LIPUTAN KHUSUS:

Laporan PBB Sebut Perubahan Iklim Membunuh Manusia


Penulis : Aryo Bhawono

Miliaran manusia di setiap benua menderita karena perubahan iklim.

Perubahan Iklim

Selasa, 01 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Laporan utama PBB yang dirilis pada Senin (1/3/2022) menyebutkan miliaran manusia di setiap benua menderita karena perubahan iklim. Pemerintah pun harus bertindak lebih baik untuk melindungi kelompok yang paling rentan sekaligus mempercepat pengurangan emisi gas rumah kaca. 

Laporan yang dibuat hampir 300 terkemuka dari seluruh dunia menggambarkan bumi telah diubah oleh emisi gas rumah kaca dan tertatih-tatih di ambang kerusakan luas serta tidak dapat diubah.

"Saat ini orang-orang menderita dan sekarat akibat perubahan iklim," ucap Kristie Ebi, salah satu penulis laporan dan ahli epidemiologi di University of Washington seperti dikutip dari media non profit, NPR.

Penderitaan ini karena gelombang panas, kekeringan, banjir, kebakaran hutan, wabah penyakit, dan efek mengerikan lainnya dari perubahan iklim berakselerasi lebih cepat dari perkiraan para ilmuwan dunia, termasuk di Amerika Utara. Menurut laporan itu, pada saat yang sama lautan, hutan hujan tropis, dan pemanasan kawasan kutub membuat alam kian tidak mampu membantu manusia beradaptasi dengan bumi yang lebih panas.

Ilustrasi perubahan iklim. (Sandy Indra Pratama| Betahita)

Penulis laporan itu menjelaskan manusia bukannya tidak berdaya memperbaiki ekosistem yang rusak dan mengurangi emisi gas rumah kaca secara dramatis. Beberapa tindakan dapat segera dilakukan untuk menyelamatkan miliaran orang dari penyakit, kemiskinan, pengungsian, dan kematian.

Perubahan lingkungan tak dapat direhabilitasi

Beberapa ekosistem yang paling rentan telah diubah secara permanen oleh perubahan iklim dan berakibat serius bagi pemanasan global akhir abad ini. Misalnya terumbu karang yang pada awalnya dapat beradaptasi dengan air yang lebih hangat, tetapi karena lautan terus memanas banyak yang kemudian mati. 

Hal yang sama terjadi pada ekosistem kutub, gunung, lahan basah, dan hutan hujan. Suhu meningkat terlalu cepat bagi tumbuhan dan hewan untuk beradaptasi. Sebaliknya, spesies telah punah atau pindah ke tempat-tempat dengan iklim yang lebih dingin.

Penghancuran ekosistem itu akan mempengaruhi seberapa banyak karbon dioksida yang tertinggal di atmosfer lalu memerangkap panas. Misalnya, hutan dan tundra di Amerika Utara dan Siberia biasanya menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Tetapi laporan tersebut mencatat ketika ekosistem tersebut mencair dan bahkan terbakar, mereka menyerap lebih sedikit karbon dioksida dan dalam beberapa kasus justru memproduksi karbon.

Makanya melindungi bentang alam yang jauh dari pemukiman manusia merupakan cara penting untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia.

"Kita perlu menjaga sistem alam dalam kondisi yang lebih baik untuk menyedot karbon. Pengurangan emisi saja tidak akan cukup," kata Camille Parmesan, salah satu penulis laporan dan peneliti di University of Texas.

Dampak pada kesehatan dan kesejahteraan manusia

Para ilmuwan sekarang dapat melihat ciri khas perubahan iklim pada badai, kebakaran hutan, dan gelombang panas. Keterkaitan tersebut memungkinkan ahli epidemiologi, ekonom, dan ilmuwan sosial mempelajari efek pemanasan global terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia.

"Perubahan iklim telah mempengaruhi kesehatan fisik dan mental banyak orang Amerika," kata Sherilee Harper, salah satu penulis laporan dan peneliti di University of Alberta di Kanada.

Misalnya, perubahan iklim berbahaya bagi wanita hamil, asap kebakaran hutan memperburuk penyakit pernapasan dan kardiovaskular, serta trauma hidup bencana cuaca dapat menyebabkan masalah kesehatan mental jangka panjang.

Para peneliti telah mengingatkan efek mematikan dari gelombang panas. Suhu tinggi dapat membuat orang menderita dan membunuh. Hal ini juga berlaku di Amerika Serikat.

"Panas adalah pembunuh nomor satu terkait cuaca di AS. Efek panas yang ekstrim tidak selalu terlihat, dan membuat orang melupakannya. Tapi justru berbahaya karena relatif tidak terlihat." kata Juan Declet-Barreto dari Union of Concerned Scientists. "

Di seluruh dunia, orang miskin, penduduk asli dan orang lain yang terpinggirkan berada pada risiko tertinggi dari panas dan dari efek perubahan iklim secara lebih luas, catat laporan itu.

“Saya pikir kita belum melakukan pekerjaan yang cukup baik dengan berfokus pada orang miskin dan rentan,” kata Ko Barrett, salah satu ketua bersama Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sekaligus pejabat tinggi iklim di Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS .

Di AS, orang miskin dan orang kulit berwarna lebih mungkin untuk tinggal dan bekerja di daerah perkotaan yang padat dengan ruang hijau terbatas. Suhu di tempat itu secara signifikan lebih tinggi daripada daerah sekitarnya, dengan konsekuensi bencana.

Gelombang panas sangat berbahaya ketika menghantam daerah yang secara historis beriklim sedang, seperti Pacific Northwest, di mana ratusan orang tewas dalam gelombang panas musim panas lalu.

Masih ada waktu untuk mengendalikan pemanasan global

Para ilmuwan memperingatkan manusia harus membatasi kenaikan suhu rata-rata global hingga kurang dari 1,5 derajat Celcius untuk menghindari efek paling berbahaya dari perubahan iklim. Suhu global telah meningkat sekitar 1,1 derajat Celcius.

Laporan PBB sebelumnya memperkirakan setidaknya ada kemungkinan 50 persen suhu global akan mencapai ambang 1,5 derajat Celcius pada pertengahan abad ini. Laporan baru ini menggali seperti apa dampaknya. Misalnya ada perbedaan besar antara hidup di zona bahaya dan berkemah secara permanen di zona aman.

Jika peningkatan di beberapa bagian dunia secara singkat melebihi 1,5 derajat Celcius, sebelum turun lagi pada pertengahan abad, masih mungkin untuk menghindari perubahan permanen yang meluas. Ekosistem yang rusak bisa pulih. 

Tapi jika pemanasan global dibiarkan di atas 1,5  derajat Celcius selama beberapa dekade, dunia akan berubah selama berabad-abad. Lapisan es dan gletser tidak akan segera membeku kembali. Spesies yang punah tidak akan hidup kembali.

Mencegah pemanasan yang tak terkendali semacam itu membutuhkan pengurangan dramatis emisi rumah kaca, yakni berhenti menggunakan bahan bakar fosil di mobil, truk, dan pembangkit listrik. 

Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres menggandakan pesan itu, menyebut bahan bakar fosil adalah jalan buntu. Batubara dan bahan bakar fosil lainnya akan mencekik umat manusia. Perusahaan bahan bakar fosil, bank dan investor semuanya terlibat dalam mencegah efek rumah kaca.

"Mereka yang berada di sektor swasta yang masih mendanai batu bara harus dimintai pertanggungjawaban. Raksasa minyak dan gas, dan penjamin emisi mereka, juga harus diperhatikan," kata dia.