LIPUTAN KHUSUS:
Papua: Empat Suku Besar Grime Nawa Tolak PT PNM
Penulis : Aryo Bhawono
Mereka akan menggelar mobilisasi umum dan mengajukan gugatan hukum jika izin PNM tak dicabut hingga akhir Juli ini.
Masyarakat Adat
Jumat, 22 Juli 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Empat suku besar di Lembah Grime Nawa putuskan tolak perkebunan kelapa sawit di wilayahnya. Mereka memberikan ultimatum akan melakukan mobilisasi masa dan gugatan hukum jika hingga 31 Juli mendatang pemerintah tidak mencabut izin PT Permata Nusa Mandiri (PNM).
Keputusan penolakan ini disepakati dalam Musyawarah Bersama Masyarakat Adat Daerah Grime Nawa di Kantor Dewan Adat Suku Namblong dan sekaligus Dewan Adat Daerah Grime Nawa Kampung Nimbokrangsari, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua pada Kamis (21/7/2022).
Lebih dari 100 warga adat dari empat suku besar di lembah Grime Nawa menghadiri musyawarah ini.
Empat suku besar tersebut adalah Orya,Namblong, Klesi,Kemtuk, dan Elseng. Mereka mendiami wilayah dataran rendah dan perbukitan di selatan dan tengah Kabupaten Jayapura dengan luas ±900.000 ha atau 65 persen luas kabupaten, membentang dari Distrik Kemtuk di timur sampai Distrik Airu di Selatan.
Mereka sepakat untuk tidak menyerahkan atau memberikan tanah atau hutan adat kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit atau perusahaan lainnya yang dapat menyebabkan hilangnya Hak Atas Tanah dan Hutan Adat.
“Menolak keberadaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di wilayah Lembah Grime Nawa yang mengambil alih tanah dan hutan karena merusak lingkungan, tanah dan hukum adat kami,” tulis berita acara Musyawarah Adat Grime Nawa yang diterima redaksi.
PT PNM sendiri mengantongi izin pelepasan kawasan hutan produksi untuk kelapa sawit oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui SK SK Nomor 680/MENHUT-II/2014 seluas 16.182 Hektare.
Pada 5 Januari lalu Presiden Joko Widodo mencabut izin-izin konsesi kawasan hutan. Pencabutan izin ini ditindaklanjuti dengan SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Pelepasan Kawasan Hutan. PT PNM termasuk dalam daftar perusahaan itu.
Namun perusahaan ini terindikasi terus melakukan aktivitas walaupun izinnya telah dicabut. Makanya masyarakat melakukan desakan pencabutan melalui musyawarah ini.
“Pada 1 Juli lalu mereka melakukan aktivitas, untuk mempersiapkan pengisian lahan yang sudah dibersihkan,” ucap Yustus Apainabo, salahs eorang pemuda adat dari Kampung Kemtuk.
Mereka juga mendesak kepada pemerintah untuk mencabut segala izin kepada PT PNM. Diantaranya Bupati Jayapura untuk mencabut izin lokasi dan izin lingkungan, DPMPTSP Provinsi Papua untuk mencabut Izin Usaha Perkebunan, BPN menetapkan HGU PT PNM sebagai tanah terlantar sesuai UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang UU Perkebunan jo UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja dan mengembalikan kepada masyarakat adat daerah Grime Nawa, dan Menteri BKPM untuk tetap mempertahankan keputusan pencabutan pelepasan Kawasan Hutan PT PNM.
Mereka juga mendesak Bupati Jayapura untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayah adat masyarakat adat di daerah lembah grime nawa sesuai Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UU Pokok Agraria.
“Kami berikan batas waktu pencabutan izin – izin PT.PNM sampai pada tanggal 31 Juli 2022. Apabila tidak segera dicabut maka kami, seluruh Masyarakat Adat Daerah Grime Nawa, akan melakukan mobilisasi umum untuk aksi damai dan mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat,” tulis berita acara Musyawarah Adat Grime Nawa.
Yustus mengungkapkan musyawarah ini sendiri digelar usai mereka melakukan sosialisasi di 13 kampung di Grime Nawa. Sehingga ketika musyawarah digelar pihak kepala kampung dan ondoafi turut hadir dan memberikan sikap yang sama.