LIPUTAN KHUSUS:
Studi: Perubahan Iklim Tingkatkan Siklus Air Bumi Dua Kali Lipat
Penulis : Tim Betahita
Krisis iklim telah mengubah siklus air global. Berpotensi pada kekeringan dan curah hujan ekstrem yang lebih sering dan lebih panjang.
Perubahan Iklim
Selasa, 01 Maret 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Meningkatnya suhu global telah menggeser jumlah air tawar dari daerah hangat menuju kutub bumi. Jumlahnya pun dua kali lebih besar dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Analisis terbaru tersebut menyebut bahwa perubahan iklim telah meningkatkan intensitas siklus air global hingga 7,4% dibandingkan dengan perkiraan permodelan terdahulu sebesar 2%-4%.
Untuk diketahui, siklus air menggambarkan pergerakan air di Bumi, yang menguap, naik ke atmosfer, mendingin, dan mengembun menjadi hujan atau salju dan jatuh lagi ke permukaan planet.
“Ketika mempelajari tentang siklus air, secara tradisional kita menganggapnya sebagai proses yang tidak berubah yang terus menerus mengisi dan mengisi kembali mendingin, danau, dan sumber air kita,” kata Dr Taimoor Sohail, penulis utama laporan dari University of New South Wales, dikutip The Guardian.
Namun, para ilmuwan telah lama mengetahui bahwa kenaikan suhu global telah mengintensifkan siklus air global. Akibatnya, daerah subtropis kering cenderung menjadi lebih kering ketika air tawar bergerak menuju daerah basah.
Krisis iklim juga menyebabkan perubahan jangka panjang pada siklus air, yang mengakibatkan kekeringan dan curah hujan ekstrem yang lebih sering dan lebih parah.
Menurut Sohail, volume ekstra air tawar yang terdorong ke kutub sebagai akibat dari siklus air yang intensif jauh lebih besar dari yang ditunjukkan model iklim sebelumnya. “Prediksi mengerikan yang dituangkan dalam IPCC berpotensi menjadi lebih intens,” jelasnya.
Para ilmuwan memperkirakan volume air tawar dari daerah yang lebih hangat antara tahun 1970 dan 2014 adalah antara 46.000 dan 77.000 kilometer kubik.
“Kami melihat intensifikasi siklus air yang lebih hangat dari yang kami harapkan, dan itu berarti kami perlu bergerak lebih cepat menuju jalur emisi nol bersih.”
Tim menggunakan salinitas air laut sebagai proksi curah hujan dalam penelitian mereka. Penelitian tersebut diterbitkan di jurnal Nature pekan ini.
“Lautan sebenarnya lebih asin di beberapa tempat dan kurang asin di tempat lain,” kata Sohail. “Di mana hujan turun di lautan, itu cenderung mencairkan air sehingga menjadi kurang asin … Di mana ada penguapan bersih, Anda akhirnya mendapatkan garam yang tertinggal.”
Para peneliti juga harus memperhitungkan pencampuran air karena arus laut. “Kami mengembangkan metode baru yang pada dasarnya melacak bagaimana lautan bergerak dengan mengacu pada penyegaran atau salinifikasi,” jelas Sohail.