LIPUTAN KHUSUS:

Penetapan Tersangka Haris dan Fatia Dianggap Kriminalisasi


Penulis : Aryo Bhawono

Kuasa hukum Haris dan Fatia menganggap kasus ini seharusnya tidak memenuhi unsur pemidanaan.

Hukum

Minggu, 20 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Polisi menetapkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka atas dugaan kasus pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Panjaitan. Kuasa hukum keduanya menganggap kasus ini seharusnya tidak memenuhi unsur pemidanaan.

Penetapan tersangka pegiat HAM, Haris Azhar, dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, ditetapkan melalui surat Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka untuk masing-masing Nomor: B/4135/III/RES.2.5/2022/Ditreskrimsus dan Nomor: B/4136/III/RES.2.5/2022/ Ditreskrimsus tertanggal 17 Maret 2022. 

Kedua surat itu diterima keduanya pada Jumat malam (18/3/2022) sekaligus menyampaikan panggilan pemeriksaan sebagai tersangka pada Senin (21/3/2022). 

Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut pengaduan yang dilaporkan Menteri Koordinator Investasi dan Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan. Fatia dan Haris membincangkan mengenai keterkaitan Luhut dalam bisnis tambang dan operasi militer di Intan Jaya, Papua. Pembahasan ini dilakukan melalui aku youtube Haris, NgeHAMtam , dengan tajuk ‘Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!’.

Perempuan dan anak-anak dari Kabupaten Nduga, Papua, yang mengungsi akibat konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPNPB-OPM. Foto: Jubi/Abeth You

Keterlibatan Luhut sendiri terungkap dalam riset ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya’ yang diluncurkan oleh #BersihkanIndonesia yang terdiri atas YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia.

Kuasa hukum Haris, Nurholis Hidayat, mengungkapkan dari awal kasus ini seharusnya tidak memenuhi unsur pidana karena pembicaraan kliennya menyangkut hasil riset. Seharusnya Luhut melakukan konfirmasi dan klarifikasi karena kajian terssebut ilmiah.

“Studi, faktual, kritik, hasil kajian, dan seluruhnya, bukan bagian dari kualifikasi pencemaran nama baik.

Kuasa Hukum Fatia dari YLBHI, Julius Ibrani menyebutkan hingga saat ini tidak ada bantahan, permintaan klarifikasi, atau revisi terkait hasil riset yang menjadi materi ‘ngeHAM tam’ itu. Artinya benar atau tidaknya keterlibatan Luhut di Papua belum tuntas. 

“Tanpa kejelasan ini maka apa yang menjadi dasar kasus pencemaran ini,” cetusnya.

Menurutnya polisi diduga menyalahi prinsip peradilan pidana dan HAM. Setiap masyarakat yang diperiksa wajib mengetahui yang menjadi pokok penyidikan. 

Arif Maulana dari LBH Jakarta mengungkapkan riset ini menemukan fakta keterlibatan pejabat publik dalam kasus intan jaya Papua. Seharusnya temuan ini menjadi koreksi bagi pemerintah. 

“Jika Pemerintahan Joko Widodo mengaku sebagai pemerintah bersih, bebas korupsi, serta menjunjung tinggi HAM maka tindak lanjutnya adalah melakukan evaluasi, bukan kriminalisasi,” ucap dia. 

Ia mengingatkan perbincangan Fatia dan Haris sendiri merupakan hasil riset. Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman kriteria implementasi UU ITE No 19/2016 tentang perubahan atas UU 11/2008 Tentang ITE menyebutkan penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan bukan tergolong delik pidana. Hal ini berlaku juga untuk riset.

Haris Azhar dan Fatia sendiri mengaku perbincangan mereka di youtube merupakan bagian dari pendampingan dan advokasi terhadap Papua. Hingga kini kondisi di Papua masih bergejolak, korban berjatuhan, dan pengungsian besar-besaran terjadi. Keduanya heran jika pemerintah justru memilih mempidanakan pendamping warga Papua daripada menyelesaikan provinsi di ujung timur Indonesia itu. 

“Badan saya, fisik saya, dan saya yakin Fatia juga sama, bisa dipenjara tapi kebenaran yang di youtube, di Papua, tidak bisa dipenjara. Penderitaan Papua akan terus menjerit untuk cari pertolongan,” ucap Haris.

Kuasa hukum keduanya sendiri telah melakukan upaya atas kasus ini dengan melaporkan ke Kapolri, Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Polisi Nasional, hingga Komnas HAM. Jika kasus ini terus berlanjut maka mereka akan tetap mengajukan pra peradilan.