LIPUTAN KHUSUS:
Wilayah Adat Kinipan Masih Belum Bebas dari Cengkraman Oligarki
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Willem Hengki dan Masyarakat Adat Kinipan lainnya masih harus berjuang membebaskan wilayah adatnya dari cengkraman korporasi besar swasta perkebunan sawit
Masyarakat Adat
Jumat, 17 Juni 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palangkaraya memutus Bebas (Vrijspraak) Kepala Desa Kinipan Willem Hengki atas perkara dugaan korupsi yang dituduhkan, dalam perkara No.09/Pid.Sus-TPK/2022/PN Plk. Putusan tersebut dibacakan pada persidangan terbuka oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Erhammudin, pada Rabu (15/6/2022) kemarin.
Meski telah bebas dari segala dakwaan, perjuangan Willem Hengki belum selesai. Willem Hengki dan Masyarakat Adat Kinipan lainnya masih harus menguras tenaga dan waktu dalam memperjuangkan pembebasan wilayah adat Kinipan dari cengkraman korporasi besar swasta perkebunan sawit. Terlebih, Masyarakat Adat Kinipan masih harus menghadapi jebakan-jebakan kriminalisasi, seperti yang telah Hengki, Effendi Buhing dan sejumlah warga Kinipan alami sebelumnya.
"Wilayah adat mereka masih dikuasai dua perusahaan besar milik oligarki. Ancaman kriminalisasi lanjutan bagi masyarakat adat Kinipan dari oligarki, sangat mungkin terjadi demi sebuah memuluskan keserakahan mereka," kata Aryo Nugroho Waluyo, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, salah satu Juru Bicara Koalisi Keadilan untuk Kinipan, yang sejak awal ikut melakukan advokasi perjuangan Masyarakat Adat Kinipan, Kamis (16/6/2022).
Aryo mengungkapkan, Wilayah Adat Kinipan luasnya sekitar 16.132,85 hektare dan sebagian besar berupa hutan alam. Namun dari luasan tersebut sekitar 7.937 hektare di antaranya masuk dalam areal usaha perusahaan dan terancam akan dibabat.
Yang mana sekitar 5.111 hektare masuk dalam areal Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT Sawit Mandiri Lestari dan 2.829 hektare lainnya masuk dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT Amprah Mitra Jaya.
Dari 5.111 hektare wilayah adat yang masuk dalam areal IUP PT Sawit Lamandau Lestari, sekitar 1.829 hektare di antaranya telah dibabat oleh perusahaan perkebunan sawit itu. Hutan alam yang sebelumnya lebat, kaya akan kayu bernilai ekonomis seperti ulin, meranti dan lain sebagainya itu, kini telah gundul berganti dengan tanaman monokultur sawit.
"Wilayah Adat Kinipan merupakan rimba terakhir di Kabupaten Lamandau sebagai penyangga kehidupan yang musti dipertahankan," ujar Aryo.
Masyarakat Hukum Adat Kinipan Sudah Berupaya Minta Pengakuan dan Perlindungan
Aryo menguraikan, Masyarakat Adat Laman Kinipan sudah berupaya untuk meminta pengakuan dan perlindungan kepada Pemerintah, namun sampai sekarang belum juga mendapat kejelasan. Sejak 2021, Koalisi Keadilan untuk Kinipan--yang berisikan sejumlah organisasi masyarakat sipil lokal maupun nasional--telah melakukan advokasi dengan menyasar Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau, setelah sebelumnya selalu gagal di tingkat pusat, dengan alasan kewenangan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat ada di Pemerintah Daerah.
Advokasi pertama dengan jalan mengajukan permohonan fiktif positif ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya, setelah tidak ditanggapinya permohonan dari masyarakat Kinipan agar dibentuknya panitia masyarakat hukum adat ditingkat Kabupaten sebagaimana diatur dalam Pemendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sayangnya PTUN menolak permohonan ini, dengan alasan apa yang dimohonkan sudah ada sebelumnya.
"Fakta yang sebenarnya adalah, ada dugaan kuat SK Bupati soal panitia masyarakat hukum adat Kabupaten Lamandau sengaja dibuat tanggal mundur untuk mengugurkan permohonan fiktif positif," terang Aryo.
