LIPUTAN KHUSUS:

Di Balik Pencabutan Status Dilindungi Pelahlar Nusakambangan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

IUCN menyatakan pelahlar nusakambangan berstatus Terancam Punah. Anehnya, KLHK justru mengeluarkan namanya dari daftar jenis tumbuhan yang dilindungi. Ada apa?

Biodiversitas

Selasa, 31 Mei 2022

Editor : Kennial Laia

BETAHITA.ID - Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) telah menyatakan pelahlar nusakambangan (Dipterocarpus littoralis) berstatus “Terancam Punah.” Anehnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru mengeluarkan namanya dari daftar tumbuhan langka yang dilindungi. Ada apa?

Dalam daftar merah IUCN, status Critically Endangered itu disematkan karena pelahlar nusakambangan memiliki populasi yang kecil, daerah persebaran terbatas (endemis), populasinya menurun di alam, serta rentan eksploitasi.

Penetapan spesies itu masuk dalam daftar tumbuhan dan satwa liar dilindungi melalui Peraturan Menteri LHK Nomor 20 Tahun 2018 tentang Daftar Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi, 29 Juni 2018. Namun, usianya hanya seumur jagung. Enam bulan kemudian, pelahlar nusakambangan terdepak dari daftar spesies dilindungi, sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor 106 Tahun 2018.

Tak hanya pelahlar nusakambangan, sembilan tumbuhan langka lainnya mengalami nasib serupa, yakni Agathis borneensis (damar pilau), Dipterocarpus cinereus (pelahlar mursala), Upuna bornensis (upan), Vatica bantamensis (kokoloceran), Beilschmiedia madang (medang lahu), Eusideroxylon zwageri (ulin), Intsia palembanica (kayu besi maluku), Koompassia excelsa (kempas kayu raja) dan Koompassia malaccensis (kempas malaka).

Salah satu pohon pelahlar nusakambangan (Dipterocarpus littoralis) yang ada di Cagar Alam Nusakambangan Barat./Foto: BKSDA Jateng

Padahal, seluruh jenis tumbuhan ini telah diusulkan perlindungannya oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

IUCN menyatakan tren populasi pelahlar nusakambangan menyusut, sesuai penilaian Arief Hamidi yang kala itu bertugas di Flora Fauna International dan Iyan Robiansyah dari BRIN, sejak 2011. Tujuh tahun kemudian, penilaian kembali dibuat dengan cakupan wilayah yang lebih luas. Hasilnya, hanya ditemukan 47 pohon dewasa. 

Arief dan Robiansyah menyimpulkan penyebab populasi yang kecil itu karena menjadi sasaran perambahan liar. “Ancaman berkelanjutan ini akan menyebabkan 25 persen hilangnya populasi,” sebagaimana dikutip dalam dokumen “Dipterocarpus littoralis, The IUCN Red List of Threatened Species,” Tahun 2018.

Pohon-pohon yang ditebangi saat pembangunan pemukiman lokal berkembang, ditambah ancaman tanaman invasif langkap (Arenga obtusifolia). Hal ini diduga akan menyebabkan penurunan populasi di masa depan hingga 30 persen.

Pencabutan status perlindungan 10 jenis tumbuhan oleh Kementerian LHK juga menuai kontroversi. Pemerhati spesies Ragil Satriyo Gumilang, membuat petisi Peraturan Menteri LHK Nomor 106 Tahun 2018. Sepuluh jenis tumbuhan langka didesak masuk kembali dalam daftar dilindungi. Petisi itu mendapat dukungan 27.740 tanda tangan publik.

Sekretariat Jenderal Kementerian LHK menyurati Ragil untuk menanggapi petisi. Isi surat yang bertanggal 29 Februari 2019, menyebut pencabutan status perlindungan 10 jenis tumbuhan itu didasari evaluasi data kelimpahan jenis. Temuan dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa populasi 10 jenis kayu itu masih melimpah.

