LIPUTAN KHUSUS:
Sawit Bukan Tanaman Hutan! Sekali Lagi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa sawit bukan tanaman hutan.
SOROT
Jumat, 11 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Gagasan sejumlah pihak, termasuk Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), agar sawit menjadi tanaman hutan terpadamkan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa sawit bukan tanaman hutan.
"Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan dan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut," tegas Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK, Agus Justianto dalam siaran pers yang dipublikasikan KLHK, Senin (7/2).
Sebetulnya ada sejumlah argumentasi dari para akademisi dan pemerhati kehutanan yang dapat mementahkan gagasan sawit sebagai tanaman hutan. Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB, Hariadi Kartodihardjo misalnya.
Dilansir dari Forest Digest, Hariadi menguraikan, pertama, jika sawit jadi tanaman hutan, tandan buah segar (TBS) akan masuk dalam lingkup definisi hasil hutan. TBS akan diperlakukan dalam bisnis proses kehutanan, mulai dari inventarisasi, perencanaan, pengukuhan, pengelolaan, perizinan, pengawasan, maupun kewenangan pengaturannya.
Berdasarkan peraturan itu, perizinan kebun sawit akan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sejumlah lingkup kerja lembaga perlu disesuaikan jika sawit jadi tanaman hutan. Sebagai komoditas, sawit akan menjadi kewenangan organ-organ dalam tubuh kementerian yang membidangi kehutanan. Juga menjadi kewenangan dinas di daerah yang menangani kehutanan.
Kedua, ide sawit sebagai tanaman hutan akan membuat tutupan hutan berada dalam kawasan hutan, tanah milik ataupun tanah negara--termasuk yang berstatus izin usaha perkebunan (IUP) maupun HGU. Itu berarti perlu strategi pengaturan baru, karena selain akan diatur dalam undang-undang kehutanan, sawit juga sudah diatur dalam undang-undang pertanahan dan undang-undang perkebunan.
Dalam undang-undang perkebunan, sawit telah ditetapkan sebagai usaha pengolahan hasil perkebunan (pasal 41), komoditas perkebunan strategis tertentu (pasal 52), serta dalam penetapan organisasi profesi Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (pasal 82).
Ketiga, kecuali ditetapkan dalam undang-undang--itu pun hanya dalam kondisi tertentu--peraturan yang secara eksplisit memasukkan sawit sebagai tanaman hutan tidak dapat berlaku surut. Dengan kata lain, akan berlaku hanya untuk tanaman sawit yang ditanam setelah peraturan itu dibuat.
Akibatnya, status tanaman sawit yang telah terbangun dalam kawasan hutan tidak berubah. Artinya, urusan izin mesti diselesaikan terlebih dahulu. Dengan demikian, kebun sawit di masa lalu tidak dapat diputihkan hanya dengan mengubahnya menjadi tanaman hutan.
Keempat, solusi untuk tanaman sawit dalam kawasan hutan sudah tersedia, yaitu pasal tambahan 110A dan 110B dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang sudah diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 mengenai tata cara sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan.
Hariadi menyebut, beleid ini telah menyediakan kebijakan afirmatif untuk kebun sawit skala kecil yang luasnya kurang dari 5 hektare. Meski begitu, peraturan hanya berlaku bagi perkebunan yang terbangun sebelum aturan ini lahir.
Setelah aturan itu, jika ada yang masih coba-coba membuka kebun sawit di kawasan hutan tanpa izin berusaha di bidang kehutanan akan dikenakan sanksi pidana. Sebagaimana strategi Instruksi Presiden di atas, langkah-langkah hukum dan/atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit tetap berlaku.
Dari empat tinjauan di atas motif menjadikan sawit sebagai pohon hutan terlihat kabur. Tak ada alasan kuat yang bisa mendukungnya. Menurut Iris Geva-May, lanjut Hariadi, dalam Thinking Like A Policy Analyst: Policy Analysis as a Clinical Profession, kebijakan akan jadi solusi tergantung pada diagnosis masalahnya.
Sementara diagnosis masalah sangat dipengaruhi motivasi, bias, peran penilaian dan keterbatasan analis yang mengarah pada kesalahan. May juga menunjukkan bahwa pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dibatasi oleh heuristik, keyakinan dan nilai-nilai yang mempengaruhi persepsi, interpretasi, maupun cara berpikir.
