LIPUTAN KHUSUS:

Pemantauan Berbasis Data Penting bagi Hutan Sulteng yang Tergerus


Penulis : Kennial Laia

Hutan dan lingkungan yang tergerus di Sulawesi Tengah membutuhkan kebijakan dan kemauan politik dari semua pihak. Data dan informasi menjadi penting.

Hutan

Kamis, 24 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Hilangnya tutupan lahan dan kerusakan lingkungan di Sulawesi Tengah akibat aktivitas perusahaan dinilai memerlukan data dan informasi yang detail dan akurat. Hal ini penting untuk pemantauan dan penyusunan kebijakan, dari tingkat kabupaten hingga provinsi. 

Hal itu disampaikan oleh berbagai narasumber dalam Seminar Nasional Dinamika Tutupan Lahan Sulawesi, Kamis, 24 Februari 2022, di Kota Palu. Acara tersebut sekaligus diseminasi Mapbiomas Indonesia, sebuah platform monitoring tutupan hutan yang dihimpun Yayasan Auriga Nusantara bersama sejumlah lembaga mitra, termasuk Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) untuk regio Sulawesi. 

Mewakili gubernur Sulawesi Tengah, staf ahli gubernur bidang ekonomi dan pembangunan Datuk Pamusu Tombolotutu mengatakan, saat ini implikasi eksploitasi hutan di provinsi tersebut mulai terasa seiring dengan perubahan iklim.

“Saya ingat saat masih kecil, sekitar 35 tahun, eksploitasi hutan itu luar biasa oleh beberapa perusahan besar. Tapi saat itu curah hujan dan longsor jarang terjadi,” kata Pamusu dalam pembukaan seminar, Kamis, 24 Februari 2022.

Menurut KOMIU, organisasi pemerhati hutan di Sulawesi Tengah, provinsi tersebut kehilangan 10 persen tutupan hutan dalam 20 tahun terakhir akibat alih fungsi lahan. Foto: KOMIU

“Tapi kondisi sekarang, ada perubahan iklim sehingga curah hujan meningkat. Hujan sedikit, langsung longsor. Kepala daerah seperti bupati menghabiskan energi mengurus bencana. Inilah implikasi bawaan selama puluhan tahun perusahaan mengeksploitasi hutan,” tuturnya.

Pamusu mengatakan, saat ini tutupan hutan di Sulawesi Tengah  menghadapi kompleksitas. Karena itu, Pamusu berharap agar platform Mapbiomas Indonesia dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh instansi pemerintah daerah dalam menghimpun data dan informasi kehutanan di lapangan. Ini kemudian dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam membuat berbagai kebijakan terkait.

 “Semoga program ini tersosialisasi oleh semua stakeholder. Mudah-mudahan ke depan, teman-teman KOMIU bisa memberi dan dan informasi secara detail, sehingga updating data itu bisa (terjadi-red),” tuturnya.

Mapbiomas pertama kali digagas di Brazil pada 2015 sebagai platform basis data dan monitoring hutan, dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Selanjutnya, sistem ini diadopsi oleh Yayasan Auriga Nusantara bersama mitra, yang secara resmi diluncurkan pada 2021. 

Direktur KOMIU Given Lasimpo mengatakan, pihaknya telah memulai proses audiensi dan perkenalan platform Mapbiomas Indonesia dengan berbagai pihak di Sulawesi Tengah. Mulai dari kantor gubernur, dinas terkait, hingga akademisi dan mahasiswa kehutanan Universitas Tadulako.

Menurutnya seminar nasional hari ini, yang dihadiri terbatas oleh 60 peserta dari berbagai latar belakang, menjadi puncak sosialisasi tersebut.

“Dalam puncak acara hari ini, kami berharap agar platform ini dapat digunakan dalam mengawasi pengelolaan sumber daya alam di Sulawesi Tengah, khususnya oleh pemerintah, akademisi, publik, dan mahasiswa. Sehingga bisa lebih maksimal,” kata Given.

Sementara itu Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapatta mengatakan, platform tersebut dapat memantau penurunan tutupan hutan di wilayah kabupaten, khususnya di Sigi yang menurun menjadi 60 persen. Selain itu, diharapkan juga dapat membantu upaya pemerintah daerah dalam memperkuat perluasan tutupan hutan. 

Di Kabupaten Sigi, misalnya, telah memulai program yang mewajibkan setiap desa menanam 5.000- 10 ribu pohon. Di kawasan daera aliran sungai juga sedang didorong untuk menanam sejuta pohon bambu.

“Harapannya, program ini dapat mengisi kembali tutupan lahan di kawasan hutan yang sudah tergerus luar biasa,” kata Irwan.

Menurut Irwan, saat ini kegiatan bisnis telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan penggusuran hutan. Proses pemulihannya pun membutuhkan proses panjang. Karena itu, sinergi dibutuhkan mulai dari akademisi, swasta, organisasi masyarakat, pemerintah daerah  hingga kemauan politik dari pemerintah pusat.

“Hal yang akan kita laksanakan hari ini sangat baik. Berangkat dari scope kecil, hingga pemerintah dan kemitraan. Maka saat ini ada semacam kekuatan, sehingga Mapbiomas Indonesia ini bisa berjalan dan terstruktur,” ujar Irwan.

“Namun, apapun yang kita lakukan hari ini, harus didukung oleh payung hukum dan kemauan politik dari pemerintah pusat.”

Yahdi Basma, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tengah, mengatakan saat ini berbagai kebijakan di level provinsi telah dibuat. Namun implementasi dan penegakan hukumnya masih lemah. 

Menurutnya, kemauan politik juga dibutuhkan dalam menata kawasan dan ruang wilayah, termasuk dalam mempertimbangkan iklim dan kerusakan lingkungan. Yahdi mendorong agar pemerintah daerah tidak ikut mendorong pengrusakan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Hasilnya, Yahdi mengakui hingga saat ini DPRD belum mengesahkan peraturan daerah terkait RTRW provinsi. Hal ini juga imbas belum tuntasnya persetujuan substansi dari Kementerian Dalam Negeri. Di saat yang bersamaan, sejumlah kabupaten/kota di 13 wilayah otonomi dilaporkan tengah menyelesaikan Perda RTRW-nya.

“Seminar ini menjadi relevan, dan teman-teman KOMIU menemukan momentum mempertemukan kita untuk menghasilkan rekomendasi yang memadai,” tandas Yahdi.