LIPUTAN KHUSUS:

Konservasi Gajah Terhuyung Tanpa Pegangan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Upaya kegiatan konservasi gajah terhuyung tanpa adanya acuan rencana strategis yang bisa dijadikan pegangan.

World Elephant Day

Senin, 15 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Bila ada yang bertanya di mana tempat yang aman bagi gajah saat ini? Jawaban yang muncul kemungkinan hanya kebun binatang dan pusat pelatihan gajah atau semacamnya. Sebab di tempat lain, termasuk kawasan konservasi sekalipun, kelestarian gajah belum mendapat jaminan.

Di Taman Nasional (TN) Way Kambas misalnya, disebutkan dalam rentang waktu 2011-2021 ada 22 gajah yang mati akibat perburuan liar. Sebagian besar gajah-gajah itu ditemukan mati tanpa gading dan gigi. Laporan Koran Tempo April 2022 lalu juga mengungkap adanya gajah jantan yang mati tanpa gading di Way Kambas.

Selain Way Kambas, kematian gajah akibat campur tangan manusia juga terjadi di TN Tesso Nilo. Pada 2013 dan beberapa tahun sebelumnya, terhitung ada 13 gajah yang mati di kawasan konservasi di Provinsi Riau itu.

Bila di dalam kawasan konservasi saja gajah masih belum terjamin aman, apalagi di luar kawasan konservasi. Sebab kondisi sebaran populasi gajah di Sumatera sebagian besar berada di luar kawasan konservasi.

Seekor gajah betina yang sedang sedang menyusui ditemukan mati tersengat listrik di Desa Koto Pait Beringin, Bengkalis, Riau, 10 Desember 2021./Foto: Dokumentasi BBKSDA Riau.

Data Auriga Nusantara menyebutkan dalam kurun waktu 2 dekade terakhir populasi gajah sumatera mengalami penurunan sebanyak 70 persen. Pada 2007 populasi gajah teridentifikasi sebanyak 2800-4800 individu, dan pada 2021 tersisa sebanyak 924-1359 Individu.

Selain itu jumlah kantong gajah juga mengalami penurunan, yang mana pada 1985 berjumlah 44 kantong menjadi 22 kantong gajah pada 2021. Data 2020 menunjukkan, luas kantong gajah di Sumatera sebesar 4.642.824 hektare.

Dari luasan tersebut 21,40 persen atau 823.841 hektare di antaranya merupakan kawasan konservasi, sedangkan sisanya seluas 3.683.278 hektare atau sekitar 79,33 persen berada di luar kawasan konservasi.

Kantong-kantong gajah ini sekitar 44,67 persen atau 1.645.683 hektare tumpang tindih dengan areal izin usaha perusahaan. Dengan rincian, 1.269.902 berada di Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT), 152.545 hektare di IUPHHK-Hutan Alam, 121.838 hektare di Izin Usaha Pertambangan dan 101.398 hektare di Izin Usaha Perkebunan Sawit.

Sementara itu, sejak beberapa tahun lalu akselerasi konservasi gajah di Indonesia juga sedang terhuyung tanpa pegangan. Dikarenakan Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Gajah Indonesia baru yang menjadi acuan bagi seluruh pihak dalam melakukan berbagai upaya pelestarian gajah di Indonesia belum tersedia--yang berlaku sebelumnya adalah SRAK Gajah Indonesia 2007-2017.

Sedangkan Rencana Tindakan Mendesak (RTM) Gajah Sumatera yang pernah mengisi kekosongan kebijakan pemerintah terhadap konservasi gajah, telah dicabut oleh Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) pada 2021 lalu, diganti dengan Surat Edaran Nomor 7/KSDAE/KKH/KSA.2/10/2021 tentang Arahan Pelaksanaan Kegiatan Prioritas Pengelolaan Gajah Sumatera.

Ketiadaan SRAK Gajah Indonesia baru itu sedikit banyak membuat pelaksanaan konservasi gajah di Indonesia jadi kehilangan pegangan. Setidaknya bagi para pelaku konservasi gajah.