Setelah mengetahui bahwa Pemerintah Kabupaten Lamandau telah membuat SK No. 188.45/379/XII/HUK/2020, pada 18 Maret 2021, pengurus Komunitas Adat Laman Kinipan menyerahkan dokumen untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat melalui pihak Kecamatan Batang Kawa.
Namun pada 28 Mei 2021 Pemerintah Kabupaten Lamandau menyampaikan surat No. 138/89/Kec.Bk/V-2021 tentang Penyampaian Hasil Verifikasi Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA) Kabupaten Lamandau. Surat ini intinya mengatakan dokumen masyarakat adat Kinipan belum lengkap dan meminta masyarakat melengkapinya, selain meminta Kepala Desa Kinipan membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat.
Pada Oktober 2021, Masyarakat Adat Laman Kinipan kembali menyerahkan berkas ke Panitia Masyarakat Adat melewati Damang Kecamatan dan diterima. Akan tetapi pada akhirnya dikembalikan lagi dengan alasan untuk masalah Peta belum lengkap.
Pada Maret 2022, berkas pemohonan pengakuan masyarakat adat Kinipan mendapatkan balasa memo dari pihak Setda Kabupaten Lamandau dan diarahkan ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lamandau. Pada bulan yang sama pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) datang ke Kabupaten Lamandau dan melakukan pertemuan dengan masyarakat adat di Kinipan.
Dalam pertemuan yang diselengarakan di GPU Sarang Pruya Desa Kinipan, 8 Maret 2022 lalu, disimpulkan bahwa Panitia MHA Kabupaten Lamandau siap mendampingi Masyarakat Adat Laman Kinipan dalam melengkapi Administrasi Usulan MHA di Kinipan Kecamatan Batang Kawa.
"Dari hasil pertemuan tersebut belum ada lagi tindak lanjut dari Pemerintah terkait pengakuan Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan."
Ada Upaya Menghilangkan Wilayah Adat Kinipan
Aryo menduga, ada upaya untuk mengilangkan sebagian areal wilayah adat Kinipan. Itu terungkap dalam Rapat Komisi IV DPR RI bersama Eselon 1 KLHK pada 6 Aril 2022 lalu. Dalam rapat tersebut disampaikan tentang kondisi tata batas antardesa yang bersengketa, yang membuat sebagian lahan Desa Kinipan masuk dalam wilayah desa lain--Desa Karang Taba lokasi di mana pembukaan lahan PT SML terjadi.
Aryo menjelaskan, pada 7 April 2022, pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau melalui Setda Kabupaten membuat surat undangan dengan No.100/42/IV/PEM.2022, perihal: Penyelesaian Batas Desa Kinipan Kecamatan Batang Kawa dengan Desa Karang Taba Kecamatan Lamandau, ditujukan kepada pihak Kecamatan. Dalam surat undangan tersebut, salah satu poin isinya menyebutkan tentang adanya Penetapan Batas Desa Kinipan dengan Desa Karang Taba oleh Bupati Lamandau pada 2018 yang dituangkan dalam Rancangan Peraturan Bupati Lamandau dari PBU 01 KT-KN s.d PBU 03 KT-KN yang telah dievaluasi oleh Tim PPBD Provinsi Kalimantan Tengah para 11 November 2019 dan 09 Juli 2021.
Dalam surat itu disimpulkan bahwa terdapat 1 segmen/garis yang belum tersambung (segmen belum menutup) dan perlu pembahasan tindak lanjut. Kegiatan ini akan dilaksanakan pada 11 April 2022.
"Persoalan tata batas ini juga menjadi salah satu dugaan kuat Willem Hengki akhirnya dikriminalisasi dengan dugaan korupsi Dana Desa. Setelah Willem Hengki dihentikan sementara jabatannya sebagai Kades oleh Bupati Lamandau, posisi Kades Kinipan dipegang oleh pejabat sementara yang ditunjuk oleh pihak Kecamatan Batang Kawa," kata Aryo.
