LIPUTAN KHUSUS:
Potensi dan Biang Karhutla di Indonesia
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tinjauan terhadap kasus-kasus karhutla di masa lalu menguak berbagai masalah yang menjadi biang terjadinya karhutla di sejumlah wilayah di Indonesia.
Karhutla
Rabu, 31 Agustus 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Tinjauan terhadap kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di masa lalu menguak berbagai masalah yang menjadi biang terjadinya karhutla di sejumlah wilayah di Indonesia. Ada unsur kesengajaan yang terindikasi di balik kejadian karhutla.
Dalam kajiannya berjudul Waspada Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2022, Pantau Gambut menguraikan, bencana kebakaran hebat yang terjadi pada 2015 dan 2019, yang masing-masing seluas 2.646.089 hektare dan 1.645.702 hektare, sekitar 29 persen di antaranya terjadi di lahan gambut.
Meskipun luas kebakaran yang terjadi di lahan gambut lebih sedikit dibandingkan lahan non gambut, karhutla yang terjadi di area bergambut juga patut diperhatikan. Sebab, gambut memiliki simpanan karbon dalam jumlah yang sangat besar.
Apabila gambut dikeringkan, yang menyebabkan gambut terdegradasi, maka dapat mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton CO2 per tahun. Angka tersebut setara dengan membakar lebih dari enam ribu galon bensin. Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, 83,4 persen ekosistem gambut di Indonesia rusak dan perlu dipulihkan.
Jika pengeringan gambut dilanjutkan dengan pembersihan lahan menggunakan api, emisi yang dikeluarkan dari proses pembakaran gambut akan jauh lebih besar lagi dan dapat menyebabkan percepatan pemanasan global.
Berdasarkan data emisi yang dikeluarkan oleh KLHK, sektor kehutanan menjadi sektor penyumbang emisi terbesar di 2015 dan 2019. Total emisi yang dikeluarkan dari sektor kehutanan pada 2015 nilainya mencapai 1,5 juta Gg CO2 dan pada 2019 sebesar 923 ribu Gg CO2 yang mana nilai tersebut juga disumbang dari kebakaran hutan dan lahan gambut.
Areal dan Wilayah Rentan Karhutla
Tutupan lahan belukar rawa telah terbakar sekitar 574 ribu hektare selama periode tersebut. Tanah terbuka, perkebunan dan pertanian juga merupakan jenis tutupan lahan yang rawan mengalami kebakaran di periode 5 tahun tersebut, dengan angka luasan lahan terbakar lebih dari 100 ribu hektare.
Lebih jauh Pantau Gambut menguraikan, dari 4 tutupan lahan yang rentan terbakar, didapat hasil analisis area rentan terbakar terluas di Provinsi Riau, yaitu 2 juta hektare, disusul oleh Kalimantan Tengah, seluas 1,2 juta hektare.
Pantau Gambut melanjutkan analisa berdasarkan luasannya di masing-masing provinsi. Provinsi Riau memiliki area rentan terbakar terluas berdasarkan tutupan lahan seluas 2 juta hektare diikuti Kalimantan Tengah seluas 1,2 juta hektare.
Kasus karhutla di Riau dan Kalimantan Tengah harus mendapat perhatian lebih, sebab 2 provinsi tersebut merupakan provinsi langganan kebakaran gambut terbesar setiap tahunnya. Berdasarkan hasil rerata terhadap data kebakaran gambut milik KLHK tahun 2015 dan 2019, 14 persen area terbakar berada di Riau, 36 persen berada di Kalimantan Tengah, dan sisanya tersebar pada provinsi gambut lainnya.
Analisis lanjutan menunjukkan luas gambut terbakar dalam periode 2015-2019 sekitar 1.469.324 hektare. Yang mana sekitar 944.886 hektare atau 64 persen di antaranya, berada di luar konsesi. Angka 64 persen itu adalah luas keseluruhan lahan gambut yang terbakar di luar konsesi yang sebagian besar tersebar di 8 provinsi.
"Namun untuk beberapa provinsi seperti Jambi, Riau, Kalteng sebagian besar karhutla yang terjadi di atas lahan gambut, terjadi di dalam kawasan konsesi," kata Diani Nafitri, Analis GIS Pantau Gambut, dalam Media Briefing yang digelar secara virtual, Senin (29/8/2022).