Wakil Ketua Perkumpulan Jejaring Hutan satwa, Wisnu Sukmantoro mengakui, ketiadaan SRAK maupun RTM, membuat kegiatan konservasi gajah menjadi tidak memiliki garis petunjuk. Dengan kata lain, para pelaku konservasi gajah hanya menjalankan program kegiatannya masing-masing yang tidak ada payung kebijakan pemerintah dan tidak ada evaluasinya.

"Kita jalan aja sih. Tetap jalan mengacu pada apa yang kita sepakati. RTM itukan kesepakatan. Kendalanya hanya tidak ada guide line saja. Tidak ada payungnya dan evaluasi," kata Wisnu, Rabu (10/8/2022).

Wisnu berpendapat, akan lebih baik bila pemerintah membangun kemitraan yang ideal dengan organisasi masyarakat sipil maupun badan usaha, termasuk institusi penelitian dalam melaksanakan kegiatan konservasi gajah yang terarah.

"Mitra-mitra dirangkul, dan diberi gambaran, setidaknya ada kitab sucinyalah. Dievaluasi mana yang kurang. Pemerintah ngisi yang ini, NGO ambil yang ini, pengusaha ambil yang ini, ajak juga BRIN misalnya."

Wisnu bilang, SRAK Gajah Indonesia yang telah disusun bersama seluruh pihak dan tengah menunggu disahkan oleh KLHK itu, telah memuat hasil evaluasi dan juga skema pendanaan SRAK. Evaluasi dimaksud hasil pembelajaran 10 tahun penerapan SRAK Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007-2017.

"Kalau pendanaan, kita (NGO) menggunakan dana masing-masing. "

Menurut dokumen Analisis Kesenjangan, Kebutuhan Konservasi Gajah Sumatera Berdasarkan Investasi Konservasi 2018-2020, SRAK Gajah 2020-2030 membutuhkan dana sebesar Rp469.244.460.000. Dana sebesar itu meliputi pembiayaan monitoring populasi, mitigasi konflik gajah-manusia, penegakan hukum, pengelolaan gajah jinak, restorasi habitat, penyelamatan populasi kritis, penyadartahuan dan mobilisasi sumber daya.

Praktisi konservasi senior, Samedi mengatakan, dana yang dibutuhkan untuk melakukan upaya konservasi gajah sangatlah besar. Samedi berharap angaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dialokasikan untuk konservasi satwa, termasuk gajah, bisa mendapat porsi yang lebih memadai.

Selain anggaran, Samedi juga berharap kebijakan-kebijakan pemerintah, terutama terkait penataan ruang dan penggunaan lahan, harus memasukkan gajah sebagai salah satu variabel penting dan utama. Kalau tidak, maka permasalahan konflik gajah-manusia akan semakin intens.

"Pemerintah juga perlu merangkul masyarakat sipil sebagai mitra pelaksana konservasi di lapangan. Banyak hal yang tidak dapat dilakukan pemerintah, tetapi bisa dilakukan oleh masyarakat sipil," ujar Samedi, Minggu (14/8/2022).

Harapan yang sama juga Ia alamatkan kepada masyarakat sipil. Samedi menilai organisasi masyarakat sipil harus bekerja sama dengan pemerintah dan program-programnya diselaraskan dengan program pemerintah, sehingga tidak kerja sendiri-sendiri, dengan kata lain harus terintegrasi.

"Masyarakat sipil adalah mitra pemerintah dan mengisi kekosongan yang tidak dijalankan pemerintah. masyarakat sipil harus lebih gesit dalam mencari pendanaan dari luar pemerintah."

Selain pemerintah dan masyarakat sipil, Samedi juga berharap agar pihak swasta dapat mengambil peran dalam upaya konservasi gajah. Sebab menurut Samedi, pihak swasta punya peran penting dalam mendukung konservasi. Investasi bernuansa ESG (Environment-Social-Governance) mesti menjadi masa depan investasi di Indonesia.

"Kalau swasta sudah fully engage dengan ESG investment,mungkin CSR tidak diperlukan lagi, karena ESG lebih dari sekedar CSR," ujar Samedi.

