LIPUTAN KHUSUS:
Spesies Baru Mikroba Laut Ini Dapat Menyerap Karbon
Penulis : Tim Betahita
Peneliti menemukan spesies baru mikroba laut yang memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida.
Lingkungan
Rabu, 16 Maret 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Para ilmuwan menemukan spesies baru dari mikroba bersel satu. Organisme ini memiliki kemampuan fotosintesis dan bertindak sebagai predator di bawah laut.
Penemuan studi tersebut terbit dalam jurnal Nature Communications, Senin, 14 Maret 2022. Para peneliti dari University of Technology Sydney (UTS) mendaku bahwa mikroba tersebut memiliki potensi menyerap karbon secara alami, bahkan saat lautan menghangat dan menjadi lebih asam.
Mikroba tersebut berlimpah di seluruh dunia. Organisme ini berfotosintesis dan melepaskan eksopolimer kaya karbon yang menarik dan melumpuhkan mikroba lainnya.
Eksopolimer adalah sejenis gel yang diproduksi organisme untuk menahan atau melindungi diri dari kondisi lingkungan. Mikroba menggunakan ini untuk memakan mangsa yang terjebak, sebelum meninggalkan eksopolimer yang disebut ilmuwan sebagai mucosphere.
Menurut peneliti, dengan menjebak mikroba lainnya, eksopolimer menjadi lebih berat dan tenggelam, membentuk bagian dari pompa karbon biologis alami laut.
Dikutip dari Phys, ahli biologi kelautan Dr. Michaela Larsson yang mengepalai studi itu menyebut penelitian tersebut merupakan yang pertama kali menunjukkan perilaku ini.
Mikroba laut mengatur biogeokimia laut melalui berbagai proses termasuk ekspor vertikal dan penyerapan karbon, yang pada akhirnya memodulasi iklim global.
Menurut Larsson, meskipun kontribusi fitoplankton terhadap pompa karbon telah banyak dipelajari, penelitian mengenai peran mikroba lainnya jauh belum dipahami dan jarang diukur. Hal ini berlaku terhadap protista mixotrophic, yang secara bersamaan dapat berfotosintesis dan mengonsumsi organisme lain.
“Kebanyakan tanaman darat menggunakan nutrisi dari tanah untuk tumbuh, tetapi beberapa lainnya, seperti lalat penangkap Venus, mendapatkan nutrisi tambahan dengan menangkap dan memakan serangga,” katanya.
“Hal serupa terjadi dengan mikroba laut yang berfotosintesis, yang dikenal sebagai fitoplankton. Mereka menggunakan nutrisi yang terlarut dalam air laut di sekitarnya untuk tumbuh,” kata Larsson.
“Namun organisme yang kami teliti, bernama Prorocentrum cf. balticum, merupakan mixotroph, sehingga mampu memakan mikroba lainnya untuk mendapatkan nutrisi yang terkonsentrasi, seperti mengonsumsi multivitamin,” terang Larsson.
Profesor Martina Doblin, penulis senior studi tersebut, mengatakan temuan ini memiliki signifikansi global terhadap bagaimana manusia melihat lautan menyeimbangkan karbon dioksida di atmosfer.
Para peneliti memperkirakan bahwa spesies ini, yang diisolasi dari perairan lepas pantai dari Sydney, memiliki potensi untuk menenggelamkan 0,02-0,15 gigaton karbon setiap tahunnya.
Laporan National Academy of Sciences, Engineering, and Medicine tahun 2019 menemukan bahwa untuk memenuhi tujuan iklim, teknologi dan strategi penghilangan karbon dioksida perlu menghilangkan sekitar 10 gigaton CO2 dari atmosfer setiap tahun hingga tahun 2050.
"Ini adalah spesies yang sama sekali baru, dan belum pernah dijelaskan serinci ini. Implikasinya adalah ada potensi lebih banyak karbon yang tenggelam di lautan ketimbang yang kita pikirkan saat ini, dan mungkin ada potensi yang lebih besar bagi lautan untuk menangkap lebih banyak karbon secara alami melalui proses ini, di tempat-tempat yang tidak dianggap sebagai lokasi penyerapan karbon potensial," kata Doblin.
Menurut Doblin, yang menarik adalah apakah proses ini dapat menjadi bagian dari solusi berbasis alam untuk meningkatkan penangkapan karbon di laut.
"Produksi alami polimer kaya karbon ekstra-seluler oleh mikroba laut di bawah kondisi kekurangan nutrisi, yang akan kita lihat di bawah pemanasan global, menunjukkan mikroba ini dapat membantu menjaga pompa karbon biologis di lautan masa depan."
"Langkah selanjutnya sebelum menilai kelayakan budidaya skala besar adalah mengukur proporsi eksopolimer kaya karbon yang tahan terhadap kerusakan bakteri dan menentukan kecepatan tenggelamnya mucosphere yang dibuang.
"Ini bisa menjadi pengubah permainan dalam cara kita berpikir tentang karbon dan cara ia bergerak di lingkungan laut," tanda Doblin.