? Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati (SKIKH) dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Amir Hamidy menyebut, kuota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar periode 2022 sudah ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal KSDAE Nomor: SK.2/KSDAE/KKH/KSA.2/1/2022 pada 5 Januari 2022 lalu. Namun khusus untuk penetapan kuota jenis kera ekor panjang (Macaca fascicularis) ditunda.

"Untuk Macaca fascicularis kuotanya dipending. Karena kita minta ada hasil survei populasinya dulu," kata Amir, Kamis (3/2/2022).

Menurut Amir, hasil survei populasi terbaru itu penting untuk sebagai dasar penentuan kuota penangkapan kera ekor panjang. Apabila populasinya memang memungkinkan untuk sebagian di antaranya dimanfaatkan, maka kuota penangkapan bisa ditetapkan, atau justru sebaliknya.

"Makanya kita mengajak dan berharap ada NGO (non-government organization) atau perguruan tinggi atau peneliti yang bisa membantu melakukan survei populasi ini."

Meski demikian, pihaknya tetap berharap kera ekor panjang yang diekspor untuk kepentingan biomedis bisa lebih diutamakan berasal dari kegiatan penangkaran, bukan berasal dari alam. Karena sebetulnya lembaga penangkaran Macaca fascicularis di Indonesia juga sudah ada.

"Bisa saja menangkap dari alam, tapi untuk tujuan breeding, untuk jadi indukan. Lagi pula tidak mudah menangkap dari alam itu, harus ahli khusus."

Amir bilang, konflik kera ekor panjang dengan manusia tidak lantas dijadikan dasar bahwa populasi satwa itu tinggi. Perlu kajian lebih dalam mengenai hal itu. Karena bisa saja kera ekor panjang yang memakan tanaman petani itu adalah kera yang hanya lewat atau datang pada musim tertentu, saat kemarau misalnya.

"Belum tentu kera ekor panjang yang mencuri jagung petani itu karena over populasi. Bisa saja mereka itu hanya lewat. Apa benar reporduksinya tinggi. Perlu dilihat, bagaimana saat musim kemarau dan bagaimana di musim hujan. Bisa saja saat musim kemarau, konflik tinggi karena ketersediaan makanan di habitatnya sedikit," ujar Amir.

Amir menegaskan, kuota penangkapan yang tetapkan melalui surat keputusan Dirjen itu adalah untuk tujuan biomedis, bukan untuk tujuan konsumsi atau bisnis lainnya. Pihaknya tidak membenarkan apalagi merekomendasikan kera ekor panjang dimanfaatkan selain untuk tujuan penelitian biomedis.

Kemudian, kera ekor panjang yang boleh diekspor juga tidak sembarangan. Hanya individu yang telah mencapai usia tertentu dan lolos uji kesehatan khusus saja yang boleh dimanfaatkan untuk diekspor.

"Segala kegiatan itu ada pengawasannya, oleh KLHK. Tidak bisa sembarangan. Dan misalnya diekspor secara ilegal dalam jumlah besar, itu kecil sekali kemungkinannya. Kenapa? Karena keluar masuknya satwa dari dan ke suatu negara itu harus dilengkapi dengan surat-surat, ada peta perjalanannya. Karena bisa saja satwa yang diekspor itu membawa penyakit," terang Amir.

Amir mengaku paham mengapa isu kuota penangkapan kera ekor panjang untuk diekspor ini menjadi mengemuka. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru-baru ini juga mendapat surat dari sekitar 180 lembaga masyarakat sipil dari seluruh dunia yang keberatan dengan adanya kebijakan Pemerintah Indonesia yang memperbolehkan kera ekor panjang ditangkap dan diekspor untuk penelitian biomedis.

Namun, lanjut Amir, Indonesia sebetulnya bukanlah negara pengekspor Macaca fascicularis terbesar di Dunia. Amir menyebut, negara pengekspor Macaca fascicularis terbesar di Dunia saat ini adalah Cina, bahkan negara tersebut mengekspor spesies jenis ini ke beberapa negara, salah satunya Amerika Serikat.

"Cina itu bahkan bukan negara yang memiliki Macaca fascicularis. Spesies ini bukan satwa endemik Cina. Tapi Cina bisa menjadi negara pengekspor terbesar. Lalu dari mana Cina bisa mendapatkannya? Seharusnya NGO-NGO itu juga melihat ke situ."

