LIPUTAN KHUSUS:

Menyoal Klaim Presiden Jokowi Soal Penurunan Kebakaran Hutan 2021


Penulis : Aryo Bhawono

Aktivis menyebutkan memamerkan turunnya jumlah kebakaran hutan di saat La Nina sebagai upaya pemerintah panjang adalah tidak tepat.

Karhutla

Kamis, 02 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Presiden Joko Widodo menyebutkan pemerintahannya berhasil memperkecil kebakaran hutan yang kerap melanda Indonesia pada acara Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022 di Bali, Rabu pekan lalu (25/5/2022). Namun konteks penurunan area kebakaran hutan ini dipertanyakan oleh pegiat lingkungan. Pasalnya pada tahun itu iklim basah tengah menghampiri Indonesia dan seantero nusantara justru didera banjir. 

“Indonesia juga berhasil menurunkan kebakaran hutan dari 2,6 juta hektar, hanya menjadi 358.000 hektar di tahun 2021," kata Jokowi.

Ia menyebutkan tahun 1997 dan 1998 merupakan kebakaran hutan dan lahan terbesar yang pernah dialami Indonesia. Kebakaran pada saat itu menghanguskan lebih dari 10 juta hektar lahan yang tersebar di Indonesia. 

"Dengan berbagai upaya, kebakaran hutan dan lahan bisa ditekan seminimal mungkin," ucap dia.

Presiden Jokowi meninjau karhutla di Kelurahan Guntung Payung, Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalsel, Juli 2019. (Setpres)

Keberhasilan menurunkan kebakaran hutan ini ibarat lagu lama yang diputar kembali. Hal serupa pernah diucap Presiden Jokowi pada pidato virtualnya di sidang Majelis Umum Perserikatan bangsa-Bangsa. pada September 2021 lalu. 

Angka kebakaran hutan boleh jadi menurun. Namun klaim keberhasilan padamnya api karena usaha pemerintah ini layak disangsikan. 

Tahun 2021 menjadi tahun beriklim basah bagi Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG) menyebutkan musim hujan periode 2020-2021 di Indonesia masuk dalam lima tahun terbasah sepanjang 40 tahun ke belakang atau sejak tahun 1981.

“Dari analisis umumnya memang tahun 2020 (periode musim hujan 2020-2021) itu kecenderungannya (musim hujan) basah. Jadi kalau kita rangking (secara) nasional begitu, tahun 2020-2021 itu masuk dalam lima besar tahun terbasah,” kata Supari.

Lembaga ini menyebutkan umumnya wilayah Indonesia sudah memasuki musim hujan sejak bulan Oktober akhir hingga awal November. Namun musim hujan di Indonesia periode 2020-2021 di sebagian wilayahnya sudah terjadi sejak akhir Oktober, dan sebagian lagi baru memasuki musim hujan pada November.

Periode musim hujan tersebut diprediksikan akan berlangsung hingga Maret-April 2021.

Kondisi musim hujan yang lebih basah ini juga telah disampaikan sejak prediksi awal musim hujan bulan Oktober 2020 dikarenakan beberapa faktor, yakni La Nina, suhu perairan cukup signifikan hangat sehingga itu juga memicu peningkatan curah hujan terjadi, dan gangguan iklim sub-seasonal, 

BMKG pun menghimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi dampak bencana hidrometeorologi yang mungkin terjadi dari adanya cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi.

Prakiraan iklim basah BMKG ini menunjukkan cuaca mendukung untuk pencegahan bencana kebakaran hutan. Curah hujan tinggi dapat menghambat muncul dan merembetnya api. Namun ancaman bencana hidrometeorologi seharusnya diwaspadai.

Peringatan ini cukup bertaji ketika melalui tahun 2021. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 3.651 bencana di tanah air sepanjang 2021. Korban meninggal mencapai 787, sementara 73 lainnya dinyatakan hilang, sebanyak 4.346.099 orang terdampak, dan 522.275 orang lainnya mengungsi.

Parahnya, hampir 50 persen merupakan bencana hidrometeorologi. Bencana banjir terjadi sebanyak 1.005 kali dan tanah longsor 928 kali. 

