LIPUTAN KHUSUS:
Menagih Janji Jokowi Soal Wilayah Kelola Rakyat
Penulis : Kennial Laia
Capaian perhutanan sosial dinilai belum maksimal. Presiden Jokowi didesak untuk mempercepat pengakuan wilayah kelola rakyat dan memperkuat perlindungan hukumnya.
Hutan
Rabu, 17 Agustus 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Memasuki paruh periode kedua kepemimpinannya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo dinilai belum memenuhi janjinya. Hal itu ihwal pemberian wilayah kelola rakyat seperti perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare dan tanah objek reforma agraria (TORA) seluas 4,9 juta hektare.
Laporan terbaru berjudul Indonesia Tanah Air Siapa dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional dan Yayasan Auriga Nusantara, dua organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang advokasi sumber daya alam, hingga saat ini capaian perhutanan sosial seluas 3 juta hektare, termasuk 2,9 juta hektare yang diterbitkan pada era presidensi Jokowi.
“Hampir dua periode Jokowi, baru tercapai 3 juta hektare,” kata Kepala Divisi Kampanye WALHI, Hadi Jatmiko pada konferensi pers di Jakarta Pusat, Senin, 15 Oktober 2021.
Analisis tersebut mencatat alokasi paling besar untuk hutan desa seluas 1,84 juta hektare, disusul hutan kemasyarakatan seluas 708.822,85 hektare.
Kemudian kemitraan kehutanan seluas 248.566 hektare, hutan tanaman rakyat seluas 150.032,34 hektare, dan hutan adat 75.797,81 hektare. Porsi paling kecil ditemukan pada izin pemanfaatan perhutanan sosial seluas 35.929,18 hektare.
“Perhutanan sosial Jokowi baru sebatas 5 persen dari target. Angka 3 juta hektare itu pun dikurangi periode zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum perhutanan sosial menjadi program utama Jokowi,” terang Hadi.
Hal itu kontras dengan penguasaan lahan oleh korporasi di Indonesia, terutama di bidang kehutanan, pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit. Untuk konsesi logging terdapat izin seluas 19 juta hektare, yang dikuasai oleh 258 badan usaha. Sebanyak 22% atau 4,3 juta hektare dimiliki oleh 10 grup usaha.
Di sektor hutan tanaman industri atau kebun kayu, terdapat izin seluas 11 juta hektare per 2022. Seluruhnya dimiliki oleh 297 badan usaha. Namun, lebih dari separuh badan usaha ini terkonsolidasi pada 20 grup usaha. Sementara itu sektor industrinya dikuasai oleh Sinar Mas dan APRIL. Pada penguasaan lahan, kedua grup ini menjadi pengendali penguasaan lahan 3,8 juta atau 61% dari seluruh alokasi lahan pengusahaan kebun kayu.
Di sektor sawit, kedua organisasi mencatat pelepasan kawasan hutan untuk korporasi sawit seluas 6 juta hektare per April 2022. Lebih dari seperempat atau 28% pelepasan kawasan hutan untuk konsesi sawit diberikan kepada 10 grup usaha.
Sementara itu untuk Hak Guna Usaha (HGU), tercatat setidaknya 7,4 juta hektare perkebunan sawit. Seperempatnya dikuasai oleh 10 grup usaha, seperti Sime Darby, Sinar Mas, Korindo, dan PTPN.
Menurut Hadi, terdapat gap yang sangat besar terkait pemberian izin untuk perusahaan dan rakyat. Dari total 53 juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hetkare yang dialokasikan untuk rakyat. Sisanya sebesar 94,8 persen diperoleh oleh korporasi.
“Dari data tersebut bisa disimpulkan kepada siapa negara bekerja, yaitu korporasi,” kata Hadi.
Rekomendasi
Menurut Hadi, salah satu faktor lambatnya pemberian izin pemanfaatan perhutanan sosial kepada masyarakat disebabkan oleh banyaknya tumpang tindih dengan izin usaha, termasuk di tiga sektor hutan, tambang, dan kebun.
“Persoalannya adalah masih banyak keengganan atau belum maksimal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mencabut izin dari perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat.”
Hadi mencontohkan sengketa masyarakat dengan Perhutani di Jawa. “Seharusnya KLHK mereviu atau mencabut izin Perhutani, dan diberikan seluasnya kepada masyarakat untuk pemulihan lingkungan hidup dan mandat perhutanan sosial,” tukas Hadi.
Hadi mengatakan agar pemerintah segera melakukan evaluasi dan pencabutan izin perusahaan yang selama ini berkonflik dengan rakyat serta yang melakukan kejahatan terhadap lingkungan.
Pemerintah juga perlu menerbitkan kebijakan stop perizinan baru di sektor perkebunan, pertambangan, dan kehutanan di Indonesia.
Selain itu, pemerintah didesak untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan turunannya. Aturan ini dinilai dapat menjadi legitimasi hukum penerbitan izin dan investasi yang masif di Indonesia.