LIPUTAN KHUSUS:
Studi: Polusi Udara Terkait dengan Kenaikan Risiko Autoimun
Penulis : Tim Betahita
Studi terbaru dari universitas di Italia mengungkap kaitan antara polusi udara dan peningkatan risiko penyakit autoimun.
Lingkungan
Senin, 21 Maret 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sebuah studi terbaru menemukan bahwa paparan polusi udara dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko penyakit autoimun pada manusia.
Sebelumnya paparan partikulat telah dikaitkan dengan berbagai jenis penyakit seperti serangan stroke, kanker otak, keguguran, dan masalah kesehatan mental. Ulasan global pada 2019 mengungkap bahwa hampir setiap sel dalam tubuh dapat terpengaruh oleh udara kotor.
Penelitian baru dari University of Verona, Italia, tersebut menemukan bahwa paparan terhadap polutan udara tingkat tinggi dalam jangka panjang terkait dengan risiko peningkatan penyakit lainnya.
Di antaranya adalah rheumatoid arthritis sekitar 40% lebih tinggi, risiko penyakit radang usus seperti Crohn dan kolitis ulserativa 20% lebih tinggi, dan 15% lebih tinggi risiko penyakit jaringan ikat, seperti lupus.
Diterbitkan dalam jurnal RMD Open, penelitian tersebut mengumpukan informasi medis komprehensif dari 81.363 laki-laki dan perempuan di database Italia yang memantau risiko patah tulang antara Juni 2016 dan November 2020. Sekitar 12% didiagnosis dengan penyakit autoimun selama periode tersebut.
Setiap pasien dihubungkan dengan stasiun pemantauan kualitas udara terdekat melalui kode pos tempat tinggalnya.
Peneliti kemudian menganalisis paparan jangka panjang rata-rata pasien terhadap partikel halus (PM10 dan PM2.5), yang bersumber dari sumber seperti kendaraan bermotor dan pembangkit listrik. Tingkat konsentrasi 30µg/m3 untuk PM10 dan 20µg/m3 untuk PM2.5 adalah ambang batas yang umumnya dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia.
Hasilnya, peneliti menyimpulkan bahwa secara keseluruhan, paparan jangka panjang terhadap masing-masing partikulat secara berlebihan dikaitkan dengan risiko 12% dan 13% lebih tinggi untuk mengidap penyakit autoimun.
Felicity Gavins, direktur Pusat Penelitian Peradangan dan Pengobatan Translasional di Brunel University London, mengatakan bahwa studi tersebut secara lebih lanjut mendukung bukti yang menunjukkan hubungan antara paparan polusi udara dan penyakit yang dimediasi kekebalan.
Namun Gavins memperingatkan agar tidak menyimpulkan bahwa udara kotor menyebabkan kondisi autoimun.
“Apakah paparan polusi udara secara khusus menyebabkan penyakit autoimun masih kontroversial, meskipun tidak ada keraguan bahwa ada hubungan antara keduanya,” kata Gavins, dikutip The Guardian, Rabu, 16 Maret 2022.
Menurut Gavins, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memastikan mengapa beberapa daerah di Italia mengalami pertumbuhan tinggi jumlah kondisi autoimun, dan untuk melihat dampak perokok pasif pada temuan tersebut.
Para peneliti mengakui temuan mereka tidak membuktikan hubungan sebab akibat dan bahwa faktor-faktor lain mungkin berperan, termasuk kurangnya informasi tentang kapan gejala penyakit autoimun dimulai.
Faktor lainnya adalah bahwa pemantauan kualitas udara mungkin tidak mencerminkan paparan pribadi terhadap polutan, dan bahwa temuan tersebut mungkin tidak berlaku lebih luas karena peserta penelitian sebagian besar terdiri dari wanita yang lebih tua yang memiliki risiko patah tulang.
Dr Giovanni Adami, salah satu penulis laporan dan rheumatologist di University of Vernona, mengatakan bahwa polusi udara telah dikaitkan dengan kelainan sistem kekebalan tubuh. Merokok, yang asapnya juga mengandung polutan beracun dengan emisi energi fosil, juga merupakan faktor predisposisi untuk rheumatoid arthritis.
Adami mengatakan bahwa baru-baru ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengidentifikasi polusi udara sebagai salah satu risiko lingkungan terbesar bagi kesehatan.
“Studi kami memberikan bukti kehidupan nyata baru tentang hubungan antara penyakit autoimun dan paparan polusi udara. Selain itu, ada alasan biologis yang kuat yang mendukung temuan kami. Namun, hubungan sebab akibat sulit dibuktikan. Memang, tidak mungkin bahwa studi terkontrol secara acak dapat dilakukan pada topik seperti itu.”