LIPUTAN KHUSUS:

Ada 800 Ribu Hektare Lebih Tambang Ilegal dalam Kawasan Hutan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

BPK menyebut ada aktivitas pertambangan dalam kawasan hutan tanpa izin bidang kehutanan seluas 842.193 hektare.

Tambang

Kamis, 25 Agustus 2022

Editor : Kennial Laia

BETAHITA.ID - Selain 2,9 juta hektare kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menyebut adanya aktivitas pertambangan dalam kawasan hutan tanpa izin bidang kehutanan alias ilegal seluas 842.193 hektare.

Terdiri dari 841.791,27 hektare pertambangan dalam kawasan hutan tanpa izin di bidang kehutanan dan kegiatan tambang ilegal lainnya di areal PT Aneka Tambang seluas sekitar 402,38 hektare yang berpotensi menghasilkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) bagi negara.

Temuan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tanpa izin kehutanan tersebut secara rinci diuraikan dalam laporan BPK, yang terbit pada 7 Januari 2022 lalu.

Laporan ini menyebutkan, hasil pengujian dokumen, konfirmasi, analisis spasial dan pemeriksaan fisik secara uji petik atas pertambangan di dalam kawasan hutan, diketahui terdapat bukaan lahan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)/ Perizinan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) luasnya sekitar 603.244,55 hektare.

Salah satu helikopter pengangkut logistik ke lokasi penambangan emas ilegal di Kampung Wasirawi Distrik Masni Kabupaten Manokwari Papua Barat./Foto: Antara/Hans Arnold Kapisa.

Dari luasan tersebut sekitar 572.618,43 hektare di antaranya diketahui berada pada areal Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) atas nama 584 perusahaan tambang atau pemegang IUP. Bukaan tambang tanpa izin bidang kehutanan itu berada di Hutan Konservasi seluas 4.532,13 hektare, Hutan Lindung 73.176.62 hektare dan di Hutan Produksi 494.909,68 hektare.

Indikasi Gangguan Kawasan Hutan pada Areal WIUP Tanpa IPPKH/PKH tersebut merupakan indikasi di luar Provinsi Aceh, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku yang telah menjadi sampel uji petik pelaksanaan pemeriksaan laporan keuangan pada Kementerian LHK Tahun 2020.

Kemudian terdapat pula indikasi bukaan tambang dalam kawasan hutan tanpa IPPKH/PPKH, minimal sebanyak 505 poligon dengan luas 30.626,12 hektare, baik di dalam WIUP maupun di luar WIUP, namun belum terindikasi pelakunya. Bukaan tambang ini berada di 8 provinsi, yakni Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Untuk menginterpretasikan indikasi bukaan lahan tersebut, BPK telah melakukan konfirmasi kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai Ketua Satuan Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian (Satlakwasdal) Undang-Undang Cipta kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Dari data yang dimintakan konfirmasi itu, Satlakwasdal UU Cipta Kerja Bidang LHK baru melaksanakan telaah cepat terhadap 99 poligon dengan luas kurang lebih 1.401 hektare pada areal pertambangan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Hasilnya, areal pertambangan yang benar adalah sebesar 55 persen (772 hektare dari luas sekitar 1.401 hektare). Namun jawaban konfirmasi tersebut tidak menjelaskan atau mengidentifikasikan jumlah poligon yang sesuai dan yang tidak sesuai.

Selanjutnya, dari hasil konfirmasi kepada Direktorat Rencana Penggunaan dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan (RPPWPH), diketahui bahwa telah dilakukan analisis indikasi penutupan lahan pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa IPPKH/PPKH seluas 237.803 hektare. Terdiri dari 70.175 hektare berada pada areal WIUP atas 554 perusahaan tambang, dan 167.646 hektare terindikasi berada di luar WIUP dan belum diketahui subjek hukumnya.

Sementara analisis indikasi tutupan lahan pertambangan di kawasan hutan tersebut, sampai dengan 23 November 2021, belum dilaporkan kepada Ketua Satlakwasda untuk diselesaikan melalui UU Cipta Kerja.

Kegiatan Ilegal PT BBAP dan PT KTS di Riau

Selain itu, perusahaan pertambangan batu bara PT Bara Batu Ampar Prima ( BBAP) di Provinsi Riau, diduga masih melakukan aktivitas pertambangan di areal IPPKH yang masa berlakunya sudah habis seluas 50,61 hektare, dan di areal Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak mempunyai IPPKH seluas 105,94 hektare.

