LIPUTAN KHUSUS:
Pembabatan Hutan Merajalela di Jayapura Setelah Pencabutan Izin
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Pemerintah diminta serius terhadap pencabutan izin dan harus pastikan perusahaan yang izinnya dicabut tidak nekat merajalela babat hutan
Hutan
Senin, 28 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pencabutan dan evaluasi izin konsesi kawasan kehutanan yang dilakukan Pemerintah Indonesia telah menciptakan insentif buruk bagi perusahaan yang putus asa untuk mempertahankan cadangan lahannya yang tidak aktif. Greenpeace menyerukan agar kebijakan tersebut diklarifikasi, untuk memastikan perusahaan yang izinnya terdaftar untuk dicabut tidak diperbolehkan melakukan panic clearing tersebut.
Pada 6 Januari, Presiden Indonesia Joko Widodo mengumumkan pencabutan ratusan izin sektor kehutanan, termasuk persetujuan pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit. Beberapa dari izin tersebut berada di Provinsi Papua dan Papua Barat, dan muncul di dalam laporan Greenpeace Stop Baku Tipu Perizinan.
Di antara perusahaan yang persetujuan pelepasan kawasan hutannya dicabut adalah PT Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Menurut laporan media, pemilik tanah adat mengatakan tidak ada aktivitas di kamp perusahaan selama hampir dua tahun, kemudian pembukaan hutan tiba-tiba dimulai kembali dalam beberapa hari setelah pengumuman presiden.
Pengamatan di lapangan dan satelit menunjukkan bahwa jalan dan blok penanaman kelapa sawit sedang dibuka dengan cepat di beberapa wilayah hutan. Greenpeace memperkirakan, sampai 19 Februari 2022, sekitar 70 hektare hutan telah ditebang. Masyarakat adat setempat menidentifikasi lokasi tersebut sebagai situs ekowisata untuk mengamati Burung Cenderawasih.
Citra satelit menampakkan pembukaan lahan di areal PT Permata Nusa Mandiri./Gambar: Greenpeace Indonesia
Pelepasan kawasan hutan yang dicabut tercantum dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) No.1/2022 tertanggal 5 Januari 2022. Dasar untuk memilih izin mana yang dicabut tetap tidak jelas, bahkan Greenpeace telah mengajukan surat keterbukaan informasi ke KLHK, dan tanggapannya tidak menjawab apapun.
Greenpeace perihatin, banyak izin yang seharusnya dicabut dalam proses peninjauan izin Moratorium Kelapa Sawit, tidak dimasukkan dalam daftar izin dicabut. Selanjutnya, paparan MenLHK Siti Nurbaya kepada Komisi IV DPR mempersoalkan pencabutan tersebut, memenuhi syarat sebagai “deklaratif” dan menyarankan agar beberapa pencabutan yang dilakukan melalui Keputusan KLHK No.1/2022 dapat dibatalkan oleh meja “klarifikasi/verifikasi”, sebelum pencabutan “definitif" diumumkan.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Nico Wamafma mengaku khawatir pemerintah telah menyerah pada proses peninjauan izin yang seharusnya melindungi hutan yang tersisa dan melindungi hak-hak adat. Nico menyebut, pencabutan izin itu semestinya dikoordinasikan secara baik dengan pemilik hak adat, pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi) dan dilaksanakan secara transparan.
"Dan harus memastikan peniadaan kegiatan pembukaan lahan oleh perusahaan. Lahan hutan harus diambil kembali dari perusahaan perkebunan dan dikembalikan ke pemilik asli yang sah, tetapi langkah terakhir yang penting ini hilang dari proses saat ini,” kata Nico.
Beberapa perusahaan yang izin pelepasan hutannya dicabut juga memiliki izin lain yang dikeluarkan oleh instansi lain, seperti Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU). Permintaan keterbukaan informasi Greenpeace kepada Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pertanian mengenai nasib izin untuk perusahaan-perusahaan ini juga tidak terjawab.
PT Permata Nusa Mandiri, perusahaan yang baru-baru ini memulai pembukaan lahan dan telah diungkap oleh Greenpeace sebelumnya itu memiliki hubungan dengan taipan Anthoni Salim, memperoleh izin HGU pada 15 November 2018, meskipun Moratorium Kelapa Sawit selama tiga tahun telah berlaku.
Dengan dicabutnya izin pelepasan hutan perusahaan seluas 16.182 hektare melalui Keputusan KLHK No. 1/2022, operasi pembukaan hutan berikutnya di dalam Kawasan Hutan akan tampak ilegal menurut UU Kehutanan. Namun kegagalan pemerintah pusat untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional untuk memastikan pembatalan izin lain seperti IUP dan HGU telah menyebabkan kebingungan di lapangan mengenai legalitas pembukaan hutan tersebut.
Juru Kampanye Hutan senior Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra mengatakan, peninjauan izin di bawah Moratorium Kelapa Sawit seharusnya dikoordinasikan di semua tingkat pemerintahan dan lintas lembaga. Sayangnya KLHK di Jakarta tampaknya berjalan sendiri tanpa melibatkan instansi lain dan pemerintah daerah.
"Sekarang kebingungan merajalela, dan ada insentif yang salah. Perusahaan bereaksi dengan bergegas membuka hutan, tidak diragukan lagi berharap untuk terlihat aktif beroperasi, dan menghadirkan lanskap tandus sebagai fait accompli,” kata Syahrul.
Syahrul mengatakan, sudah seharusnya PT Permata Nusa Mandiri menghentikan segala aktivitas mereka di lapangan, terutama aktivitas pembukaan lahan. Pemerintah harus menindak jika perusahaan tetap melakukan aktivitas konversi lahan.
Saat ini evaluasi izin di Provinsi Papua juga tengah dilakukan. Sudah saatnya bagi Pemerintah Provinsi Papua mengumumkan hasil evaluasi terhadap PT Permata Nusa Mandiri ini, dengan memperhatikan tuntutan masyarakat adat.