LIPUTAN KHUSUS:

Upaya Mempertahankan Waduk Sepat dan Ancaman Kriminalisasi


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Upaya mempertahankan Waduk Sepat oleh warga bersama organisasi masyarakat sipil dihadapkan dengan ancaman kriminalisasi.

Konservasi

Jumat, 22 April 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sudah hampir 14 tahun terhitung sejak 2008, namun praktik perampasan ruang hidup di Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya masih berlanjut. Hal ini merujuk pada persoalan alih fungsi Waduk Sepat, yang merupakan waduk terluas di Surabaya, yang menurut masyarakat sipil merupakan hal kontroversial. Belakangan, upaya mempertahankan Waduk Sepat oleh warga bersama organisasi masyarakat sipil dihadapkan dengan ancaman kriminalisasi.

Konflik ini bermula ketika pada 30 Desember 2008 Walikota Surabaya menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 188.451.366/436.1.2/2008 tentang pemindahtanganan aset dengan cara tukar menukar terhadap aset Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berupa tanah eks ganjaran atau bondo deso di beberapa wilayah Surabaya Barat, salah satunya di Lidah Kulon yakni Waduk Sepat.

Bermula dari kesepakatan antara PT Ciputra Surya, Tbk dengan Pemkot Surabaya dengan membuat Surat Perjanjian Bersama Nomor: 593/2423/436.3.2/2009/Nomor: 031/SY/sn/LAND-CPS/VI-09 telah ditemukan manipulasi data fisik bahwa yang menjadi objek tukar guling adalah kawasan eks-waduk. Berdasarkan surat Nomor: 109/5/1991F.4 tertanggal 15 Januari 1991 Waduk Sepat mempunyai luas 60.675 M² atau sekitar 6,67 hektare lalu diubah dengan kemunculan Surat Ukur pada 21-12-2010 Nomor 641/Lidah Kulon/2010, Luas 59.857 M² atas nama PT Ciputra Surya yang tertulis sebagai “tanah pekarangan.” Padahal sampai saat ini waduk tersebut masih eksis dan aktif sebagai kawasan reservoir dan tangkapan air.

Warga bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya serta jaringan lainnya pernah melakukan gugatan Citizen Lawsuit selama dua kali yakni 2016 dan 2019, semua gugatan tidak mendapatkan hasil. Hinga pada akhir 2021 lalu Walhi Jatim bersama warga Sepat dan Tim Kerja Advokasi untuk Kedaulatan Agraria (TeKAD GARUDA) kembali mengajukan gugatan, kali ini melakukan gugatan khusus lingkungan hidup--dengan mekanisme gugatan yang diwakilkan oleh organisasi atau dikenal dengan gugatan legal standing--kepada PT Ciputra Kirana Dewata, Tbk dan PT Ciputra Devolpment, Tbk sebagai wujud baru dari PT Ciputra pascamerger yang tercatat dalam nomor register perkara 1172/Pdt.G/LH/2021/PN Sby di Pengadilan Negeri Surabaya.

Warga didampingi Walhi membentangkan spanduk di depan halaman Kantor Komnas HAM RI, 3 Desember 2018./Foto: Walhi

Secara data dan fakta Waduk Sepat merupakan waduk yang masih berfungsi hingga kini. Pada 9 April 2021 pihak PT Ciputra Kirana Dewata, Tbk sebagai pihak yang membeli objek sengketa dari PT Ciputra Surya Tbk, melalui surat undangannya bernomor 020/I.H/DD/IV/CIDEV-2021, menyampaikan bila pihak PT Ciputra Kirana Dewata, Tbk akan melakukan koordinasi penataan area waduk yang sudah memperoleh izin dari Pemkot Surabaya.

“Atas dalih itu juga aktivitas pengurukan dilakukan sekalipun pada waktu itu objek Waduk Sepat masih dalam status quo yakni tahap pemeriksaan di pengadilan tingkat kasasi. Hal tersebut menjadi bukti bahwa pihak pengembang telah membangkang dan tidak menghormati proses peradilan sebagaimana yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan,” kata Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur, dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Selasa (19/4/2022).

Padahal sebelumnya, merujuk pada Putusan Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur Nomor: 100/II/KI-Provinsi Jatim-PS-A-M-A/2016 tertanggal 24 Februari 2016. Putusan tersebut memerintahkan Walikota Surabaya untuk membuka dokumen-dokumen keputusan yang menjadi dasar alih fungsi lahan Waduk Sepat. Pemerintah Kota Surabaya pun mengajukan keberatan atas putusan KIP tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Lalu di Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana putusannya No. 42/KIP/ 2016/PTUN-Sby menguatkan putusan KIP. Pemkot kemudian mengajukan upaya lanjutan yakni kasasi, terbitlah putusan bernomor No. 438 K/TUN/2016 yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya. Terakhir Pemkot mengajukan upaya hukum luar biasa mengajukan permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung yang memeriksa pada tingkat Peninjauan Kembali dalam putusannya Nomor 111 PK/TUN/2017 amarnya menyatakan menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon. Selain sebagai pihak yang kalah dalam gugatan sengketa informasi publik, Pemkot juga harus segera membuka dokumen terkait, sebagai bentuk penghormatan atas hukum yang berlaku di Indonesia.

Setelah itu warga menggelar aksi pada 25 Januari 2018, guna meminta Pemkot Surabaya membuka dokumen izin dan lain-lain terkait Ciputra. Namun, Pemkot melalui Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Eddy Christijanto dan Kepala bagian Hukum, Ira Tursilowati, mengatakan dokumen yang diminta tersebut tidak ada.