Konservasi Gajah Butuh Komitmen

Riau merupakan salah satu provinsi dengan potensi konflik gajah-manusia yang besar, bahkan angka kematian gajah di provinsi itu tidak sedikit, setidaknya ada 47 gajah yang mati di Riau.

Konflik gajah-manusia ini salah satunya disebabkan oleh kondisi habitat gajah yang mengalami tumpang tindih dengan banyak areal konsesi kegiatan usaha tanaman industri maupun kebun sawit.

Berdasarkan dokumen Rencana Tindakan Mendesak (RTM) Gajah Sumatera 2020-2023, ada 9 perusahaan yang lokasinya tumpang tindih dengan 5 kantong gajah yang ada di Riau, yakni Chevron Pacific Indonesia, PT Kojo, PT Arara Abadi, PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Rimba Penarap Industri, PT Musimmas, PT Inti Indo Sawit, PT Mitra Unggul Perkasa dan PT Perkebunan Nusantara V.

Dulunya, terdapat 15 kantong populasi gajah yang tersebar di Riau. Namun kini tersisa hanya 5 kantong saja, yakni Petapahan, Balai Raja, Giam Siak Kecil, Tesso Nilo Utara dan Tesso Nilo Tenggara. Diduga hilangnya 10 kantong gajah ini dilantari oleh perubahan signifikan yang terjadi pada habitat--berubah menjadi areal kegiatan usah skala besar misalnya--yang kemudian memicu gajah bermigrasi ke tempat lain.

Kepala Bidang Teknis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Mahfud mengungkapkan, lima kantong gajah tersisa di Riau itu tidak seluruhnya dalam keadaan 'sehat'. Di Petapahan misalnya, dalam 5 tahun terakhir tidak ada perkembangbiakan gajah yang terjadi, jumlah populasi gajah di kantong gajah itu terhenti di angka 11.

"Memang ada gajah jantannya, tapi masih remaja. Balai Raja ada 1 jantan juga, kadang juga bergabung ke Giam Siak Kecil. Dari dulu dua kantong itu jadi satu koridor. Di Tesso Utara dan Tesso Tenggara perkembangbiakan ada," terang Mahfud, Jumat (12/8/2022).

Mahfud berujar, sama seperti di provinsi lain, upaya konservasi gajah di Riau juga membutuhkan dukungan dan komitmen dari seluruh pihak. Mulai dari masyarakat, pihak swasta maupun pemerintah daerah. Mahfud pun mengakui, dokumen SRAK Gajah merupakan salah satu kebutuhan. Sebab di dalamnya berisi komitmen dan rencana strategis yang disusun bersama seluruh pihak.

Yang mana, berdasarkan SRAK, pembagian peran yang bisa diambil oleh pemerintah, masyarakat dan swasta akan terlihat jelas. Sehingga menghindarkan terjadinya tumpang tindih peran dan bisa mengisi kesenjangan-kesenjangan yang ada, termasuk dalam hal pendanaan. Sebab kegiatan konservasi gajah membutuhkan anggaran yang cukup besar. Mahfud berpendapat, organisasi masyarakat sipil dan swasta diharapkan dapat menjalin komunikasi demi membantu pelaksanaan SRAK gajah.

"Sebenarnya kalau ada komitmen, akan sangat baik. SRAK gajah kemudian bisa dilaksanakan sesuai dengan target dan sasaran. Tapi di sisi lain, untuk menggerakkan semua pihak ini juga butuh energi besar. Kalau SRAK sendiri luar biasa sangat-sangat dibutuhkan sekali. Namun lebih dari itu konsistensi implementasinya yang terpenting," kata Mahfud, Jumat (12/8/2022).

Selama tiga tahun terakhir melaksanakan kegiatan patroli pengawasan gajah liar, BBKSDA Riau sangat terbantu oleh peran serta organisasi masyarakat sipil, seperti Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dan Rimba Satwa Foundation (RSF) misalnya. Meskipun demikian, kegiatan lapangan seperti itu tidak bisa dilakukan seintensif yang diharapkan, lantaran keterbatasan dana.

