LIPUTAN KHUSUS:

Penyelesaian Kegiatan Ilegal dalam Kawasan Hutan Tidak Transparan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Publik sulit mengetahui dan mengawasi perkembangan implementasi Pasal 110A dan Pasal 11B tersebut.

Sawit

Selasa, 30 Agustus 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sejauh ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim telah menetapkan sebanyak 1.192 subjek hukum masuk dalam data dan informasi kegiatan usaha yang terbangun dalam kawasan hutan tanpa perizinan bidang kehutanan. Sebagian besar subjek hukum tersebut adalah korporasi.

Dari 1.192 subjek hukum itu, 24 subjek hukum disebut telah selesai diproses menggunakan Pasal 110A dan diberikan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan (PPKH). Selain itu, ada juga belasan subjek hukum lainnya yang disebut telah membayar denda administratif yang diatur Pasal 110A UU Cipta Kerja.

Itu semua diketahui saat KLHK memaparkan perkembangan penyelesaian kegiatan usaha ilegal dalam kawasan hutan, dalam Rapat Panja Komisi IV DPR RI, 22 Agustus 2022 lalu.

Transparansi perkembangan implementasi Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja ini belakangan menuai kritik. Sebab nyaris tidak ada cara bagi publik untuk mengetahui dan ikut mengawasi apa yang tengah dikerjakan KLHK tersebut.

Puluhan hektare lahan kawasan Hutan Produksi di Kotawaringin Barat (Kobar) Kalimantan Tengah rusak akibat penguasaan lahan dan pembukaan perkebunan sawit./Foto: Dok. Save Our Borneo

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng) Bayu Herinata mengatakan, data-data dan informasi terkait hasil kajian atau identifikasi kegiatan usaha dalam kawasan hutan tanpa izin kehutanan yang dilakukan KLHK masih belum terbuka, dan belum dibuka secara penuh kepada masyarakat sipil, khususnya masyarakat di tingkat tapak.

Padahal transparansi data tersebut sangat penting untuk memastikan proses penanganan penyelesaiannya berjalan secara partisipatif dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Penyelesaian kegiatan ilegal dalam kawasan hutan ini juga berpotensi menimbulkan konflik.

"Tidak terbuka dan tidak ada pelibatan pihak lain, selain pemerintah/KLHK. Karena kami yakini tidak sedikit lokasi yang "diputihkan" oleh KLHK ini terjadi dan berpotensi konflik di tingkat lapangan, terkait area yang diusulkan untuk dilepaskan status kawasan hutan oleh korporasi berada di atas kawasan kelola masyarakat," ujar Bayu, Senin (29/8/2022).

Bayu mengungkapkan, saat ini banyak sekali perusahaan di Kalteng yang menggunakan kesempatan pengampunan kegiatan ilegal di kawasan hutan sebagai peluang untuk mereka untuk mengusulkan area konsesi yang dikuasai menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), yang sebenarnya masih terdapat konflik di atas nya dengan masyarakat.

Belum lagi areal tersebut berada di atas kawasan penting seperti hutan alam tersisa atau gambut. Seharusnya kondisi dan fungsi ekosistem hutan ini juga menjadi pertimbangan KLHK, dalam melakukan pelepasan kawasan hutan.

"Kalau dilepaskan semua setelah bayar denda dengan alasan optimalisasi penerimaan negara, maka habislah hutan di Kalteng ini. Kondisi sudah darurat ekologis, bakalan banjir dengan karhutla teruslah dampaknya," kata Bayu.

Bayu mewanti-wanti, areal-areal kegiatan usaha yang "diputihkan" ini mestinya harus dilihat lagi kesesuaian lahannya dengan kebijakan di daerah, misalnya terkait pola ruang. Apakah pemberian izinnya sudah sesuai dan memastikan prosesnya berjalan sesuai tahapan atau tidak.

"Kami menyakini banyak izin di atas kawasan hutan yang ada di Kalteng yang terindikasi melanggar aturan kehutanan dan kebijakan baru misalnya UU Cipta Kerja malah mengakomodir untuk "pengampunan dosa" perusahaan yang berkegiatan ilegal di atas kawasan hutan tadi."

Bayu berpendapat, pemerintah seharusnya bisa membedakan tindakan yang digunakan, dalam hal penyelesaian kasus kegiatan ilegal dalam kawasan hutan. Untuk perusahaan yang sudah memiliki izin namun belum lengkap dan berada di kawasan hutan yang baru ditunjuk atau ditetapkan, dapat dikenakan denda administratif dan tindakan lainnya.

Akan tetapi untuk izin baru yang dikeluarkan dan tidak sesuai dengan peruntukan atau pola ruang serta terindikasi kuat melanggar aturan, maka tindakannya tidak hanya sanksi administratif berupa denda saja, tapi juga harus menyetuh tindakan lain, seperti penghentian atau pencabutan izin dan pemulihan lingkungan yang rusak akibat aktivitas ilegal di atas kawasan hutan.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian menyebut, sejauh ini nyaris tidak ada kerja-kerja yang terbuka dalam konteks implementasi Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja. Kalaupun publik akhirnya memperoleh informasi tentang perkembangan proses penyelesaian kegiatan ilegal dalam kawasan hutan, itu hanya terjadi ketika hal tersebut menjadi pembahasan di rapat-rapat kerja di DPR RI.

"Apalagi mengajak masyarakat sipil untuk ikut dalam prosesnya. Padahal banyak CSO (civil society organization) yang sudah sangat lama konsen dan mengadvokasi soal kejahatan kehutanan yang dilakukan korporasi. Data dan informasi yang dimiliki CSO juga lebih riil, karena melakukan kerja-kerja langsung di tapak," kata Uli, Sabtu (27/8/2022).

Mestinya, imbuh Uli, KLHK membuka seluas-luasnya data dan informasi perusahaan mana saja yang dikenakan Pasal 110A, dan mana perusahaan-perusahaan yang dikenakan Pasal 11B. Termasuk data tentang perizinan apa saja yang telah dimiliki masing-masing perusahaan, sehingga publik bisa ikut menilai kesesuaian pasal yang digunakan dalam proses penyelesaiannya.

"Benarkah sudah punya izinnya. Karena sampai sekarang, yang dibuka di publik itukan hanya SK berisi nama perusahaan, luasannya, dimana, pakai Pasal 110A atau 110B."

"Kita lihat di presentasi rapat panja KLHK dengan DPR RI, mereka (anggota DPR RI) banyak mempersoalkan perusahaan-perusahaan yang menggunakan modus berubah menjadi koperasi atau perseorangan," lanjut Uli.