Jika Sawit sebagai Tanaman Hutan, Justru Malah Berisiko Rugikan Negara
Sawit rakyat diprediksi justru akan terkena imbas negatif bila sawit dijadikan tanaman hutan./Foto: Betahita.id
Kemudian, ada pula uraian dari Hero Marheanto, Forest Resources Conservation Researcher Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sekaligus Ketua Tim Strategi Jangka Benah. Dilansir dari The Conversation, Hero mengatakan, berdasarkan naskah akademik berjudul 'Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi' yang ia terima dan baca, ada keinginan agar peralihan status sawit dari tanaman perkebunan bisa menjadi tanaman hutan dianggap menjadi solusi pemulihan hutan terdegradasi.
Hero menyayangkan alasan tersebut. Sebab, masih ada cara-cara lain untuk memulihkan hutan yang lebih bermanfaat bagi ekosistem dan para petani sawit. Alih-alih bermanfaat, peralihan status ini justru berisiko menimbulkan lebih banyak kerugian bagi Indonesia.
Hero menguraikan, pada 2019 lembaga nirlaba yang berfokus pada pelestarian lingkungan, Yayasan Kehati, mengemukakan ada 3,4 juta hektare kebun sawit dalam kawasan hutan. Dari angka tersebut, hanya sekitar 700 ribu hektare yang dikelola oleh petani skala kecil (smallholders).
Sisanya diduga dikuasai oleh korporasi maupun pelaku usaha individu dengan kapasitas finansial yang besar. Pembukaan perkebunan juga diduga tak melalui jalur legal, seperti izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) ataupun skema lainnya.
Selain di kawasan hutan, kajian Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2016 menyebutkan, kawasan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit juga tumpang tindih dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam maupun hutan tanaman industri. Luasnya masing-masing 349 ribu hektare dan 534 ribu hektare. Kalimantan Timur dan Utara menjadi provinsi dengan tumpang tindih sawit dengan sektor usaha kehutanan terluas.
Hal ini juga belum dihitung dengan kebun sawit yang ‘tiba-tiba muncul’ di konsesi perusahaan sektor kehutanan karena ada sebagian kawasannya yang ditelantarkan. Jika pemerintah mengesahkan peralihan status sawit menjadi tanaman hutan, maka keberadaan sawit di konsesi perusahaan tersebut kemungkinan bakal menjadi legal. Hal tersebut diprediksi menciptakan peluang bisnis baru bagi perusahaan-perusahaan sektor kehutanan.
Sebagian konsesi sektor kehutanan yang belum dirambah juga berkesempatan untuk ditanami sawit baru. Hal ini berisiko melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Studi bahkan menyebutkan jumlah emisi yang terlepas akibat penanaman sawit baru, khususnya di lahan gambut, bisa mencapai dua kali lipat dibanding kebun sawit lama.
Bukan hanya itu, dalam segi perekonomian, upaya perluasan kebun sawit korporasi juga berpotensi mematikan petani kecil. Sebab, harga akan rawan anjlok apabila terjadi kelebihan pasokan (oversupply) tandan buah segar (TBS) sawit. Hal ini membuat petani kecil semakin rentan.
Bagi petani kecil, usulan ini sama sekali tidak memberikan keuntungan. Sebab, persoalan bagi sebagian besar petani sawit skala kecil adalah aspek legalitas--yang sudah ada skema jalan keluarnya melalui Perhutanan Sosial.
Dengan memasukkan sawit sebagai tanaman hutan atau tidak, jika aspek legalitas lahan tidak diperhatikan, maka petani tetap akan kesulitan menjual hasil kebunnya kepada pabrik-pabrik besar yang mensyaratkan pembelian tandan sawit dari perkebunan yang legal.
Selanjutnya, Hero menjelaskan, pemerintah sebenarnya sudah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk perbaikan tata kelola sawit. Misalnya, kebijakan moratorium penerbitan izin sawit baru yang berlaku sejak 2018 hingga September 2021.