"Kita selalu mengajak para pihak bekerja sama dalam pelestarian gajah sumatera. Memang kalau hanya KSDA saja anggaran terbatas tentu akan semakin berat."

Mahfud menyebut kemandirian warga dalam penanganan gajah liar juga sudah mulai tumbuh, dan hal itu sangatlah membantu. Seperti yang dilakukan warga di Desa Karya Indah, Kabupaten Kampar, yang sejak 2020 lalu sudah secara mandiri mampu menangani gajah yang masuk ke areal pemukiman.

"Mereka (warga) sudah bisa menyadari, sehingga mereka bertindak swadaya memitigasi konflik. Artinya mereka bersedia menghalau gajah masuk ke hutan lagi secara mandiri. Kalaupun ada tanaman yang rusak, mereka tidak komplain, mereka hanya menganggap itu bagian sedekah."

Mahfud menambahkan, salah satu penyebab terbesar konflik gajah-manusia di Riau adalah degradasi dan hilangnya habitat gajah. Yang diakibatkan oleh okupansi penduduk secara ilegal maupun ekspansi kegiatan usaha perusahaan. Gangguan terhadap habitat inilah yang kemudian membuat gajah menjadi terfragmentasi, dan tak jarang harus keluar dari hutan tersisa untuk mencari pakan, hingga berujung pada konflik.

Peran Masyarakat Sipil dalam Konservasi Gajah

Menurut sumber yang tidak ingin disebutkan namanya, sejak 2020 lalu sejumlah lembaga masyarakat sipil mengambil peran melakukan berbagai kegiatan terkait konservasi gajah, menggunakan dana hibah yang berasal dari dari skema pengalihan utang untuk lingkungan (debt-for-nature swap) melalui perjanjian bilateral antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia.

Lembaga-lembaga tersebut di antaranya PKST-UNSRI (analisis genetik sub populasi Padang Sugihan-Simpang Heran, Sumsel), Perkumpulan Hutan-Satwa (monitoring, Pengelolaan Pola Ruang dan Konflik di padang Sugihan, Sumsel), Universitas Muhammadiyah Palembang (studi habitat dan populasi untuk upaya penyelamatan dan kemungkinan relokasi populasi gajah di SM Gunung Raya, Sumsel).

Kemudian Forum Rembug Desa Penyangga (pendekatan sosial dalam adaptasi konflik gajah-manusia di Lampung), Rimba Satwa Foundation (pencegahan perburuan dan konflik gajah-manusia berbasis masyarakat di Riau), Vesswic (penyelamatan populasi gajah di koridor Langkat-Sekundur dan sekitar Sumatera Utara), Burung Indonesia (penyelamatan gajah di Bentang Alam Hutan Harapan, Jambi).

Forum Konservasi Gajah Indonesia (fasilitasi pelaksanaan proyek gajah sumatera, termasuk membangun basis data gajah), Yayasan Komunitas untuk Hutan Sumatera (elephant response units untuk mitigasi konflik gajah-manusia di TNWK dan TNBBS), Yayasan Kanopi Bengkulu (implementasi Rencana Tindak Mendesak di Bentang Alam Seblat, Bengkulu), dan CRU Aceh (implementasi Rencana Tindak Mendesak di Aceh).

Secara lebih rinci, kegiatan konservasi gajah ini mencakup kegiatan pemantauan kesehatan dan perawatan gajah sumatera di lingkungan ex-situ secara rutin dilakukan di beberapa lokasi, seperti Aek Nauli Elephant Conservation Camp (ANECC), Pusat Latihan Gajah (PLG) Holiday Resort, (PLG) Minas, PLG Sebanga, Taman Wisata Alam (TWA) Buluh Cina dan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).

Setidaknya 28 ekor gajah jinak telah menjalani pemeriksaan kesehatan rutin. Dari pemeriksaan ini dilaporkan bahwa kondisi gajah sumatera di lingkungan ex-situ di seluruh unit pemeliharaan gajah dinilai ideal, dengan nilai Indeks Kondisi Tubuh (BCI) rata-rata bernilai 6.