PT BBAP memperoleh IUP melalui Keputusan Bupati Indragiri Hilir Nomor 01/DPE-PU/IV/2010 seluas 400 hektare mulai berlaku mulai 19 April 2010 dan berakhir pada 19 April 2025 dan Nomor 06/DPE-PU/V/2011 seluas 600 hektare yang mulai berlaku sejak 17 Juni 2010 dan berakhir pada 19 April 2025 dengan komoditas batu bara. Izin usaha ini berlokasi di Desa Batu Ampar, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.

Selain PT BBAP, PT Kemuning Tambang Sentosa (KTS) juga diduga melakukan kegiatan ilegal di dalam kawasan hutan. Yaitu membuat jalan untuk melakukan pengangkutan hasil tambang dalam kawasan hutan tanpa IPPKH seluas 3,83 hektare.

PT KTS memperoleh IUP melalui Keputusan Bupati Indragiri Hilir Nomor 02/DPE-PU/I/2010 seluas 615 hektare di Desa Batu Ampar, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau yang masa berlakunya mulai 16 Januari 2010 sampai dengan 16 Januari 2022.

Selanjutnya, PT KTS mendapatkan IPPKH melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.300/Menhut-II/2012 tanggal 15 Juni 2012 seluas sekitar 562,6 hektare yang kemudian direvisi melalui Surat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.16/1/IPPKH-PB/PMDN/2016 20 Desember 2016 seluas 561,8 hektare yang berakhir pada 16 April 2022.

Berdasarkan Berita Acara Verifikasi (BAV) yang disusun oleh BPKH Wilayah XIX Pekanbaru, diketahui terdapat penggunaan kawasan hutan di luar IPPKH berupa jalan, workshop, stockpile dan mineout seluas 3,83 hektare. Terkait permasalahan tersebut, BPKH Wilayah XIX telah melaporkan kepada Dirjen PKTL melalui aplikasi https://pnbp-pkh.menlhk.go.id pada 15 September 2021, namun belum pernah dilakukan upaya penindakan.

Kemudian, hasil pemeriksaan oleh BPK dan BPKH Wilayah XIX Pekanbaru melalui citra satelit, menemukan adanya kegiatan penambangan yang berada di antara PT BBAP dan PT KTS, yang dibuka dari 2019 tanpa IUP dan belum diketahui subjek hukumnya. Hasil digitasi yang dilakukan oleh BPKH Wilayah XIX Pekanbaru, bukaan tambang tanpa izin di kawasan hutan ini luasnya sekitar 583,34 hektare.

Atas temuan-temuan tersebut, secara keseluruhan aktivitas pertambangan dalam kawasan hutan tanpa izin bidang kehutanan ini luasnya mencapai 841.791,27 hektare. Meski angka luasan kawasan hutan yang dilanggar tersebut sudah ditemukan, KLHK belum dapat melakukan proses penyelesaian.

BPK merekomendasikan KLHK untuk melakukan identifikasi subjek hukum dan memproses penyelesaian atas aktivitas tambang dalam kawasan hutan tanpa izin bidang kehutanan seluas 841.791,27 hektare itu sesuai ketentuan yang berlaku, dan meminta KLHK menyusun peta jalan penyelesaian aktivitas pertambangan tanpa izin dalam kawasan hutan yang mencakup tata waktu dan tahapan penyelesaian yang jelas dan terukur, mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021.

Kegiatan Tambang Ilegal di Areal IUP PT Aneka Tambang di Sulawesi Tenggara

Selain itu, dalam laporannya BPK juga menyebut terdapat bukaan lahan dalam kawasan hutan tanpa izin oleh perusahaan-perusahaan lain di dalam areal IUP PT AT seluas sekitar 402,38 hektare.

Uraiannya, sesuai Surat Keputusan Bupati Konawe Utara Nomor 158 Tahun 2010 tertanggal 29 April 2010 luas IUP PT Aneka Tambang (AT) yang berlokasi di Kecamatan Asera dan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara adalah 16.920 hektare.

Hal tersebut sesuai dengan data peta SHP WIUP aktif Kementerian ESDM per 1 Oktober 2021 seluas 16.849,17 hektare. Dengan rincian, di Kawasan Hutan Lindung seluas 6.042,20 hektare, Hutan Produksi 2.135,27 hektare, Hutan Produksi Konversi 2.257,39 hektare, Hutan Produksi Terbatas 1.752,25 hektare, di Areal Penggunaan Lain (APL) 4.437,66 hektare dan di Laut 224,40 hektare.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen dan analisis spasial diketahui dalam WIUP PT AT terdapat IUP 11 perusahaan yang tumpang tindih dengan WIUP PT AT Nomor 158 Tahun 2010, di antaranya seluas 2.425,94 hektare berada dalam kawasan hutan.