Tahun lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Aturan tersebut mengatur penyelesaian tumpang tindih sawit sebagai kawasan hutan. Petani sawit dapat melegalkan perkebunannya dengan cara mengajukan skema perhutanan sosial kepada pemerintah. Perhutanan sosial adalah pemberian hak pengelolaan hutan yang berkelanjutan dari negara kepada masyarakat (desa, masyarakat adat, ataupun kelompok tani).
Setelah memperoleh hak pengelolaan tersebut, petani diwajibkan menerapkan strategi jangka benah. Skema ini mensyaratkan pemulihan ekosistem hutan yang terlanjur ditanami sawit harus ditanami tanaman lainnya dengan cara wanatani (agroforestry) selama waktu tertentu.
Pohon yang ditanam juga harus memenuhi beragam kriteria seperti berakar dalam untuk mengembalikan fungsi hidrologis (tata air) suatu kawasan, serta fungsi dan struktur ekosistem hutan. Aspek lainnya adalah, pohon mesti berumur panjang, mudah dibudidayakan, dan bernilai ekonomi tinggi. Faktor asal pohon yang berasal dari jenis endemik setempat juga harus masuk dalam pertimbangan. Beberapa pohon yang memenuhi kriteria tersebut misalnya, jengkol, cempedak, petai, durian, ataupun meranti.
Didukung sejumlah bukti ilmiah, strategi jangka benah dapat menjaga kelangsungan budi daya kelapa sawit sekaligus memulihkan fungsi kawasan hutan yang terdegradasi akibat perkebunan monokultur (sejenis).
Sebaliknya, jika usulan sawit menjadi tanaman hutan disetujui, maka pemilik kebun sawit yang tumpang tindih berisiko terbebas dari kewajibannya memulihkan kondisi hutan. Akibatnya degradasi lingkungan akibat perkebunan sawit monokultur terus berlangsung tanpa pertanggungjawaban yang sepadan. Kerusakan juga bisa terus meluas.
Dampak lainnya adalah, aturan perbaikan yang sudah diinisiasi pemerintah untuk menengahi persoalan kesejahteraan petani sawit dan lingkungan berisiko jalan di tempat.
Sawit memiliki banyak nilai tambah yang bermanfaat bukan hanya bagi petani, tapi juga masyarakat sebagai pengguna. Kontribusi komoditas ini terhadap penerimaan negara, langsung maupun tak langsung, juga tidak bisa dianggap sebelah mata.
Namun, hal itu bukan menjadi alasan untuk menafikan persoalan tata kelola perkebunan sawit yang berdampak pada kelangsungan lingkungan. Butuh langkah yang harmonis dari pemerintah, petani sawit, dan perusahaan untuk menyelaraskan aktivitas perkebunan kelapa sawit dengan kelestarian ekosistem.
Patut diingat bahwa Indonesia juga termasuk sebagai negara yang berkomitmen menekan angka deforestasi pada 2030 mendatang. Tentunya, segala upaya termasuk melalui penerbitan kebijakan terkait sawit, harus sejalan dengan komitmen tersebut.
Persetujuan sawit menjadi tanaman hutan akan membuat dunia internasional mempertanyakan komitmen Indonesia untuk menjaga ekosistem dan mengembalikan kekayaan biodiversitas. Karena itu, perlu ada keputusan yang berbasis temuan-temuan ilmiah serta dialog dengan berbagai pemangku kepentingan.
Hutan Terdegradasi Bukanlah Lahan Yang Bisa Dimanfaatkan untuk Tujuan Apa Saja
Hamparan perkebunan sawit PT Binasawit Abadi Pratama di Kalimantan Tengah. Areal perkebunan sawit milik anak usaha Sinar Mas Grup ini berada di dalam Kawasan Hutan./Foto: Betahita.id
Dalam tulisannya yang dipublikasikan di Forest Digest, penulis kehutanan yang juga pensiunan aparatur sipil negara (ASN) di Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM LHK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pramono Dwi Susetyo, menyebut ada problem mendasar dalam hal budi daya hutan (silvikultur), regulasi, pemahaman data dan aspek lingkungan (ekologis, hidrologis, emisi karbon jika sawit masuk dalam tanaman kehutanan.