Dalam pembahasan tindak lanjut permasalahan tata batas yang digelar 11 April 2022 lalu, pihak Desa Kinipan mengeluarkan surat pernyataan terkait tata batas antara Desa Kinipan dan Desa Kareang Taba. Isi surat pernyataan tersebut yakni, titik batas Tapang Teluncur adalah titik kesepakatan batas alam antara Kelurahan Tapin Bini dan Desa Suja Kecamatan Lamandau dengan Desa Kinipan Kecamatan Batang Kawa. Kemudian Bukit Taboda Madu atau Bukit Pasir merupakan titik kesepakatan batas alam antara Kelurahan Tapin Bini Kecamatan Lamandau dengan Desa Kinipan Kecamatan Batang Kawa.
"Di hari yang sama, Komunitas Masyarakat Adat Laman Kinipan menyerahkan kembali berkas permohonan pengakuan Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lamandau."
Pertimbangan Hakim Membebaskan Willem Hengki
Kembali ke perkara hukum Willem Hengki. Sebagai salah satu Penasehat Hukum Hengki, Aryo menjelaskan hal-hal yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilian Tipikor dalam memutus Bebas Willem Hengki.
Majelis Hakim menyatakan tidak ada kerugian keuangan Negara pada perbuatan Willem Hengki, dalam pengelolaan Dana Desa Anggaran Tahun 2019. Bahwa perbuatan Willem Hengki menganggarkan Dana Desa tahun 2019 sebesar Rp350.269.000 000 untuk pembayaran hutang Desa Kinipan atas pembuatan Jalan Pahiyan pada 2017, namun tidak dibayarkan hingga tahun 2019.
Majelis hakim menilai pada perkara ini yang menjadi kunci adalah bukan kapan Jalan Usaha Tani Pahiyan dikerjakan, namun apakah pekerjaan Jalan Usaha Tani tersebut benar-bernar ada dikerjakan. Hakim menyatakan berdasarkan fakta persidangan diketahui bahwa Jalan Usaha Tani Pahiyan memang benar-benar ada dan dikerjakan pada 2017 dengan volume panjang 1.300 m dengan lebar 8-10 m.
Pertimbangan mengenai kewajaran biaya atas pembukaan Jalan Usaha Tani, perhitungan dari pihak konsultan perencana Desa Kinipan tahun 2019 dari CV Litra Acdimensi yang menganggarkan Rp350.269.000 patut dipertimbangkan dalam perkara ini. Sedangkan perhitungan dari Dinas PU Kabupaten Lamandau dianggap tidak lengkap karena tidak menganggarkan menyewa alat.
Hakim juga berpendapat, dalam perkara ini nilai kerugian negara di keluarkan oleh Badan Pengawasan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Kalimantan Tengah sebesar Rp261.356.798,57 dengan cara mengambil alih hitungan dari Dinas PU Kabupaten Lamandau, namun tidak melakukan perhitungan ulang mengenai pekerjaan fisik sehingga tidak dapat untuk dijadikan pedoman dalam menentukan perhitungan kerugian keuangan negara.
Pertimbangan di atas merupakan bagian kecil dari pertimbangan mengapa Willem Hengki harus diputus bebas. Karena pada faktanya tidak terjadi kerugian keuangan Negara dalam pengelolaan dana Desa Kinipan pada 2019. Sedangkan pengeluaran dana sebesar Rp350.269.000 untuk pembayaran hutang pembukaan Jalan Pahiyan tahun 2017 dengan volume panjang 1.300 m dengan lebar 8-10 m, memang benar adanya.
Aryo mewakili Koalisi Keadilan Untuk Kinipan memberi apresiasi yang tinggi terhadap putusan Majelis Hakim dalam memutus bebas Willem Hengki. Koalisi menganggap, putusan tersebut merupakan cerminan keadilan yang pantas untuk diterima oleh Willem Hengki.
"Sedari awal kami telah mempunyai keyakinan bahwa kasus yang menerpa Willem Hengki merupakan kasus “pesanan” yang ingin mengamputasi bahkan mematikan gerakan perlawanan masyarakat adat Laman Kinipan dalam mempertahankan wilayah adatnya dari rongrongan oligarki," tutup Aryo.