Sayangnya, pernyataan itu tidak dilengkapi dengan data spesifik kelimpahan populasi pelahlar nusakambangan. Hanya tersaji data potensi kelimpahan keruing. Padahal, keruing merupakan nama umum untuk menyebut jenis tumbuhan Dipterocarpus.

KLHK juga beralasan, jika tidak ada perubahan status perlindungan jenis-jenis pohon-pohon yang komersial itu, akan menghadirkan dampak sosial dan ekonomi. Maksudnya, produksi kayu akan terhenti. Industri pengolahan kayu akan ditutup. Tenaga kerja industri akan menganggur atau dirumahkan. Tidak ada penerimaan Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang besarnya setiap tahun sekitar Rp 3 triliun. Pengelolaan hutan produksi lestari juga dinilai tidak dapat berjalan.

Ragil pun membalas surat tersebut. Katanya, jika pemerintah serampangan saja mengeluarkan Dipterocarpus apapun dari daftar jenis tumbuhan dilindungi karena menggunakan nama kayu dagang (keruing), akan semakin membuat rentan situasi spesies yang selangkah lagi akan berstatus punah di alam.

"Sangat riskan dan kurang relevan untuk dijadikan acuan mengeluarkan jenis langka dari daftar dilindungi," lanjutnya.

Pasalnya di Indonesia terdapat beberapa jenis atau subspesies Dipterocarpus, seperti Dipterocarpus retusus, Dipterocarpus littoralis, Dipterocarpus cinereus, Dipterocarpus hasseltii, Dipterocarpus intricatus, dan lain sebagainya (Ilmu Kimia Tumbuhan Keruing, Muhtandi 2014).

Jumlah populasi, sebaran dan tingkat keterancaman masing-masing subspesies dipterocarpus ini berbeda-beda. Dipterocarpus littoralis contohnya, menurut IUCN Red List, jumlah populasi pohon dewasa jenis ini hanya 47 individu dan hanya tumbuh di Pulau Nusakambangan. Dipterocarpus cinereus yang endemik di Pulau Mursala, Sumatera Utara bahkan pohon dewasanya diperkirakan hanya ada 30 individu saja.

"Penamaan jenis tumbuhan dalam surat penjelasan itu tidak sinkron dengan penamaan jenis tumbuhan pada Permen LHK sebelumnya dan memerlukan kejelasan," kata Ragil, dalam surat tanggapannya kepada Kementerian LHK.

Pertimbangan dampak ekonomi dan sosial bukan alasan untuk mencabut status perlindungan pelahlar nusakambangan. Karena alih-alih sebagai pohon komersial, jumlah populasi pelahlar nusakambangan di alam saja telah berstatus “Kritis”, yang berarti selangkah lagi menuju kepunahan di alam.

Pada 2019 lalu, Betahita pernah meminta penjelasan kepada KLHK mengenai alasan pertimbangan mengeluarkan pelahlar nusakambangan dan sembilan jenis tumbuhan lainnya itu dari daftar spesies dilindungi. Kepala Sub Direktorat Sumberdaya Genetik, Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH), Moh. Haryono mengatakan, selain masalah ekonomi dan sosial, ada permasalahan hukum yang jadi pertimbangan.

Keputusan itu, katanya, juga telah berdasarkan arahan dari pihak LIPI. "Direktur KKH Kementerian LHK telah meminta rekomendasi ke LIPI. Dan LIPI telah memberi arahan upaya pelestarian terhadap 10 jenis tumbuhan tersebut. Memang bukan rekomendasi tapi surat yang isinya semacam arahan. LIPI lambat memberi rekomendasi sesuai permintaan yang disampaikan Direktur KKH," ujar Haryono.

Rekomendasi keluarkan pelahlar nusakambangan tidak ada

Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati (SKIKH), Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Amir Hamidy menyebut tidak ada konsultasi dari pemerintah terkait upaya mengeluarkan sejumlah jenis tumbuhan dari daftar dilindungi tersebut.