Pertama, menurut The State of Indonesia's Forest 2020, luas hutan Indonesia 120,3 juta hektare. Yang mana kawasan non tutupan hutan seluas 33,4 juta hektare merupakan lahan-lahan terbuka, semak belukar dan tanah terlantar. Namun lahan-lahan itu bukanlah lahan yang menganggur yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan apa saja. Lantaran masing-masing areal itu mempunyai fungsi kawasan masing-masing.
Meski kawasan hutan seluas 33,4 juta hektare tak lagi memiliki tutupan hutan (forest coverage), kawasan tersebut masuk dalam kawasan hutan konservasi 4,5 juta hektare, hutan lindung 5,6 juta hektare, hutan produksi terbatas 5,4 juta hektare, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 6,5 juta hektare.
Menurut regulasi bidang kehutanan, kegiatan budi daya kehutanan hanya diizinkan dalam kawasan hutan produksi seluas 16,8 juta hektare. Itu pun sebagian besar telah digunakan dan dicadangkan untuk kepentingan atau penggunaan lain, seperti perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare dan pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan non-kehutanan.
Hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 6,5 juta hektare juga dipersiapkan dan dicadangkan untuk kepentingan pembangunan non-kehutanan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, transmigrasi, redistribusi lahan melalui program tanah objek reforma agraria (TORA), dan percetakan sawah baru. Jadi, luas kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan yang belum dikaveling untuk pemanfaatan lain berkisar kurang dari 2 juta hektare.
Kedua, secara silvikultur, bisnis utama hutan adalah kayu, bukan hasil hutan non-kayu. Secara bisnis, kayu sawit tidak memiliki nilai ekonomis. Dengan jarak tanam 9x9 meter, areal satu hektare hanya akan ada 123 pokok batang sawit. Jika tingginya 15 meter, kayunya hanya 25 meter kubik.
Bila dibandingkan, tanaman kayu dengan luas sama kayu yang dihasilkan sekitar 40-50 meter kubik untuk hutan tanaman dan 100 meter kubik untuk hutan alam. Bahkan dalam hutan tanaman industri jenis Acasia mangium dengan daur 8 tahun, mampu menghasilkan kayu bulat sebesar 165,89 meter kubik.
Ketiga, seandainya sawit bisa digolongkan tanaman hutan, aturan budi daya hutan harus tunduk pada pengaturan jarak tanam dengan penjarangan dan pemangkasan cabang dan ranting pohon sawit untuk mendapatkan kayu yang berkualitas tinggi. Sawit tidak mungkin mengikuti aturan silvikultur kehutanan, karena pemangkasan dan penjarangan tanaman akan mempengaruhi produksi buah sawit.
Keempat, definisi hutan tidak sekedar lahan dalam luasan tertentu yang ditutupi tanaman, lebih dari itu, harus mampu menciptakan iklim mikro. Definisi sawit sebagai tanaman hutan biasanya mengacu pada definisi hutan dari Badan Pangan Dunia (FAO). Pada 2010, FAO mendefinisikan hutan sebagai suatu hamparan lahan dengan luas lebih dari 0,5 hektare yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dan dengan penutupan tajuk lebih dari 10 persen, atau ditumbuhi oleh pohon-pohon yang secara alami (asli) tumbuh di tempat itu dengan tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 5 meter.
Sementara itu, definisi hutan terbaru saat ini mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang digabungkan dengan definisi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Indonesia untuk Mekanisme Pembangunan Bersih. Definisi hutan terbaru adalah suatu areal lahan lebih dari 6,25 hektare dengan pohon lebih tinggi dari 5 meter pada waktu dewasa dan tutupan kanopi lebih dari 30 persen.
Dengan definisi ini sawit tidak masuk dalam kriteria. Dengan jarak 9x9 meter, dalam satu hektare lahan akan hanya berisi sekitar 123 pokok batang sawit, maka iklim mikro sulit tercipta di habitat sekecil itu.
Kelima, dari aspek lingkungan, sawit dengan akar pendek tidak mampu menyimpan air dalam jumlah banyak tidak seperti pohon, apalagi setara dengan ekosistem rawa gambut. Fungsi hidrologi tanaman perkebunan juga buruk. Kemudian penelitian di Chile menyebutkan pohon monokultur tidak baik dijadikan pengendali iklim. Tanaman monokultur sedikit menyerap karbon, karena mereka besaing memperebutkannya, tidak saling berbagi seperti halnya hutan alam yang menyimpan keragaman hayati tinggi.
