LIPUTAN KHUSUS:

Minyak Goreng Langka, Aktivis: Evaluasi Seluruh Industri Sawit


Penulis : Kennial Laia

Presiden Jokowi dan berbagai pihak terkait diminta mengevaluasi industri sawit. Untuk mengetahui penyebab kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng.

Sawit

Sabtu, 26 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pegiat lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM) mendesak Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi menyeluruh terhadap industri sawit di Indonesia. Langkah tersebut perlu dilakukan untuk merespons kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang berlangsung sejak akhir 2021.

“Hal ini berguna untuk melihat apakah kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng terjadi akibat tidak ada efisiensi atau mekanisme tidak wajar dalam rantai produksi dan perdagangan minyak sawit mentah dan minyak goreng,” kata Syahrul Fitra, pengkampanye hutan senior di Greenpeace Indonesia, Kamis, 24 Maret 2022.   

Menurut Syahrul, kelangkaan minyak goreng merupakan bagian tak terpisahkan dari konflik sumber daya alam di Indonesia. 

Peneliti HuMa Erwin Dwi Kristianto mengatakan konflik perkebunan, terutama sawit, masih menempati jumlah tertinggi sebanyak 161 kasus. Jumlah area terdampak seluas 645.484 hektare, dan melibatkan korban masyarakat sejumlah 49.858 jiwa.

Tandan buah segar (TBS) sawit di salah satu perusahaan perkebunan sawit swasta di Kabupaten Muko-Muko, Bengkulu./Foto: Betahita.id

Kelapa sawit merupakan bahan baku minyak goreng di Indonesia. Dengan perkiraan luas perkebunan hingga 16,3 juta hektare, Erwin menyebut komoditas ini masih dikuasai segelintir perusahaan besar.

Minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat. “Kelangkaan dan melambungnya harga telah menyengsarakan dan berdampak pada hak-hak masyarakat, diantaranya hak ekonomi, hak atas kesejahteraan, hak atas kesehatan dan hak atas rasa aman,” kata Erwin dalam pernyataan pers, Kamis, 24 Maret 2022.

Konsumen menjadi pihak paling dirugikan dari naiknya harga minyak goreng. Hingga hari ini, kisaran harga berada di Rp 24.000 – Rp 45.000 per liter. Sebelum kelangkaan terjadi, harga minyak goreng berada dibanderol di bawah Rp 20.000 per liter.

Sejumlah organisasi nonprofit termasuk Perkumpulan HuMA, Sawit Watch, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), PIL-NET, dan Greenpeace Indonesia menduga adanya “praktik penimbunan dan kartel yang melanggar HAM.” 

Praktik kartel itu disebut menunjukkan kegagalan korporasi yang memiliki tanggung jawab untuk menghormati HAM, termasuk mempertimbangkan secara efektif masalah jender, kerentanan dan/atau marginalisasi.

Menurut koalisi tersebut, negara memiliki kewajiban untuk menjaga dan melindungi HAM dari segala bentuk tindakan bisnis yang berpotensi melakukan pelanggaran.

Menurut Sawit Watch, pemerintah seharusnya mengontrol harga pasar dan menjamin ketersediaan. Sementara itu korporasi bertanggung jawab dengan tidak berkontribusi terhadap terjadinya pelanggaran dengan menimbun dan menentukan harga melalui kartel.

“Pemerintah perlu menyediakan mekanisme pengaduan dan pemulihan yang cepat dan memadai jika terdapat dugaan pelanggaran HAM terkait minyak goreng.” 

Untuk itu perlindungan konsumen menjadi hal yang patut menjadi perhatian dan ini telah diatur undang-undang.

Koalisi masyarakat sipil merekomendasikan agar Presiden Jokowi segera memerintahkan Menteri Perdagangan untuk mengambil langkah cepat dan taktis untuk selalu mengontrol pasar minyak goreng.

Selain itu Komnas HAM perlu menyiapkan mekanisme pengaduan dari lapangan tentang  pelanggaran terkait dengan minyak goreng.

Koalisi juga meminta agar Komisi Pengawasan Persaingan Usaha segera mendalami adanya kemungkinan kartel yang terjadi dalam rantai produksi dan perdangan CPO dan minyak goreng.

Kepolisian juga didesak untuk menindak tegas para pelaku penimbunan minyak goreng dan kasus kelangkaan minyak goreng yang ditemukan di lapangan.