LIPUTAN KHUSUS:

‘Ratapan’ Warga Dairi di Kedubes Cina


Penulis : Aryo Bhawono

Mereka mendesak KLHK menolak adendum AMDAL dan memberitahu pemerintah Cina, bahwa perusahaan asal negara itu tengah berinvestasi dengan tambang berisiko tinggi.

Tambang

Kamis, 25 Agustus 2022

Editor : Kennial Laia

BETAHITA.ID -  Warga Dairi, Sumatra Utara, lakukan aksi serentak untuk menghentikan pertambangan PT Dairi Prima Mineral pada Rabu (24/8/2022). Mereka mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menolak adendum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan memberitahu pemerintah Republik Rakyat Tiongkok, bahwa perusahaan asal negara itu tengah berinvestasi dengan tambang berisiko tinggi di Dairi.

Aksi serentak ini digelar di empat lokasi, yakni di Kedubes Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan KLHK, Jakarta, serta di Kantor Bupati Dairi dan Konsulat Jenderal RRT Medan, Sumatra Utara.

Perwakilan masyarakat Dairi menggelar kegiatan tradisional batak mangandungAndung-andung ini merupakan ratapan atau jerit tangis yang ditujukan kepada pemerintah Cina. Pesan ratapan ini adalah informasi kepada Kedubes RRT bahwa perusahaan asal negeri tirai bambu itu berinvestasi terhadap pertambangan berisiko tinggi di Dairi dan membahayakan masyarakat dan lingkungan. 

Perusahaan asal Cina itu, Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction (NFC), menjadi memiliki 51 persen saham atas perusahaan tambang PT Dairi Prima Mineral (PT DPM).

Aksi Perwakilan Warga Dairi, Sumut, di KLHK menuntut pengehentian rencana tambang PT DPM pada Rabu (24/8/2022). Foto: Jatam

Risiko tinggi pertambangan milik PT DPM ini dimuat dalam surat salah satu lembaga Ombudsman Internasional yaitu CAO (Compliance Advisor Ombudsman) yang merupakan bagian dari Bank Dunia dan Badan Kepatuhan Independen. Tambang yang direncanakan PT DPM memiliki kombinasi risiko yang tinggi karena beberapa faktor, salah satunya adalah terkait pembangunan bendungan limbah yang diusulkan oleh perusahaan tidak sesuai dengan standar internasional. 

Laporan CAO tersebut dikuatkan oleh pendapat dua ahli yaitu Ahli Hidrologi, Steve Emerman, dan Ahli Bendungan, Richard Meehan. Mereka mengatakan rencana pertambangan yang diusulkan tidak tepat karena lokasi tambang berada di hulu sungai desa dengan tanah yang tidak stabil. Selain itu lokasi juga berada rentan gempa tertinggi di dunia. Data PT DPM juga disinyalir tidak lengkap, khususnya data tentang pengelolaan dan penyimpanan limbah. 

Fasilitas pertambangan yaitu bendungan limbah seluas 24 hektare di hulu desa menjadi bom waktu bencana besar yang akan datang. 

Sayang ratap warga Dairi ini tak berbalas. Perwakilan dari Kedubes RRT hanya mengutus staf keamanan untuk menerima dokumen. “Masyarakat yang kecewa akhirnya meninggalkan Kedubes RRT tanpa menitipkan dokumen tersebut pada security,” ucap perwakilan masyarakat Dairi, Mangatur Lumbantoruan, melalui pernyataan tertulis. 

Sedangkan pada aksi di KLHK, warga diterima oleh Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan (DPLUK) KLHK. Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang, Muhammad Jamil, yang turut menjadi salah satu pendamping hukum warga Dairi menyatakan saat ini proses pembahasan adendum AMDAL tambang PT DPM tengah dilakukan. Perusahaan itu mengubah mineral yang ditambang, dari emas menjadi seng dan timah. 

“Ini tetap berbahaya karena operasinya sama, termasuk rencana pembangunan infrastruktur penambangan,” ucapnya. 

Pihak KLHK sendiri menerima dokumen yang dibawa oleh perwakilan warga Dairi dan berjanji akan menjadikannya sebagai pertimbangan.

Saat ini warga Dairi sendiri tengah menunggu putusan kasasi MA atas sengketa informasi yang mereka ajukan untuk mendapatkan dokumen Kontrak Karya PT DPM dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pengadilan sengketa informasi dan PTUN Jakarta menyatakan dokumen tersebut terbuka untuk publik. Namun Kementerian ESDM mengajukan kasasi.

“Warga Dairi adalah desa terdampak seharusnya dokumen ini terbuka karena mereka berhak tahu, apalagi ini menyangkut keselamatan,” keluh Jamil.