LIPUTAN KHUSUS:

Revisi Otsus: Pemerintah Harus Dengar Aspirasi Orang Asli Papua


Penulis : Kennial Laia

Meski revisi kedua UU Otsus telah dilakukan, sejumlah pengamat menilai pemerintah belum mendengar aspirasi orang asli Papua.

Masyarakat Adat

Jumat, 25 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pemerintah dinilai mengabaikan aspirasi orang asli Papua (OAP). Hal itu terutama dalam revisi kedua Undang-Undang Otonomi Khusus.

Untuk diketahui, pemerintah dan legislator di Senayan telah menyepakati Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus). Revisi kedua aturan ini disebut sebagai sinyal buruk karena berupaya memindahkan kekuasaan politik dari Tanah Papua ke Jakarta.

Hal itu disampaikan oleh para narasumber dalam media briefing yang diselenggarakan Public Virtue Research Institute (PVRI), Rabu, 23 Februari 2021. 

Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait mengatakan, pemerintah pusat abai terhadap aspirasi OAP. Menurutnya, MRP berusaha mengakomodir aspirasi politik masyarakat dengan menciptakan “kantong-kantong aspirasi”. Namun upaya tersebut menemui tindakan represif dari aparat penegak hukum.

Demonstrasi Orang Asli Papua menuntut penghentian perampasan lahan masyarakat adat, di Jakarta, pada 2017. Foto: Kennial Laia/Betahita

Yoel mencontohkan peristiwa di beberapa kabupaten seperti Wamena, Merauke, Sentani, Biak, dan Nabire. Acara rapat dengar pendapat yang digelar MRP dihalangi oleh aparat keamanan.

“Bahkan di Merauke, sejumlah anggota MRP ditangkap dan diborgol. Kami tidak diperbolehkan meninggalkan bangunan hingga harus menyewa pesawat untuk memulangkan mereka,” ungkap Yoel kepada media, Rabu, 23 Februari 2022.

Menurut Yoel, pihaknya kecewa atas kegagalan pemenuhan kewajiban yang tercantum dalam UU Otsus bagi Provinsi Papua. Dari 24 kewajiban, hanya empat yang berhasil direalisasikan. Diantaranya, pengangkatan kepala daerah Orang Asli Papua (OAP), pembentukan MRP, pelimpahan kewenangan legislatif kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan pemberian status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“Amanat lainnya, termasuk pembentukan lembaga komisi kebenaran dan rekonsiliasi guna membina perdamaian pasca kekerasan di Papua, diingkari oleh negara,” jelas Yoel.

Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan hal serupa. Menurutnya, revisi kedua UU Otsus dirumuskan tanpa partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat.  

“Dengan tidak melibatkan MRP dalam proses penyusunannya, negara dianggap tidak merekognisi kedudukan MRP sebagai representasi kultural OAP, sebagaimana diamanatkan pada UU No. 21/2001,” ujar Usman.

Usman mendesak agar pemerintah menunda proses pemekaran di provinsi Papua dan fokus untuk mendorong pembentukan pengadilan hak asasi manusia (HAM), komisi kebenaran dan rekonsiliasi, serta komnas HAM bagi Papua.

“Kami berharap bahwa proses pemekaran provinsi yang direncanakan atas Papua, setidaknya dapat ditunda sambil menunggu putusan Mahkamah Konstitusi agar kita dapat melihat apakah hak-hak kekhususan bagi Papua benar-benar dilindungi oleh negara,” ujar Usman.

Sementara itu, perwakilan Pokja Masyarakat Adat MRP Minggus Madai menyoroti hak-hak dasar masyarakat yang belum memadai terutama di pelosok Papua. Dia khawatir, infrastruktur dan kebutuhan masyarakat menjadi tidak terpenuhi sama sekali jika pemerintah pusat hanya berfokus pada pemekaran provinsi.

“Infrastruktur dan pelayanan dasar di berbagai daerah di pelosok Papua belum memadai dan belum dapat menunjang kemandirian provinsi-provinsi baru. Ditambah lagi persoalan kesejahteraan masyarakat Papua yang terus terpinggirkan dengan kedok proyek-proyek pembangunan negara,” tutur Minggus.

Miya Irawati, direktur eksekutif PVRI, menyebut rencana pemekaran wilayah yang ada di Papua menggambarkan upaya untuk pemenuhan kepentingan politik negara di Papua dalam perspektif yang Jakarta-sentris, dan pemisahan kekuatan politik masyarakat akar rumput.

“Pendekatan negara di Papua yang selalu mengedepankan paradigma keamanan telah menguatkan potensi pemekaran wilayah. Ini kelak akan berimbas pada penambahan kekuatan baru dan berdampak pada distribusi pasukan keamanan yang semakin masif di pelosok Papua,” jelasnya. 

Miya mendesak keseriusan pemerintah dalam memperhatikan suara Orang Asli Papua. Bagaimanapun, Tanah Papua adalah rumah dan penghidupan masyarakat adatnya maupun komunitas lokal.