Pramono menyebut, menggolongkan sawit ke dalam tanaman hutan menimbulkan keraguan dan banyak pertanyaan. Apalagi sawit di kawasan hutan kini luasnya mencapai 3,2 juta hektare. Itu saja masalahnya pelik karena ilegal. Jika tujuan memasukkan sawit ke dalam kategori tanaman hutan untuk mengurangi luas deforestasi, maka itu juga tidak selaras dengan usaha mengurangi dan menyerap karbon dalam mitigasi krisis iklim.
Menurut Pramono, ketimbang meributkan sawit menjadi tanaman hutan, studi ilmiah sudah menjawab bahwa nilai hutan akan naik jika memadukan pelbagai tanaman dalam satu areal hutan. IPB misalnya, mengajurkan multiusaha, UGM mengajukan jangka benah untuk mengembalikan fungsi ekonomi dan ekologi sekaligus.
Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University dan Apkasindo Terbitkan Naskah Akademik
Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB bersama Apkasindo menerbitkan naskah akademik berjudul Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi, yang konon diterbitkan pada Januari 2022 lalu./Foto: Naskah Akademik Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi
Sejumlah argumentasi beberapa pakar kehutanan itu seolah memadamkan argumentasi yang dibangun sejumlah akademisi dan praktisi perkebunan kelapa sawit yang menginginkan sawit menjadi tanaman hutan.
Jarnuari 2022 lalu Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institute Pertanian Bogor (IPB) University menerbitkan naskah akademik berjudul 'Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi'. Naskah akademik ini menguraikan beberapa alasan dan manfaat apabila kelapa sawit digolongkan sebagai tanaman hutan.
Sebelumnya, gagasan agar sawit menjadi tanaman kehutanan ini sebetulnya sudah mengemuka sejak lama. Pada September 2016 lalu mantan Menteri Kehutanan era Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, yakni Malem Sambat Kaban atau M.S. Kaban mencetuskan gagasan itu.
Naskah akademik 'Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi' ini disusun oleh sejumlah akademisi, yang diketuai oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh tim penyusun yang melatarbelakangi gagasan sawit sebagai tanaman hutan.
- Seperti halnya kelapa sawit yang berasal dari hutan tropis Nigeria, semua tanaman yang diusahakan saat ini, dahulunya berasal dari tumbuhan liar atau tumbuhan hutan, kemudian dilakukan domestikasi dan seleksi sesuai dengan kebutuhan manusia.
- Kebun sawit tidak menyebabkan kekeringan air sumur, sungai dan karena penyerapan air dari tanah oleh tanaman kelapa sawit tidak mungkin dapat dilakukan melebihi kedalaman solum tanah di zona perakaran.
- Kebun Kelapa Sawit dapat menjadi habitat dari berbagai taksa satwa liar, seperti mamalia, burung, amfibi dan reptil.
- Tanaman kelapa sawit memiliki kemampuan penyerapan CO2 yang tinggi dan paling efisien dalam pemanfaatan radiasi matahari dibandingkan dengan tanaman komoditas kehutanan lainnya.
- Dalam hal kinerja finansial ekonomi, baik pada level rumah tangga maupun nasional, perkebunan kelapa sawit jauh mengungguli Hutan Tanaman Industri (HTI).
- Tiga sistem penggunaan lahan pertanian, karet hutan, perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit, sangat berbeda dalam sifat sosial ekonomi.
- Dari sudut pandang profitabilitas per unit lahan, perkebunan kelapa sawit intensif memberikan opsi penggunaan lahan terbaik yang dipertimbangkan petani.
- Perlu adanya political will yang kuat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menetapkan kelapa sawit menjadi tanaman hutan.
- Penetapan kelapa sawit sebagai tanaman kehutanan akan memberikan dampak positif bagi keberlanjutan pekebun kelapa sawit.
Tim penyusun naskah akademik berpendapat, ada beberapa implikasi positif jika kelapa sawit dapat dijadikan sebagai salah satu tanaman di kawasan hutan terdegradasi/kritis atau tidak produktif.