Monyet kloning di Institute of Neuroscience of Chinese Academy of Sciences di Shanghai, pada tahun 2019. Selama beberapa dekade, China adalah pemasok monyet terkemuka di dunia untuk penelitian ilmiah./Foto: China Daily/Reuters

Amir menjelaskan, secara legal, pemanfaatan satwa untuk tujuan khusus, termasuk Macaca fascicularis, diatur menggunakan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 447/Kpts-II/2003 tetang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Keputusan Menteri Kehutanan itu dipayungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Menurut Amir, ekspor Macaca fascicularis sudah berlangsung sejak tahun 90-an. Spesies ini diekspor untuk penelitian biomedis sejumlah penyakit, seperti Polio, Ebola dan lain sebagainya.

Akan tetapi ekspor Indonesia itu terhenti karena desakan dari masyarakat sipil Dunia. Sejak itu Indonesia sudah tidak lagi mengekspor Macaca fascicularis. Namun sejak 2021 ekspor Macaca fascicularis kembali dibuka karena untuk penelitian vaksin virus Covid-19.

Mengenai potensi adanya penangkapan dan perdagangan ilegal Macaca fascicularis dari alam--oleh pemburu dijual ke penampung kemudian diekspor. Amir mengakui hal itu bisa saja terjadi, tetapi untuk diekspor tiap individu kera ekor panjang harus disertai dengan berita acara penangkapan, lengkap dengan tanggal dan lokasi tempat penangkapan.

"Juga harus didampingi oleh petugas. Dan menangkap dengan jumlah banyak itukan tidak mudah. Harus belajar dengan ahlinya," tutup Amir.

Seperti yang disampaikan Amir di atas, Indonesia pernah menjadi eksportir kera ekor panjang ke Amerika Serikat dan Cina. Namun pada 2010 ekspor spesies jenis ini dihentikan. Dikarenakan Indonesia dianggap tidak menaati undang-undang yang dibuatnya sendiri dan gagal memenuhi regulasi International Trade in Endangered Species (CITES) sekaligus melanggar pedoman perlindungan satwa internasional.

Pelanggaran dimaksud lebih dikarenakan kera-kera yang diekspor Indonesia bukan berasal dari generasi F1, yakni monyet yang berasal dari penangkaran atau C yang lahir dari hasil pengembangbiakan. Kera-kera yang diekspor dari Indonesia kebanyakan berasal dari tangkapan alam. Hal itu dianggap melanggar peraturan internasional terkait perdagangan satwa liar yang telah ditetapkan.

Sekilas tentang Macaca Fascicularis

Macaca fascicularis atau kera ekor panjang merupakan jenis spesies monyet atau kera yang paling umum dijumpai di daratan Asia Tenggara, seperti di Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Timor Leste dan Vietnam. Selain di Asia Tenggara, Macaca fascicularis juga terdapat di Banglades dan India.

Namun menurut IUCN, tren populasi Macaca fascicularis di Dunia menurun. Spesies ini tersebar luas dan sering melimpah, dan kadang-kadang komensal dengan manusia.

Di Filipina, kera ini berkisar dari yang umum secara lokal hingga yang tidak umum, meskipun sebagian besar tergantung pada tekanan perburuan. Di Bangladesh, populasi diperkirakan kurang dari 100 total individu, dan populasi di Semenanjung Teknaf telah benar-benar hancur karena kegiatan pembangunan (pembuatan kapal) (Molur et al.2003).

Ada kekurangan informasi yang tersedia tentang status populasi beberapa pulau. Molur dkk. (2003) memperkirakan sekitar 4.800 individu. Tetapi tidak ada yang diketahui statusnya setelah tsunami Desember 2004. Pulau Katchall dan Little Nicobar tenggelam selama tsunami, dan diyakini telah mempengaruhi habitat takson ini.

Di sisi lain, Shankaran et al. (2005) menyatakan bahwa kera ini tidak terkena dampak serius di Pulau Nikobar Raya. Bencana tersebut dapat berdampak pada populasi mereka di dua pulau ini karena tanaman pandan yang sedang berbuah terkena dampak tsunami (M. Singh komunikasi pribadi). Populasi di Con Son (M.f.conderensis) kemungkinan berjumlah kurang dari 1.000 individu, dan sejumlah bentuk pulau lain mungkin memiliki status serupa.