Beberapa bencana hidrometeorologi yang terparah pertama adalah banjir Kalimantan Selatan pada awal tahun 2021. Air merendam tujuh kabupaten/ kota di provinsi itu, yakni Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar, Kota Banjar Baru, Kota Tanah Laut, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tabalong.

Kedua, tanah longsor di Sumedang, Jawa Barat juga terjadi di awal 2021. BNPB saat itu menyebutkan, longsor dipicu curah hujan tinggi dan kondisi tanah tidak stabil.

Ketiga, banjir dan longsor mendera 33 kelurahan di Kota Manado, Sulawesi Utara. Bencana ini datang dua kali dalam selang enam hari pada awal tahun 2021. 

Keempat, banjir Jakarta pada Februari yang memaksa 1.722 warga ibu kota mengungsi. 

Kelima, banjir bandang di NTT pada April 2021. Siklon Tropis Seroja memicu bencana yang menyebabkan 47 orang hilang. 

Keenam, hujan deras menyebabkan longsor di kawasan tambang ilegal di Solok, Sumatera Barat pada Mei 2021. Sebanyak 16 penambang emas liar tertimbun longsor tersebut, delapan orang tewas. 

Ketujuh, banjir di Kabupaten Sintang, pada Oktober 2021 merendam 12 kecamatan dan baru berangsur surut pada akhir November. Ketinggian air kala itu mencapai 3 meter dan sebanyak 124.497 warga terdampak dan memaksa 26 ribu orang mengungsi. 

Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Rio Rompas, menyebutkan memamerkan turunnya jumlah kebakaran hutan sebagai upaya pemerintah di saat La Nina panjang adalah tidak tepat. Api jelas padam ketika musim basah.

“Selama ini tidak ada usaha lebih dari pengambil kebijakan seharusnya selama musim hujan ini yang diperkuat pemulihan,” ucap dia. 

Pemerintah, termasuk presiden, seharusnya mengevaluasi upaya apa yang sudah dilakukan pemerintah setelah melihat tren bencana pada 2021 tersebut. Prakiraan cuaca yang diberikan oleh BMKG dan deretan bencana yang dipapar oleh BNPP justru menunjukkan kurangnya antisipasi berbagai bencana, terutama bencana hidrometeorologi.

Menurutnya bencana yang datang mengindikasikan daya dukung lingkungan dan krisis iklim. Pemerintah seharusnya mawas soal ini dengan menekan deforestasi dan penggunaan energi kotor. 

Sejurus dengan itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, menyebutkan kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan perkebunan skala besar menurutnya menjadi pendukung signifikan terjadinya banjir di 2021. 

Ia menyebutkan Kalimantan memiliki wilayah gambut luas. Namun pembukaan lahan untuk perkebunan mengusik tanah yang menjadi rumah bagi air, alhasil banjir di musim penghujan dan kebakaran hutan di musim kemarau. 

“Ketika musim basah itu berjalan pemerintah seharusnya mengantisipasi bencana hidrometeorologi dengan melihat kondisi lingkungan,” ucap dia.

Di Kalimantan Selatan sendiri karakter banjir berubah pada tahun 2020 dan 2021. Catatan Walhi Kalsel menyebutkan pada 2020 banjir terjadi di barat daya, selatan, dan tenggara Pegunungan Meratus. Sedangkan pada awal 2021, banjir terjadi di Kabupaten/ kota sebelah barat Pegunungan Meratus. 

Kondisi lingkungan di Pegunungan Meratus seharusnya menjadi perhatian. Karena musim apapun, basah maupun kering, bencana tetap terjadi. Entah banjir atau kebakaran hutan.

“Nah, kalau musim basah, yang difokuskan adalah banjir dan longsornya, bukan kebakaran hutannya. Kalau ini dilakukan maka kondisi lingkungan dan hutan menjadi perhatian,” jelasnya.

Jangan sampai ketika musim kemarau yang kering lewat, klaim keberhasilan adalah kemampuan menekan banjir dan longsor. Bukan soal kebakaran hutan.