LIPUTAN KHUSUS:

Sekjen PBB: Ego Nasional Menghambat Kesepakatan Laut Global


Penulis : Aryo Bhawono

Beberapa negara menolak pengakuan laut sebagai milik bersama.

Kelautan

Selasa, 28 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sekjen PBB, Antonio Guterres, menuduh beberapa negara menolak pengakuan laut sebagai milik bersama. Egoisme mereka menghambat kesepakatan global melindungi wilayah planet yang luas ini.

Ia tak menyebutkan negara mana saja yang dimaksudnya. Namun ia menekankan pentingnya lautan bagi seluruh umat manusia di planet ini. 

“Perairan internasional adalah milik kita,” katanya seperti dikutip dari AP.

Sekjen PBB bersama para pejabat senior dan ilmuwan dari lebih dari 120 negara menghadiri Konferensi Kelautan PBB selama lima hari di Lisbon, Portugal. Para aktivis yang frustrasi karena gagal menghasilkan aturan internasional yang mungkin menjamin kelestarian laut juga turut hadir.

Laut Barents Utara disebut ilmuwan sebagai area yang mengalami pemanasan suhu paling tinggi di Kutub Utara. Foto: Alister Doyle/Reuters File Photo

PBB berharap konferensi yang berlangsung Senin (27/6/2022) akan membawa momentum baru bagi upaya yang berlarut-larut untuk mencapai kesepakatan laut global.

Saat ini tidak ada kerangka hukum komprehensif yang berlaku untuk laut lepas. Lautan menutupi sekitar 70 persen permukaan bumi dan menyediakan makanan dan mata pencaharian bagi miliaran orang. Beberapa aktivis menyebut mereka sebagai daerah tidak diatur terbesar di planet ini.

Menurut PBB konferensi tersebut akan mengadopsi sebuah deklarasi yang memfasilitasi perlindungan dan konservasi lautan dan sumber dayanya. Deklarasi yang disahkan pada Jumat mendatang tidak mengikat para penandatangannya. 

Namun deklarasi itu belum menjangkau kesepakatan internasional baru tentang Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional, yang juga dikenal sebagai Perjanjian Laut Lepas.

Perjanjian itu sedang dirundingkan dalam kerangka United Convention on the Law of the Sea, yang merupakan perjanjian internasional utama yang mengatur aktivitas maritim manusia. Namun, setelah 10 tahun pembicaraan, termasuk putaran keempat negosiasi tiga bulan lalu, kesepakatan masih belum terlihat. Putaran kelima dijadwalkan pada Agustus di New York.

“Ekosistem terbesar di dunia … masih tidak terlindungi dan sekarat saat kita menyaksikannya,” kata kelompok aktivis Ocean Rebellion.

Guterres mengatakan kemajuan signifikan telah dibuat menuju kesepakatan tentang perjanjian laut lepas dan dunia berada pada momen penting untuk masa depan lautan.

“Kita perlu membuat orang menekan mereka yang memutuskan,” kata Guterres, meminta orang untuk membuat diri mereka didengar.

Ancaman terhadap lautan termasuk pemanasan global, polusi, pengasaman dan masalah lainnya, kata PBB. Penambangan laut dalam yang berpotensi berbahaya juga tidak memiliki aturan.

Terlepas dari frustasi itu, PBB beranggapan konferensi tersebut adalah kesempatan penting untuk mempercepat langkah menuju perjanjian laut lepas saat para delegasi secara informal memperdebatkan kemungkinan cara ke depan.

Konferensi ini juga diharapkan untuk menegaskan kembali dan membangun sekitar 62 komitmen yang dibuat oleh pemerintah pada pertemuan puncak sebelumnya di Nairobi, Kenya pada tahun 2018. Komitmen tersebut berupaya melindungi negara-negara pulau kecil dengan ekonomi berbasis laut hingga penangkapan ikan yang berkelanjutan dan memerangi pemanasan air.

Model pembiayaan untuk konservasi laut juga menjadi agenda tahun ini, serta menghasilkan solusi inovatif berbasis sains yang dapat meningkatkan kesehatan laut.

Utusan iklim AS, John Kerry, dan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, termasuk di antara mereka yang menghadiri beberapa hari acara tersebut.