LIPUTAN KHUSUS:
Bupati Konawe Kepulauan Dituding Bohong Soal Operasi PT GKP
Penulis : Aryo Bhawono
Polisi diduga ancam warga dengan UU Pornografi karena menghadang penerobosan PT GKP, anak perusahaan Harita Group.
Tambang
Senin, 07 Maret 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, dituding penuh kejanggalan. Pernyataan Wakil Bupati Konawe Kepulauan, Andi Muhammad Lutfi, dianggap cenderung manipulatif dan mengandung unsur kebohongan.
Dua rekaman video pernyataan Wakil Bupati Konawe Kepulauan, Andi Muhammad Lutfi, yang masing-masing berdurasi hampir dua menit menyebutkan izin operasi tambang PT GKP tidak bermasalah dan situasi di Desa Roko-Roko, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, telah kondusif. Pada video tersebut Lutfi didampingi oleh Kapolres, Kepala Satpol PP, dan Danramil Konawe Kepulauan.
Namun pernyataan ini dipandang manipulatif dan mengandung kebohongan. Koalisi LSM yang melakukan pendampingan terhadap warga Desa Roko-Roko yang menolak tambang PT GKP menyebutkan izin perusahaan itu penuh kejanggalan dan warga kini masih merasa kehadiran polisi menjadi teror.
Koalisi tersebut antara lain Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), LBH Makassar, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS).
Mereka menyatakan Konawe Kepulauan atau Pulau Wawonii merupakan pulau kecil dengan luas 708,32 kilometer persegi. IUP PT GKP, termasuk sejumlah perusahaan tambang lainnya di Pulau Wawonii, bertentangan dengan amanat UU No 1 Tahun 2014 tentang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dimana pemanfaatan pulau kecil tidak diprioritaskan untuk aktivitas pertambangan.
Peraturan Daerah No 9 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2018-2038 menyebutkan Pulau Wawonii tidak dialokasikan untuk kawasan pertambangan. Pulai ini beserta perairan di sekitarnya dialokasikan untuk Kawasan Pemanfaatan Umum, yaitu Kegiatan Perikanan Tangkap.
Izin tambang PT GKP dan seluruh perusahaan tambang di pulau ini terbit ketika Kabupaten Konawe Kepulauan masih menjadi wilayah administrasi Kabupaten Konawe. Seluruh proses penerbitan izin tambang itu justru tidak diketahui warga, berlangsung dalam ruang tertutup, dan diduga penuh koruptif.
“Aspek mendasar soal hak veto rakyat untuk menyatakan tidak atau menolak diabaikan, semua untuk kepentingan korporasi tambang dan segelintir elit politik lokal yang tengah berkuasa,” tulis pernyataan pers tersebut.
Sedangkan keberadaan Terminal Khusus (tersus) milik PT GKP yang dibangun di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, tidak diatur dalam Perda Sulawesi Tenggara No. 9 Tahun 2018-2038 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Kasubdit Pulau-pulau Kecil dan Terluar Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ahmad Aris, sebelumnya mengungkapkan sebagaimana diatur dalam pasal 12 perda tersebut mengalokasikan daerah itu untuk Kawasan Pemanfaatan Umum Zona Perikanan Tangkap (KPU-PT).
Pemekaran Kabupaten Konawe Kepulauan dilakukan pada tahun 2013 namun Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pulau itu tertahan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN). Pemanfaatan ruang kabupaten itu masih mengacu pada RTRW Kabupaten Konawe, daerah induk. RTRW Kabupaten Konawe pun tidak ada mengalokasikan ruang untuk tambang di Konawe Kepulauan.
Draf Rancangan RTRW Konawe Kepulauan tiba-tiba dibahas melalui Rapat Koordinasi Pembahasan Persetujuan Substansi RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan di Kantor Wilayah BPN Provinsi Sulawesi Tenggara pada pada 23 Maret 2021. Tak lama setelah itu, Perda RTRW disahkan, dengan terbitnya Perda No 2 Tahun 2021 tentang RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan yang menyebutkan terdapat alokasi ruang untuk tambang.
Namun kajian akademik dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RTRW yang disahkan itu tak dibuka ke publik, tidak melibatkan masyarakat, bahkan diduga disusupi kepentingan perusahaan tambang.
Dugaan penyusupan ini menguat ketika pasca Perda RTRW disahkan, Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan dan PT GKP menandatangani Nota Kesepahaman (MoU), tepatnya pada 30 September 2021. Melalui MoU ini, PT GKP menjalankan rencana kegiatan usaha di Pulau Wawonii.
“Dengan demikian, seluruh klaim Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan melalui Wakil Bupati Andi Muhammad Lutfi melalui video yang telah beredar luas itu, tidak berangkat dari situasi dan realitas sesungguhnya. Pemerintah cenderung menutup-nutupi dan berupaya memanipulasi informasi dari lapangan,” tulis pernyataan itu.
Kondisi Masih Mencekam
Sementara situasi di Desa Roko-Roko, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, masih mencekam. Klaim kondisi telah aman oleh Wakil Bupati Konawe Kepulauan tak terlihat di desa itu.
Lalu lalang polisi di Desa Roko-Roko dan basecamp PT Gema Kreasi Perdana (GKP) pasca penyerobotan tanah pada tanggal 1 dan 3 Maret lalu justru dirasa mencekam oleh warga penolak tambang nikel di kawasan desa itu. Rumah-rumah sepi karena warga enggan pulang ke rumah. Mereka khawatir ditangkap karena sebelumnya mereka dilaporkan ke polisi karena ikut menghadang penyerobotan pada 2019 lalu.
Tak hanya itu, pada Jumat, 4 Maret, aparat kepolisian mendatangi rumah salah satu perempuan petani yang terlibat dalam aksi pengadangan. Polisi itu menanyai siapa yang menyuruh petani perempuan membuka baju dalam aksi pengadangan dan diancam akan dilaporkan dengan UU pornografi.
“Hal ini semakin menguatkan dugaan ihwal Bupati dan Wakil Bupati Konkep yang lebih sering melayani kepentingan korporasi tambang dari pada bekerja memastikan jaminan hukum bagi warga dan ruang hidupnya yang terus terancam,” imbuh keterangan pers tersebut.