LIPUTAN KHUSUS:

Aktivis Lingkungan Minta Jepang Setop Danai PLTU di Bangladesh


Penulis : Aryo Bhawono

Bangladesh dengan geografis dataran rendah, kepadatan penduduk tinggi, dan infrastruktur yang lemah sangat rentan terhadap perubahan iklim.

Perubahan Iklim

Kamis, 17 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Para aktivis lingkungan muda meminta Jepang untuk Jepang harus menghentikan pendanaan pembangunan PLTU batu bara di Bangladesh. Selain mempercepat pemanasan global, emisi emisi yang dihasilkan PLTU bakal menempatkan negara dataran rendah itu pada risiko yang lebih besar terhadap dampak perubahan iklim.

Perusahaan Jepang Sumitomo Corp, Toshiba, dan IHI Corporation, tengah membangun pembangkit listrik Matarbari di Moheshkhali, dekat kota pesisir tenggara Cox's Bazar, Bangladesh, yang didanai oleh Japan International Cooperation Agency (JICA). 

Proyek itu bertentangan dengan komitmen Jepang, yang dibuat dengan negara-negara G7 kaya lainnya pada Mei 2021 lalu, yakni mengakhiri pendanaan PLTU di luar negeri pada akhir tahun 2021.

Para aktivis beranggapan PLTU yang sedang dibangun di Cox's Bazar, pantai terpanjang di dunia, menempatkan kehidupan dan mata pencaharian penduduk setempat dalam bahaya dan akan menambah kesengsaraan iklim yang lebih luas.

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara. Foto: Getty Images

Para pejabat Bangladesh mengatakan mengambil berbagai langkah memungkinkan untuk mengurangi konsekuensi negatif dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

Dikutip dari Thomson Reuters Foundation News, Kentaro Yamamoto, seorang aktivis gerakan mahasiswa Fridays for Future Japan, mengatakan dukungan internasional untuk infrastruktur energi semacam itu ditawarkan ke negara-negara Asia sebagai bantuan pembangunan tetapi justru menghancurkan lingkungan. 

Para aktivis pun meluncurkan kampanye untuk menuntut Sumitomo dan JICA berhenti mengerjakan proyek tersebut. Mereka bersama ilmuwan lingkungan dari kawasan itu mengatakan Jepang harus berhenti berinvestasi dalam energi kotor, untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius sejalan dengan tujuan iklim yang disepakati secara internasional.

"Proyek ini merugikan rakyat Bangladesh dan planet ini. Sekitar 20.000 orang kehilangan tanah, rumah, dan pekerjaan, banjir akan semakin parah dan sekitar 14.000 orang bisa kehilangan nyawa karena limbah beracun," kata Yamamoto dalam acara online.

Pembangkit listrik Bangladesh bertentangan dengan upaya global untuk mencegah perubahan iklim, dan komitmen Sumitomo sendiri untuk menjadi netral karbon pada tahun 2050, kata para aktivis.

"Mencapai target nol bersih pada tahun 2050 tidak berarti membakar batu bara sampai menit terakhir. Sudah terlalu terlambat untuk membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru sekarang," kata Roger Smith, manajer proyek Jepang di Mighty Earth, sebuah organisasi advokasi.

Seorang juru bicara Sumitomo, yang mulai membangun Matarbari pada tahun 2017, mengatakan pembangkit tersebut akan dioperasikan oleh pemerintah Bangladesh dan tidak bertentangan dengan tujuan bersih Sumitomo. Perusahaan Jepang itu akan mengakhiri semua bisnis pembangkit listrik tenaga batu bara pada akhir tahun 2040-an. .

Sekitar 8% pasokan listrik Bangladesh berasal dari batu bara. Pada tahun lalu mereka membatalkan 10 dari 18 rencana pembangunan PLTU. Pembatalan ini terjadi di tengah meningkatnya biaya untuk bahan bakar yang menimbulkan polusi. Para aktivis pun meningkatkan seruan agar negara itu mendapatkan lebih banyak listrik dari sumber energi terbarukan.

Mohammad Hossain, kepala Power Cell sekaligus bagian teknis dari Kementerian Energi Bangladesh, mengatakan pemerintah belum menerima petisi dari aktivis iklim untuk menghentikan proyek Matarbari.

"Kami telah membatalkan pembangkit listrik dengan tujuan untuk mengurangi emisi tetapi ini adalah proyek yang sedang berlangsung dan tidak ada keraguan untuk membatalkannya," katanya kepada Thomson Reuters Foundation.

Pembangkit listrik yang dikelola negara, yang diharapkan akan beroperasi pada tahun 2024, akan menggunakan teknologi baru untuk membatasi emisi, meminimalkan asupan air dan mengurangi abu terbang untuk menghindari kerusakan lingkungan, tambahnya.

"Negara kami berkembang pesat - permintaan energinya meningkat. Proyek ini telah diambil dengan melihat permintaan tahun 2030," kata Hossain.

Aktivis mengatakan pendanaan penggunaan bahan bakar fosil menempatkan masalah ekonomi di atas keselamatan masyarakat. Negara itu berada di dataran rendah, memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, dan infrastruktur yang lemah sehingga sangat rentan terhadap perubahan iklim.

"Kami memiliki kapasitas untuk transisi ke energi terbarukan dan membutuhkan dukungan Jepang untuk melakukan transisi ini tetapi tidak untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang ditujukan untuk keuntungan mereka," kata Farzana Faruk Jhumu dari cabang Bangladesh Fridays for Future .

JICA mengatakan, sebagai lembaga pemerintah, mereka mengikuti kebijakan nasional dan bertujuan untuk mempromosikan kerjasama internasional.