- Luas areal berhutan Indonesia akan meningkat drastis. Dengan masuknya kelapa sawit sebagai salah satu tanaman hutan, maka secara otomatis luas areal berhutan (bukan kawasan hutan) bertambah paling tidak seluas 16,38 juta hektare.
- Peningkatan tingkat keanekaragaman jenis hayati pada kawasan-kawasan hutan terdegradasi, kritis dan tidak produktif. Penelitian yang dilakukan pada sekitar 25 perkebunan kelapa sawit dan lebih dari 50 kebun sawit rakyat yang tersebar di 5 provinsi menunjukkan bahwa secara umum perubahan dari tutupan lahan semak belukar, ladang pertanian, kebun karet dan coklat, bekas pertambangan menjadi kebun sawit telah meningkatkan keanekaragaman jenis mamalia, burung, amfibi, reptil dan kupu-kupu.
- Peningkatan kontribusi serapan gas rumah kaca dari areal berhutan. Selama ini tanaman/kebun sawit belum pernah diperhitungkan serapan gas rumah kacanya, padahal hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa laju serapan CO2 kebun sawit relatif lebih tinggi dari tipe tutupan lahan lainnya.
- Nilai ekonomi dan kontribusi kawasan hutan terdegradasi semakin tinggi. Selama ini kawasan hutan/lahan terdegradasi, kritis dan atau tidak produktif dengan luasan sekitar 14 juta hektare praktis tidak memiliki nilai ekonomi.
- Percepatan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa. Perkembangan luas kebun sawit (baik kebun rakyat maupun perkebunan swasta) terbukti lebih cepat bila dibandingkan dengan perkembangan luas Hutan Tanaman Industri.
- Target Program Reboisasi/penghijauan hutan dan lahan kritis akan lebih cepat tercapai. Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa keberhasilan program reboisasi hutan terdegradasi dan penghijauan lahan kritis sampai saat ini masih belum mendapat target yang direncanakan, walaupun telah menelan biaya yang sangat besar.
- Penyelesaian permasalahan kebun kelapa sawit di kawasan hutan menjadi relatif lebih mudah. Karena sawit dianggap bukan sebagai tanaman hutan, maka keberadaan/keterlanjuran kebun sawit di kawasan hutan dijadikan masalah, menjadi topik FGD, seminar yang sampai saat ini masih tetap belum terpecahkan solusi terbaiknya. Konsep “jangka benah” yang diusung oleh sekelompok pakar kehutanan dipandang “berat sebelah”, cenderung menguntungkan pihak Kementerian LHK selaku “owner” kawasan hutan, sementara para petani sawit merasa dirugikan.
- Pergeseran pemaknaan deforestasi atau degradasi terhadap kebun sawit di kawasan hutan menjadi “Reforestasi hutan dan rehabilitasi hutan”. Sesuai dengan pengertian “Reforestasi hutan dan rehabilitasi hutan”, maka jika kelapa sawit dijadikan sebagai salah satu tanaman hutan dan kemudian ditanam pada kawasan hutan terdegradasi, kritis dan atau tidak produktif yang dikombinasikan dengan tanaman unggulan setempat serta tanaman kehidupan bagi masyarakat sekitarnya, maka tudingan kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi akan bergeser/berubah menjadi reforestasi/reboisasi.
Naskah akademik itu juga memberikan rekomendasi, yaitu berdasarkan hasil kajian/analisis terhadap berbagai aspek: sejarah asal-usul, bio-ekologi, kesesuaian lahan dan hidrologi, konservasi keanekaragaman hayati, iklim mikro/serapan dan emisi GRK, kinerja ekonomi finansial dan dampaknya terhadap sosekbud masyarakat sekitarnya serta keunggulan komparatif dan berbagai implikasi positif yang dimiliki maka kelapa sawit layak dan prospektif untuk dijadikan sebagai salah satu tanaman hutan terdegradasi/kritis dan atau tidak produktif. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Petanian dapat menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman kehutanan.
Untuk mengantisipasi kerentanan sistem “monokultur” dan menjaga keseimbangan ekologis, tanaman kelapa sawit dalam skala luas seyogyanya dikombinasikan/dicampur dengan tanaman hutan unggulan setempat dan tanaman kehidupan yang diperlukan oleh masyarakat sekitarnya.
