LIPUTAN KHUSUS:

Shell Digugat Karena Lemah Menerapkan Nol Emisi


Penulis : Aryo Bhawono

Sebanyak 13 direktur Shell secara pribadi bertanggung jawab karena gagal merancang strategi yang sejalan dengan kesepakatan Paris.

Perubahan Iklim

Rabu, 16 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Para direktur Shell di Inggris digugat karena lemah mempersiapkan penerapan net zero emission di perusahaan minyak dan gas multinasional itu. 

Gugatan yang diajukan oleh aktivis sekaligus pemegang saham ini mengklaim bahwa 13 direktur Shell secara pribadi bertanggung jawab karena gagal merancang strategi yang sejalan dengan kesepakatan Paris, yakni membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 Derajat Celcius dengan memangkas emisi bahan bakar fosil. Gugatan tersebut mengklaim kegagalan tersebut menunjukkan para direktur melanggar tugas mereka di bawah Undang-Undang Perusahaan Inggris.

Jika berhasil, Dewan Direktur Shell dapat dipaksa oleh pengadilan untuk mengubah strateginya agar mengambil langkah konkret khusus untuk menyelaraskan rencana perusahaan dengan kesepakatan Paris. Tetapi jika penggugat kalah, mereka dapat bertanggung jawab atas biaya penuh kasus tersebut, termasuk biaya hukum direktur perusahaan itu.

Dikutip dari Guardian, ClientEarth, organisasi hukum lingkungan yang turut mengambil tindakan terhadap Shell, mengatakan pihaknya meminta pemegang saham lain untuk bergabung.

Aktivitas pertambangan minyak bumi

Pada rapat umum tahunan Shell 2021, lebih dari 30 persen pemegang saham memberikan suara menentang dewan demi mendukung resolusi yang selaras dengan kesepakatan Paris. Tetapi pemegang saham lain kemungkinan enggan untuk bergabung setelah Shell mengumumkan pada bulan Februari peningkatan dividen dan rencana untuk membeli kembali saham setelah melaporkan laba $19 miliar yang mengejutkan. Hal ini meningkatkan nilai saham yang tersisa di tangan investor.

ClientEarth mengatakan pihaknya mengambil tindakan terhadap Shell demi kepentingan terbaik perusahaan. Mereka mengklaim dewan direktur perusahaan itu telah gagal memperhitungkan risiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap perusahaan. Berdasarkan Companies Act, direktur terikat secara hukum untuk bertindak mempromosikan kesuksesan perusahaan dan menjalankan kehati-hatian, keterampilan, serta ketekunan yang wajar.

Seorang pengacara ClientEarth, Paul Benson, menyatakan gugatan ini langkah hukum pertama kalinya, yakni seseorang berusaha meminta pertanggungjawaban dewan direktur karena gagal mempersiapkan diri dengan baik untuk net zero emission.

“Ini sangat baru, kami berada di wilayah yang belum dipetakan di sini tetapi kami melihat manfaat dengan klaim ini. Kami pikir, sejujurnya, semakin lama dewan menunda ini, semakin besar kemungkinan perusahaan harus melakukan rem tangan semacam ini untuk mempertahankan daya saing komersial, untuk memenuhi tantangan perkembangan peraturan yang tak terhindarkan,” ucap dia.

Gugatan terkait emisi ini bukan pertama kali dihadapi Shell. Pada Mei 2021, pengadilan Belanda memutuskan perusahaan harus mengurangi emisinya, termasuk dari bahan bakar yang dijualnya, sebesar 45 persen pada akhir 2030.

Tetapi direktur Shell telah mengajukan banding atas putusan itu dan menerbitkan strategi transisi energi yang menguraikan tujuan perusahaan untuk mencapai target nol bersih pada tahun 2050.

Namun pengacara ClientEarth mengatakan strategi tersebut tidak memenuhi target yang menurut para ilmuwan sangat penting untuk menghindari bencana perubahan iklim.

“Kami mengatakan dalam klaim kami bahwa dewan Shell salah mengelola materi dan risiko iklim yang dapat diperkirakan yang dihadapi perusahaan,” kata Benson.

Menurutnya Shell sangat rentan terhadap risiko perubahan iklim, yaitu risiko fisik dan transisi. Mereka dihadapkan pada risiko aset terlantar, yakni berkurangnya nilai aset ketika kewajiban saat transisi net zero emission berlangsung. Alhasil terjadi penghapusan aset-aset itu secara besar-besaran.

Seorang juru bicara Shell mengatakan untuk menjadi bisnis tanpa emisi pada tahun 2050, perusahaan menjalankan strategi global yang mendukung perjanjian Paris. Ini termasuk target terdepan di industri yang telah ditetapkan untuk mengurangi separuh emisi dari operasi global pada tahun 2030, dan mengubah bisnis untuk menyediakan lebih banyak energi rendah karbon bagi pelanggan.

“Mengatasi tantangan sebesar perubahan iklim membutuhkan tindakan dari semua pihak. Tantangan pasokan energi yang kita lihat menggarisbawahi perlunya kebijakan yang efektif, dipimpin oleh pemerintah, untuk mengatasi kebutuhan kritis seperti keamanan energi sambil  melakukan dekarbonisasi sistem energi kita. Tantangan-tantangan ini tidak dapat diselesaikan dengan litigasi,” kata juru bicara itu.