Hasil pemeriksaan fisik secara uji petik yang dilakukan oleh BPK dan didampingi oleh BPKH Wilayah XXII, Balai Gakkum Wilayah Sulawesi, KPH Konawe Utara pada 17-19 Oktober 2021 pada area WIUP PT AT Nomor 158 Tahun 2010 dengan mengambil citra foto menggunakan drone menunjukkan, terdapat bukaan dalam kawasan hutan akibat kegiatan pertambangan.

Hasil analisis spasial dan digitasi atas bukaan lahan tanpa izin di dalam WIUP PT AT yang tumpang tindih dengan 11 IUP perusahaan lainnya seluas 2.425,94 hektare, menunjukkan bahwa terdapat bukaan lahan seluas 402,38 ha berupa aktivitas pertambangan tanpa IPPKH.

Atas hal tersebut PT AT menyatakan, aktivitas pertambangan tersebut tidak dilakukan oleh PT AT namun dilakukan oleh perusahaan lain yang memiliki IUP di areal yang tumpang tindih dengan areal WIUP PT AT.

Area bukaan tambang di kawasan hutan tanpa izin bidang kehutanan yang dilakukan dalam kegiatan pertambangan seluas sekitar 402,38 hektare tersebut, terdapat potensi penerimaan PNBP IPPKH, PSDH dan DR.

Pemeriksaan fisik terhadap bukaan kawasan hutan tanpa izin bidang kehutanan akibat kegiatan pertambangan seluas 402,38 hektare ini berupa tanah terbuka, sehingga tidak dapat diketahui apakah areal tersebut masuk dalam kategori pit aktif atau sudah masuk dalam kategori mineout.

Dari hasil perhitungan diketahui terdapat potensi penerimaan negara setiap tahunnya berupa PNBP PKH atas kegiatan pertambangan minimal sebesar Rp1.511.864.119,35 apabila seluruhnya diasumsikan sebagai L1 dan maksimal sebesar Rp6.047.456.477,40 apabila seluruhnya diasumsikan sebagai L2.

Selain potensi PNBP IPPKH, terdapat pula potensi penerimaan negara berupa PNBP Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) atas penggantian nilai intrinsik dan hasil hutan dan/atau hasil usaha yang dipungut dari hutan negara, serta dana yang dipungut atas pemanfaatan kayu yang tumbuh alami dari hutan negara.

Potensi PNBP, PSDH, dan DR yang hilang dihitung berdasarkan Peraturan Pemerintah 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan, dengan tarif PSDH per meter kubik sebesar 10 persen x Harga Patokan untuk semua diameter kayu dan tarif DR per meter kubik sebesar USD12 untuk kayu diameter sampai dengan 49 cm dan sebesar USD12,5 untuk diameter di atas 49 cm.

Untuk menghitung potensi PSDH dan DR pada bukaan kawasan hutan tanpa izin bidang kehutanan seluas sekitar 402,38 hektare, digunakan data potensi tegakan hutan provinsi di Indonesia sesuai Statistik LHK Tahun 2019 (cetakan Maret 2021) yang dikeluarkan oleh pusat data dan informasi KLHK. Yang mana data ini digunakan untuk menghitung nilai potensi tegakan (meter kubik per hektare).

Berdasarkan statistik 2019 dan penjelasan dari Direktorat RPPWPH, rata-rata potensi tegakan pohon di kawasan hutan Provinsi Sulawesi Tenggara untuk diameter 20 sampai dengan 49 cm sebesar 32,81 meter kubik per hektare dan untuk diameter 50 cm ke atas sebesar 11,60 meter kubik per hektare.

Perhitungan potensi PNBP PSDH dan DR dengan menggunakan tarif jenis kayu yang terendah dikalikan dengan potensi volume tegakan kayu pada luasan bukaan lahan tanpa PPKH.

BPK merekomendasikan kepada Menteri LHK agar berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk mengidentifikasi subjek hukum atas bukaan pada areal tumpang tindih IUP PT AT seluas 402,38 hektare. Selanjutnya Menteri LHK melakukan proses penyelesaian atas aktivitas tambang ilegal pada areal tumpang tindih IUP PT AT sesuai ketentuan yang berlaku, dan memproses potensi PNBP penggunaan kawasan hutan, PSDH dan DR sebesar Rp2.182.379.746,32 dan USD216.770,70 pada areal tumpang tindih IUP PT AT.