LIPUTAN KHUSUS:
Pusaka: Papua Kehilangan Hutan Seluas 5.810 Hektare Pada 2021
Penulis : Kennial Laia
Di tengah evaluasi dan pencabutan perizinan sawit dan kehutanan, deforestasi masih terus terjadi di Tanah Papua sepanjang 2021.
Hutan
Minggu, 20 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Deforestasi atau hilangnya tutupan hutan terus terjadi di Tanah Papua. Menurut Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, seluas 5.810 hektare dibabat untuk bisnis perkebunan dan kehutanan sepanjang tahun 2021.
Natalia Yewen, peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mengatakan, berdasarkan pemantauan lapangan dan citra satelit, pembersihan lahan terjadi pada lokasi izin usaha perkebunan, industri hutan tanaman industri, dan pembalakan kayu.
“Kami mencatat sepanjang tahun 2021, telah terjadi pembukaan lahan dan deforestasi di Papua seluas 5.810 hektare yang lokasinya tersebar di beberapa daerah,” kata Natalia dalam peluncuran Catatan Akhir Tahun 2021, Jumat,18 Februari 2022.
Pembukaan hutan terluas berada di areal perusahaan pembalakan kayu seluas 2.286 hektare, yang diduga untuk pembangunan infrastruktur perusahaan, penebangan, dan pemanenan ilegal. Pusaka mencatat, salah satu kasus penebangan ilegal diduga melibatkan perusahaan kayu PT Papua Satya Kencana, anak perusahaan Artha Graha group, yang beroperasi di Kabupaten Teluk Bintuni.
Sementara itu, laporan Perkumpulan Panah Papua (November 2021) menemukan adanya pelanggaran pemanenan kayu bulat di Distrik Merdey berada di luar rencana kerja tahunan (RKT). Perusahaan diduga turut menggusur spesies lindung jenis kayu damar putih.
Selain itu, pembukaan hutan terluas lainnya terjadi di sebuah hamparan di sekitar Kali Mbian, Distrik Kaptel, Kabupaten Merauke. Pembabatan seluas 1.789 hektare tersebut diduga dilakukan oleh perusahaan hutan tanaman industri PT Plasma Nutfah Marind Papua (PT PNMP), anak perusahaan Moorim dari Korea.
“Dari pemantauan lapangan dan informasi masyarakat adat Malind di Kampung Buepe yang bermukim di sekitar lokasi perusahaan, diduga PT PNMP menggusur hutan dataran rendah, rawa dan lahan gambut, untuk pengembangan hutan tanaman,” tulis Pusaka dalam laporannya.
Kawasan hutan hilang dan rusak juga terjadi pada areal perusahaan perkebunan kelapa sawit seluas 1.552 hektare. PT Medco Papua Hijau Selaras (MPHS), anak perusahaan Capitol group, yang beroperasi di daerah Distrik Prafi dan Sidey, Kabupaten Manokwari, diduga menggusur hutan setempat seluas 1.038 hektare untuk perluasan kebun sawit.
Menurut Pusaka, aktivitas PT MPHS sering mendapat keluhan dari masyarakat adat dan buruh perusahaan. Hal itu terkait pengrusakan hutan, pencemaran sungai dan udara, bencana banjir dan hak-hak buruh, serta tanggung jawab sosial.
Sementara itu, PT Perkebunan Boven Digoel Sejahtera (PBDS) di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, juga melakukan penggusuran hutan seluas 434 hektare. Perusahaan ini merupakan anak dari Digoel Agri group.
Ironisnya, kedua perusahaan yang beroperasi di Distrik Jair, Boven Digoel, itu telah memiliki komitmen untuk pengembangan perkebunan berkelanjutan menggunakan pendekatan tanpa deforestasi, perusakan gambut, dan eksploitasi (NDPE).
Pusaka menyebut komitmen hijau dan janji kesejahteraan tersebut hanya untuk pencitraan dan untuk menutupi operasi yang melanggar hak masyarakat dan merusak lingkungan.
Natalia Yewen mengatakan, meskipun pemerintah provinsi saat ini mulai melakukan evaluasi perizinan di Tanah Papua, pelanggaran masih terus terjadi dengan pola baru.
“Negara dan pelaku bisnis perlu memperkuat upaya melindungi dan menghormati hak masyarakat adat, lingkungan, serta pembela lingkungan,” tegasnya.