Terlepas dari penyebarannya yang luas, perburuan dan penganiayaan yang berlebihan terhadap spesies ini patut dikhawatirkan. Studi tentang Monyet Bonnet (spesies serupa) menunjukkan penurunan populasi yang tajam karena penganiayaan dan populasi komensal yang tenggelam selama beberapa dekade terakhir. Untuk alasan yang sama, Macaca fascicularis kini diduga mengalami penurunan populasi yang serupa.

Secara taksonomi, Macaca fascicularis berada dalam Ordo Primata, Famili Cercopithecidae dengan Genus Macaca. Nama Macaca fascicularis sendiri diberikan oleh Raffles pada 1821. Spesies ini juga identik dengan nama kera cynomolgus dan kera pemakan kepiting asli Asia Tenggara.

Di Indonesia keberadaan monyet jenis ini cukup banyak, tersebar di hampir seluruh daerah, terutama Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Namun belum ada angka pasti tentang berapa jumlah populasi spesies terkini di Indonesia.

Akan tetapi, penelitian tentang populasi kera ekor panjang ini sebetulnya cukup banyak dilakukan di sejumlah daerah. Salah satunya survei populasi Macaca fascicularis yang dilakukan di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) Kalimantan Tengah pada 2012 lalu. Berdasarkan survei itu, diperoleh estimasi jumlah kelompok monyet ekor panjang di TNTP berkisar antara 750-850 kelompok, dan ukuran populasi antara 13.321-23.100 individu, sedangkan rerata kepadatan populasi di sepanjang sungai 7,50-13,01 individu/km.

Kepadatan monyet ekor panjang berbeda pada setiap jenis aliran sungai dan habitat. Hasil penelitian ini merupakan data sensus pertama di TNTP, menggambarkan karakteristik populasi yang relatif tidak terganggu di hutan rivarian, rawa dan habitat pesisir.

Kera ekor panjang./Foto: Entang Iskandar/Pusat Studi Satwa Primata IPB University

Menurut Pusat Studi Satwa Primata IPB University, monyet jenis ini hidup dalam kelompok sosial sebagai diurnal dan arboreal, penggerak berkaki empat, berenang dengan baik dan melompat ke air dari pohon terdekat. Hirarki dominasi laki-laki kurang ditandai dibandingkan kera lainnya.

Ketegangan setelah interaksi agresif ditunjukkan dengan meningkatnya tingkat perawatan diri, goyangan tubuh dan garukan. Tubuh Macaca fascicularis bervariasi dari abu-abu hingga coklat kemerahan dengan bagian bawah yang lebih terang.

Rambut di ubun-ubun kepala tumbuh langsung ke belakang sering mengakibatkan titik puncak. Wajahnya merah muda, laki-laki memiliki kumis pipi dan kumis, betina memiliki janggut dan bayi lahir hitam.

Panjang tubuh monyet dewasa, bervariasi antarsubspesies, sekitar 38-55 cm dengan lengan dan kaki yang relatif pendek. Jantan jauh lebih besar daripada betina, dengan berat 5-9 kg dibandingkan dengan betina 3-6 kg.

Habitat kera ekor panjang ada di pesisir primer dan sekunder, mangrove, rawa, dan hutan sungai hingga ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Kera ini toleran terhadap manusia dan mungkin ditemukan di dekat desa.

Makanannya adalah buah-buahan, 64 persen buah-buahan, kuncup, daun bagian tumbuhan lain dan hewan mangsa seperti serangga, katak dan kepiting. Di hutan kera ini memiliki kontak panggilan coo, panggilan peringatan adalah 'raucous rattle' dan panggilan ancaman adalah jeritan melengking yang diakhiri dengan rattle. Panggilan alarm remaja adalah teriakan singkat.

Kera ekor panjang memiliki wilayah jelajah sekitar 1,25 km² dan panjang lintasan harian sangat bervariasi antara 150 dan 1.900 meter. Setelah istirahat tengah hari, kera ekor panjang biasanya terus mencari makan, dan akan makan saat mereka mendekati pohon tempatnya tidur. Mereka memasuki pohon-pohon tempatnya tidur pada sore hari dan tinggal di sana pada malam harinya.

Macaca fascicularis telah banyak digunakan dalam Penelitian Biomedis untuk studi farmakologi, pengembangan obat, pengujian obat, dan toksikologi. Mereka juga menunjukkan pola yang berharga dari lipoprotein dan respons kardiovaskular lainnya terhadap kolesterol makanan, lemak makanan, dan respons faktor risiko lain terhadap penyakit menular, gangguan metabolisme seperti diabetes dan osteoporosis.