Selanjutnya pada 2018, Walikota Surabaya mengeluarkan surat perintah/himbauan dengan Nomor: 180/1172/436.1.2/2018, yang isinya memuat larangan aktivitas pembangunan di Waduk Sepat sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, serta perizinan sesuai ketentuan yang berlaku. Ironinya, aktivitas pengurukan Waduk Sepat tetap berjalan, hal ini menunjukan bahwa PT Ciputra Surya kini PT Ciputra Kirana Dewata, Tbk tidak tunduk pada himbauan walikota.

“Pun dalam argumen hukum yang berlaku, kami menilai bahwa ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh PT Ciputra Kirana Dewata, Tbk. Salah satunya adalah melanggar Pasal 42 ayat (8) huruf a Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 12 tahun 2014,” kata Taufiq Rochim, dari LBH Surabaya.

Pasal tersebut menyatakan, upaya pengelolaan kawasan sepadan waduk/bozem, dilakukan dengan melindungi kawasan dengan pengembangan ruang terbuka hijau dan/atau ruang terbuka non hijau di sepanjang sepadan waduk/bozem dari kegiatan yang menyebabkan alih fungsi lindung dan menyebabkan kerusakan kualitas sumber air.

Selanjutnya juga melanggar pasal 5 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menyatakan bahwa kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya merupakan kawasan lindung yang wajib dipertahankan keberadaannya.

Gugatan Rekovensi Mengancam Penegakkan Hukum Lingkungan

Selama proses persidangan terakhir, memasuki babak eksepsi, pihak Pemkot Surabaya sebagai Turut Tergugat seolah-olah lepas tangan terhadap persoalan alih fungsi waduk di kawasan kelolanya. Bahkan pihak Tergugat mengajukan gugatan rekovensi dengan menuduh Walhi telah melakukan pencemaran nama baik perusahaan dan menuntut ganti kerugian sebesar Rp2 miliar.

“Taktik ini jelas dimaksudkan untuk mengkaburkan pokok atau subtansi gugatan publik yakni gugatan lingkungan ke arah gugatan sengketa lahan dan berdampak merugikan pada satu pihak,” kata Taufiq.

Perlu diketahui, upaya gugatan rekovensi tersebut mengarah pada upaya pembungkaman atau menghambat pihak yang ingin memperjuangkan lingkungan yang baik dan sehat atau masuk dalam kategori Strategic Lawsuit against Public Participation (SLAPP). Dalam kasus SLAPP, isu-isu kepentingan publik dipertaruhkan. Termasuk topik-topik seperti perampasan ruang hidup, korupsi dan kejahatan lingkungan hidup serta topik lainya yang biasa menjadi perdebatan publik di dalam alam demokrasi delebratif.

Ruang partisipasi demokratis dan upaya untuk memilih pembelaan terhadap mempertahankan ruang hidupnya adalah dua sisi mata uang yang sama, keduanya merupakan prinsip dasar hak asasi manusia yang harus dilindungi, dihormati, dijamin dan saling terkait.  Secara umum, aturan hukum internasional yang mendasari Anti-SLAPP terabadikan di dalam beberapa instrumen internasional termasuk Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International Convonent on Civil and Political Rights (OHCHR), dan ASEAN Human Rights Declaration (AHRD).

Melalui adanya komitmen masyarakat internasional tersebut diharapkan hak-hak rakyat dapat beroperasi secara bebas, tanpa rasa takut bahwa mereka dapat mengalami ancaman berupa tindakan intimidasi, kekerasan maupun mendapat gugatan balik dari perusahaan dan agen negara. Dengan demikian, setiap orang semestinya memiliki kebebasan melakukan pembelaan dan menanggapi masalah yang mempengaruhi keberlangsungan hidup mereka terutama terkait dengan lingkungan hidup, karena berkaitan dengan keberlanjutan kehidupan warga yang ada di wilayah tersebut.

“Gugatan rekovensi yang dialamatkan kepada warga dan Walhi adalah bentuk upaya membungkam dan menghambat penegakkan hukum lingkungan yang jelas termanifestasi dalam UU Pencegahan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) No. 32 Tahun 2009. Yang mana, alih fungsi kawasan yang mengakibatkan berubahnya ekosistem merupakan bentuk perusakan lingkungan hidup,” ujar Wahyu.

Selain itu, tindakan pembiaran alih fungsi waduk oleh Pemkot Surabaya yang juga melawan UU PPLH di mana pengelola wilayah harus mengedepankan prinsip pencegahan dalam bentuk perlindungan, malahan membiarkan alih fungsi waduk yang menjadi eksositem penting yakni sebagai kawasan reservoir dan tangkapan air.

Hal ini harus menjadi perhatian bagi Pengadilan Tinggi Surabaya, khususnya hakim yang sedang bertugas menangani kasus ini untuk melihat data dan fakta yang ada, serta mempertimbangkan bahwa kasus Waduk Sepat bukanlah kasus sengketa lahan tetapi kasus lingkungan hidup, di mana ada ada pola alih fungsi kawasan lindung air setempat menjadi perumahan.

“Padahal jelas dalam UU PPLH telah mengamanatkan perlindungan dan pencegahan dalam konteks lingkungan hidup, sebagai upaya menghindari kerusakan yang akan merugikan kawasan dan warga di sekitar tempat waduk itu ada.”