Asal Usul dan Sejarah Sawit di Indonesia
Tandan buah segar (TBS) sawit di salah satu perusahaan perkebunan sawit swasta di Kabupaten Muko-Muko, Bengkulu./Foto: Betahita.id
Mengutip Naskah Akademik 'Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi', kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) merupakan tumbuhan tropis yang diperkirakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat), karena pertama kali ditemukan di hutan belantara negara tersebut. Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1848, dibawa dari Mauritius dan Amsterdam oleh seorang warga Belanda.
Bibit kelapa sawit yang berasal dari kedua tempat tersebut masing-masing berjumlah dua batang dan pada tahun itu juga ditanam di Kebun Raya Bogor. Hingga saat ini, dua dari empat pohon tersebut masih hidup dan diyakini sebagai nenek moyang kelapa sawit yang ada di Asia Tenggara.
Sebagian keturunan kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor tersebut ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli Serdang (Sumatera Utara) pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19.
Kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenalah jenis sawit "Deli Dura". Pada tahun 1911 Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 hektare.
Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor Negara Afrika waktu itu. Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia.
Sejak pendudukan Jepang, produksi merosot karena banyak areal kelapa sawit dimusnahkan. Pada tahun 1957, setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia, pemerintah mengambil alih perkebunan (dengan alasan politik dan keamanan). Pemerintah RI melakukan program nasionalisasi perkebunan kelapa sawit. Setelah itu perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat di seluruh daerah di Indonesia.
KLHK Tegaskan Sawit Bukan Tanaman Hutan
Terlihat dari ketinggian perkebunan sawit yang diduga ditanam oleh PT Mitra Puding Mas di Bengkulu yang terindikasi masuk ke dalam Taman Wisata Alam Seblat./Foto: Betahita.id
Penegasan sawit bukan tanaman kehutanan itu, menurut Dirjen PHPL, Agus Justianto didasarkan pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis dan kajian akademik berlapis. Dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.23 Tahun 2021, sawit juga tidak masuk sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Agus menjelaskan, pemerintah saat ini lebih fokus untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang telah terjadi sejak beberapa dekade lalu, sehingga mengakibatkan masifnya ekspansif penanaman sawit di dalam Kawasan Hutan yang non prosedural dan tidak sah. Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokultur, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial yang harus diselesaikan.
"Mengingat hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan, dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini belum menjadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi," ungkap Agus.
Terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam Kawasan Hutan maka penyelesaiannya dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga penegakan hukum yang dilakukan dapat memberikan dampak yang terbaik bagi masyarakat serta bagi hutan itu sendiri.
Salah satunya melalui regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestry tertentu disertai dengan komitmen kelembagaan dengan para pihak.
Kebijakan turunan dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, yaitu Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit. Adapun jenis tanaman pokok kehutanan untuk Hutan Lindung dan Hutan Konservasi harus berupa pohon penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan dapat berupa pohon berkayu dan tidak boleh ditebang.
Dalam peraturan ini diberlakukan larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib kembali diserahkan kepada negara. Untuk kebun sawit yang berada dalam Kawasan Hutan Produksi diatur diperbolehkan satu daur selama 25 tahun. Sedangkan yang berada di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi hanya dibolehkan 1 daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.
Jangka benah wajib dilakukan sesuai tata kelola Perhutanan Sosial, penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, tanpa melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama masa jangka benah.
Agus menuturkan, pendekatan ultium remidium diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan. Undang-Undang Cipta Kerja juga telah memperjelas bahwa sawit bukan tanaman hutan karena ada proses menghutankan kembali melalui jangka benah. Dengan begitu, UU Cipta Kerja telah memposisikan secara jelas bahwa sawit tetap tergolong sebagai tanaman perkebunan.
"Ruang tanam sawit secara sah sudah ada ruang mekanismenya dan sudah terang benderang pula pengaturannya. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaan PP24/2021 dapat kita kawal bersama agar efektif implementasinya, sehingga hutan bisa lestari dan rakyat tetap sejahtera," tutup Agus