Indonesia Belum Siap untuk Buka Keran Ekspor Macaca Fascicularis

Terpisah, Ketua Yayasan Swara Owa, Arif Setiawan berpendapat, sebaiknya pemerintah menunda terlebih dulu penetapan kuota penangkapan Macaca fascicularis untuk diekspor dengan tujuan kepentingan biomedis. Setidaknya sampai pemerintah punya baseline populasi kera ekor panjang yang utuh.

Menurut Arif, kera ekor panjang yang dimanfaatkan untuk biomedis seharusnya adalah yang berasal dari penangkaran atau pengembangbiakan, bukan kera liar dari alam. Meski begitu harus ada prasyarat ketat yang harus dterapkan.

"Nah kadang kita yang tidak siap juga untuk ini. Regulasi, penelitian dan edukasi juga masih setengah-setengah. Tidak boleh ambil dari alam langsung. harus dari breeding, itupun harus ada syarat-syarat ketat dan kita regulasi tentang ini juga belum siap," kata Arif, Kamis (3/2/2022).

Arif mengatakan, pemanfaatan monyet ekor panjang untuk keperluan penelitian biomedis memang sudah sejak lama dilakukan.

"Sejak zaman Yunani kuno sudah ada yang mencoba. Biomedis ini memang enggak bisa dimodelkan dengan komputer, hewan-hewan yang jadi ujicoba."

Dengan empat subspesies monyet ekor panjang yang dimiliki, lanjut Arif, Indonesia punya potensi besar untuk membudidayakan monyet sebagai model dalam penelitian biomedis. Apalagi struktur sosial monyet ekor panjang yang multi-male dan multi-female.

"Sehingga relatif lebih mudah dibandingkan primata yang lain. Tapi kan kondisional, karena untuk membuat peternakan kan juga harus membuat kandang yang menyerupai habitat aslinya."

Menurut Arif, banyak yang harus dipersiapkan untuk sampai ke sana. Pasalnya, riset tentang monyet di Indonesia juga masih sangat kurang, bahkan data sebaran yang valid sampai sekarang belum ada. Tanpa adanya regulasi tentang prasyarat yang tegas, bisa dipastikan akhirnya nanti akan mengambil monyet-monyet dari alam.

“Akhirnya nanti bisa seperti itu, dan itu eksploitasi namanya. Maka sebenarnya breeding monyet bisa jadi skala prioritas nasional karena menyangkut nasib kesehatan warga menyeluruh,” ujar Arif.

Hal lain yang perlu disiapkan adalah pusat penelitian berskala nasional, yang prioritasnya memang pada riset monyet untuk keperluan biomedis.

Tantangan lain untuk membangun pusat peternakan monyet ekor panjang adalah adanya pihak-pihak penentang penggunaan binatang sebagai model penelitian dengan alasan melanggar hak asasi binatang. Karena itu, menurut pihak yang pro, perlu adanya pendekatan secara persuasif dalam rangka mencari jalan tengah.

"Kalau kita lihat arti pentingnya sebagai biomedis, saya pikir lama-lama orang juga akan menghargai dan menerimanya, dan tentu regulasi yang jelas," ujar Arif.

Nasib Vaksin Covid Bergantung Monyet

Teknisi veteriner mendistribusikan makanan setiap pagi ke lebih dari 5.000 monyet di Pusat Penelitian Primata Nasional Universitas Tulane di luar New Orleans./Foto: The New York Times

Mark Lewis sangat ingin menemukan monyet. Karena jutaan nyawa manusia di seluruh dunia dipertaruhkan.

Dilansir dari New York Times, Mark Lewis merupakan Kepala Eksekutif Bioqual, yang bertanggung jawab untuk menyediakan monyet laboratorium untuk perusahaan farmasi seperti Moderna dan Johnson & Johnson, yang membutuhkan hewan untuk mengembangkan vaksin Covid-19 mereka. Tetapi ketika virus corona melanda Amerika Serikat tahun lalu, hanya ada sedikit monyet yang dibiakkan secara khusus yang dapat ditemukan di manapun di Dunia.

Pihaknya kesulitan untuk dapat memberi para ilmuwan monyet laboratorium, yang masing-masing dapat menelan biaya lebih dari USD10.000, sekitar selusin perusahaan dibiarkan berebut untuk hewan penelitian pada puncak pandemi.