Di Pusat Konservasi Gajah Taman Nasional Way Kambas, sebanyak 75 persen gajah mempunyai nilai BCI antara 4,5-7. Selain itu, monitoring kesehatan gajah juga dilakukan oleh Tim ERU di Taman Nasional Way Kambas, di mana pada periode ini setiap gajah diberikan obat anti-parasit satu kali.

Saat ini juga tengah disusun data base gajah sumatera di lingkungan ex-situ yang memuat data individu gajah seperti nama, asal usul dari penangkapan atau lahir di penangkaran, nomor microchip atau studbook, photo, nilai indeks kondisi tubuh berkala, termasuk rekam medisnya untuk 200 individu gajah sumatera di lingkungan ex-situ di seluruh Sumatera.

Wilayah Cagar Alam Giam Siak Kecil-Suaka Margasatwa Balai Raja, Provinsi Riau yang merupakan wilayah di mana sering terjadi konflik manusia-gajah telah terbentuk KMPG (Kelompok Masyarakat Peduli Gajah) di 4 desa sasaran.

Tiap KMPG beranggotakan 8 orang dan telah dilatih untuk melakukan mitigasi konflik secara mandiri, diberi peralatan secukupnya, dan ke depan akan dilakukan pendampingan langsung mengenai teknis mitigasi, penggiringan populasi gajah, dan penanganan konflik. Anggota KMPG juga terhubung dengan sistem peringatan dini melalui grup Whats App, sehingga informasi keberadaan gajah bisa cepat diketahui dan masyarakat bisa bersiap untuk mitigasinya.

Selain itu terdapat pula dukungan pengadaan 3 unit GPS Collar yang pengelolaannya dikoordinasikan oleh BKSDA Jambi. Alat ini diharapkan dapat membantu memberikan gambaran ekologis dan penggunaan ruang oleh populasi gajah, sehingga dapat dilakukan penyelamatan dan perlindungan satwa gajah dan habitatnya serta pengelolaan populasi gajah di Kawasan Hutan Harapan, Jambi.

Konflik gajah-manusia berusaha ditekan melalui pembangunan pagar pembatas beraliran listrik voltage rendah maupun pembangunan parit penghalang. Hingga pertengahan 2022 telah terbangun 16,45 Km pagar listrik di 6 Conservation Response Unit (CRU) di Aceh yang meliputi Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bireun, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur dari total target 40 Km.

Pemanfaatan teknologi terkini juga turut dioptimalkan untuk melindungi gajah sumatra dengan bekerja sama dengan berbagai kampus. Misalnya sistem peringatan dini serangan gajah berbasis bio-akustik yang dikembangkan dan dilakukan oleh Tim dari UGM.

Sementara itu Tim dari Fakultas Biologi ITB mengembangkan early warning system berbasis Internet of Things (IoT) dengan memanfaatkan jaringan seluler. Pusat Kajian Sains Terapan (PKST) Universitas Sriwijaya juga mengembangkan Studi genetik pada sub-populasi gajah di Simpang Heran, Padang Sugihan (Sumatera Selatan) yang ditujukan untuk pengembangan kebijakan pengelolaan populasi kecil gajah sumatera.

Penyelamatan gajah juga dilakukan melalui perbaikan habitat gajah sebagaimana dilakukan di TN Gunung Leuser. Restorasi ekosistem dilakukan oleh YOSL-OIC (Medan) di lahan di dalam taman nasional seluas 666 hektare di lokasi yang merupakan bekas perambahan sawit masyarakat.

Kegiatan restorasi yang dilakukan dengan teknik yang berbeda dengan rehabilitasi lahan yang dilakukan Pemerintah. Hasilnya adalah tutupan hutan di kawasan restorasi ini mampu dikembalikan, dan fungsi ekosistemnya sebagian besar telah kembali sehingga menarik kembalinya satwa liar ke dalam kawasan, termasuk gajah sumatera dan orangutan yang tertangkap kamera sudah mulai melintas dan mencari makanan di kawasan hasil restorasi.