“Tidak ada konsultasi ke kami. Kalau konsultasi ke kami, kami merekomendasikan Dipterocarpus litoralis dilindungi. Pada saat pengeluaran itu (PermenLHK P.106), tidak ada konsultasi ke kami. Jadi keputusan itu bukan berdasarkan sains,"  ujarnya, Sabtu (21/5/2022).

Amir bilang, penetapan status perlindungan suatu jenis spesies tumbuhan dan satwa, sesuai aturan harus berdasarkan rekomendasi otoritas keilmuan. Tanpa itu, menteri tidak boleh menetapkan ataupun mencabut status perlindungan spesies.

"Dalam konteks Dipterocarpus, LIPI jelas memang merekomendasikan untuk dilindungi. Karena kita concern-nya populasi di alam. Ternyata di ranah manajemennya ada implikasi yang cukup besar," lanjutnya.

Usulan para pengusaha hutan

Keluarnya pelahlar nusakambangan dari daftar jenis tumbuhan dilindungi diduga kuat terkait usulan para pengusaha hutan. Usulan dimaksud dijelaskan dalam surat yang dikirimkan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) kepada Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) KLHK.

Dalam surat  bernomor 807/DP-APHI/X/2018 tertanggal 29 Oktober 2018 itu APHI menyebut beberapa jenis tumbuhan yang sebelumnya diproduksi oleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan IUPHHK-Hutan Tanaman, masuk dalam kategori daftar jenis tumbuhan yang dilindungi, di antaranya resak jawa (Vatica javanica), medang lahu (Beilschmiedia madang), kempas (koompassia excelsa), kayu besi maluku (Intsia palembanica) dan keruing (Dipterocarpus littoralis). APHI menilai populasinya masih berlimpah. Di lapangan sangat sulit membedakan spesies kempas, kayu besi maluku, serta keruing yang dilindungi tesebut dengan spesies kempas, merbau serta keruing yang jenis komersial.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, APHI mengusulkan dikeluarkannya tumbuhan-tumbuhan itu dari daftar yang dilindungi.

Lebih kurang dua pekan sejak mengirim surat permohonan tersebut, tepatnya 13 November 2018, APHI diketahui menggelar rapat kerja tahunan di Jakarta dan di Cirebon. Rapat kerja tahunan itu dibuka oleh Menteri Siti Nurbaya di Jakarta. Selain Menteri Siti, sejumlah pejabat tinggi KLHK juga hadir di raker APHI itu.

Menteri Siti Nurbaya dan sejumlah pejabat tinggi KLHK berfoto bersama sejumlah pengusaha yang tergabung dalam APHI, dalam Rapat Kerja APHI 2018./Foto: Rimbawan.com

Belum diketahui apakah ada perbincangan lebih lanjut soal usulan APHI untuk mengeluarkan Dipterocarpus littoralis dan tiga jenis tumbuhan lain dari daftar spesies dilindungi, saat Menteri Siti menghadiri raker itu. Namun sekitar 1,5 bulan setelah menghadiri raker APHI tersebut, Menteri Siti kemudian menandatangani penetapan pencabutan pelahlar nusakambangan dan sembilan jenis tumbuhan lain dari daftar spesies dilindungi melalui Permen LHK P.106.

Amir Hamidy mengaku tidak bisa memahami mengapa APHI mengusulkan Dipterocarpus littoralis untuk dikeluarkan dari daftar jenis tumbuhan dilindungi. Karena sejauh sepengatahuannya di Pulau Nusakambangan tidak ada IUPHHK-HA maupun Hutan Tanaman Industri yang beraktivitas di sana.

"Tidak ada urusannya (APHI dengan Dipterocarpus littoralis) padahal ya. Emang di Nusakambangan apa ada HPH?" kata Amir.

*Tulisan ini adalah tulisan kedua dari rangkaian Liputan Khusus Spesies Pelahlar Nusakambangan (Dipterocarpus littoralis).

Liputan ini merupakan program Fellowship "Meliput Kepunahan Senyap" kerja sama The Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) dan Earth Journalism Network (EJN).