“Kami kehilangan pekerjaan karena kami tidak dapat memasok hewan dalam jangka waktu yang ditentukan,” kata Lewis.

Dunia membutuhkan monyet, yang DNA-nya sangat mirip dengan manusia, untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Tetapi kekurangan global, akibat permintaan tak terduga yang disebabkan oleh pandemi, telah diperburuk oleh larangan baru-baru ini terhadap penjualan satwa liar dari Cina, pemasok terkemuka hewan laboratorium.

Kekurangan terbaru telah menghidupkan kembali pembicaraan tentang menciptakan cadangan monyet strategis di Amerika Serikat, persediaan darurat yang serupa dengan yang dikelola oleh pemerintah untuk minyak dan biji-bijian.

Ketika varian baru dari virus corona mengancam untuk membuat kumpulan vaksin saat ini menjadi usang, para ilmuwan berlomba untuk menemukan sumber monyet baru, dan Amerika Serikat menilai kembali ketergantungannya pada Cina, saingan dengan ambisi bioteknya sendiri.

Pandemi telah menggarisbawahi seberapa besar Cina mengendalikan pasokan barang-barang penyelamat, termasuk masker dan obat- obatan , yang dibutuhkan Amerika Serikat dalam krisis.

Ilmuwan Amerika telah mencari fasilitas yang didanai swasta dan pemerintah di Asia Tenggara serta Mauritius, sebuah negara pulau kecil di lepas pantai Afrika tenggara, untuk stok subjek uji pilihan mereka, kera rhesus dan kera cynomolgus, juga dikenal sebagai kera ekor panjang.

Tetapi tidak ada negara yang bisa menebus apa yang sebelumnya dipasok Cina. Sebelum pandemi, Cina menyediakan lebih dari 60 persen dari 33.818 primata, sebagian besar kera cynomolgus, yang diimpor ke Amerika Serikat pada 2019, menurut perkiraan analis berdasarkan data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit.

Amerika Serikat memiliki sebanyak 25.000 monyet lab--sebagian besar kera rhesus berwajah merah muda--di tujuh pusat primata. Sekitar 600 hingga 800 hewan tersebut telah menjadi subjek penelitian virus corona sejak pandemi dimulai.

Para ilmuwan mengatakan monyet adalah spesimen ideal untuk meneliti vaksin virus corona sebelum diuji pada manusia. Primata berbagi lebih dari 90 persen DNA kita, dan biologi mereka yang serupa berarti mereka dapat diuji dengan usap hidung dan paru-paru mereka dipindai.

Para ilmuwan mengatakan hampir tidak mungkin menemukan pengganti untuk menguji vaksin Covid-19, meskipun obat-obatan seperti deksametason , steroid yang digunakan untuk mengobati Presiden Donald J. Trump, telah diuji pada hamster.

Amerika Serikat pernah mengandalkan India untuk memasok kera rhesus, tetapi India menghentikan ekspornya pada tahun 1978./Foto: The New York Times

Amerika Serikat pernah mengandalkan India untuk memasok kera rhesus. Tetapi pada tahun 1978, India menghentikan ekspornya setelah pers India melaporkan bahwa monyet-monyet itu digunakan dalam pengujian militer di Amerika Serikat. Perusahaan farmasi mencari alternatif.

Akhirnya, mereka mendarat di Cina. Pandemi ini mengacaukan hubungan yang telah berlangsung selama puluhan tahun antara ilmuwan Amerika dan pemasok Cina.

“Ketika pasar China ditutup, itu hanya memaksa semua orang untuk pergi ke sejumlah kecil hewan yang tersedia,” kata Lewis.

Selama bertahun-tahun, beberapa maskapai penerbangan, termasuk maskapai besar Amerika, juga menolak untuk mengangkut hewan yang digunakan dalam penelitian medis karena tentangan dari aktivis hak-hak hewan.

Sementara itu, harga monyet cynomolgus atau kera ekor panjang naik lebih dari dua kali lipat dari tahun 2020 lalu menjadi lebih dari USD10.000, kata Lewis. Para ilmuwan yang meneliti obat untuk penyakit lain, termasuk Alzheimer dan AIDS, mengatakan pekerjaan mereka telah tertunda karena prioritas untuk hewan diberikan kepada para peneliti virus corona.