Dugaan Kesengajaan di Balik Kejadian Kahutla
Diani menyebut, area konsesi tetap harus menjadi prioritas pengawasan, terutama dari hasil pantauan lapangan, terlihat kegiatan pemanfaatan gambut lindung untuk area industri ekstraktif dan area bekas terbakar yang belum direstorasi justru ditanami kembali dengan jenis tanaman sawit maupun akasia.
Hamparan tanaman akasia yang ditanam di areal bekas terbakar./Foto: Pantau Gambut
Pantau Gambut juga melakukan penelusuran lebih dalam pada area kebakaran yang terjadi di area non-konsesi. Hasilnya menunjukkan 18,4 persen kebakaran terdeteksi terjadi dalam radius 1 km dari batas terluar konsesi perusahaan yang berada di atas lahan gambut.
Temuan tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut dan diverifikasi menggunakan citra satelit. Penampakannya memperlihatkan lahan bekas terbakar pada radius 1 km dari konsesi itu ternyata mengalami perubahan, membentuk pola area perkebunan yang terstruktur dan rapi. Pola area perkebunan di atas lahan bekas terbakar itu beberapa di antaranya ditemukan Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Jambi.
"Perubahan pola ini mengindikasikan adanya aktivitas yang sengaja dilakukan untuk perluasan area perkebunan,” lanjut Diani.
Tinjauan Ancaman Karhutla di Riau
Sejak triwulan pertama 2022, sejumlah wilayah provinsi langganan karhutla seperti Riau, Kalimantan Tengah, Aceh, dan Kalimantan Barat terpantau menghasilkan titik panas.
Menurut data Kaliptra Andalas, luas lahan terbakar dalam periode 2015-2019 di Riau mencapai sekitar 432.427 hektare. Karhutla di Riau tersebut sebagian besar terjadi di areal bergambut, yang angkanya sekitar 317.235 hektare, dan sekitar 235.776 hektare di antaranya terindikasi berada di areal izin konsesi perusahaan.
Berdasarkan analisis data Nasa Firm Instrumen Modis, Satelit Aqua dan Terra, masih menurut data yang disajikan Kaliptra Andalas, sepanjang Januari hingga Agustus 2022, setidaknya ada 56 titik api--dengan tingkat kepercayaan 80-100 persen--terpantau berada di wilayah Riau.
Angka 56 titik panas itu termasuk 26 titik yang berada di areal bergambut, dan 12 titik panas di antaranya berada di areal gambut yang ada di dalam konsesi perusahaan. Rinciannya, 4 titik di areal PT Kilau Kemuning, 4 titik di PT Sumatera Riang Lestari, 2 Titik di PT Sondora Seraya dan 2 titik di PT Trisetya Usaha Mandiri.
Plt. Direktur Kaliptra Andalas, Teuku Ibrahim bilang, ada beberapa langkah yang harus diambil pemerintah mengatasi ancaman karhutla di Riau. Pertama, pemerintah harus lebih memperhatikan lagi kualitas dan kuantitas masyarakat peduli api (MPA) dan membuat atau memperkuat Peraturan Desa (Perdes) Karhutla.
Menurut Ibrahim, Perdes penting untuk diimplementasikan di tingkat desa. Karena bukan hanya perusahaan saja yang harus disadarkan terkait dengan karhutla, tetapi juga masyarakatnya untuk tidak membakar lahan.
"Tree Cover Lost (TCL) juga harus mendapatkan penanganan prioritas penanganan karena kebanyakan sumber api berasal dari area TCL,” katanya.
Mitigasi Karhutla di Jambi Masih Gagal
Di Sumatera, Jambi juga menjadi salah satu provinsi yang masuk dalam kategori darurat karhutla. Deputi Direktur Perkumpulan Hijau, Angga Septia menyebut, pada 2015 lalu luas karhutla di Jambi menyentuh angka 90.363 hektare dan sebagian besar terjadi di dalam areal izin Hutan Tanaman Industri.
Tahun ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi telah menetapkan status siaga karhutla, dengan total temuan titik panas mencapai 759 titik, dengan luasan lahan terbakar sebesar 62,95 hektare. Status tersebut berlaku mulai 24 Mei 2022 lalu hingga 30 November 2022 mendatang.
Dalam hal pencegahan karhutla, Pemprov juga mendorong teknologi atas siaga karhutla. Salah satunya bekerja sama dengan BRGM dan KLHK. Di tahun-tahun sebelumnya pemerintah juga sudah membentuk satuan tugas dan tim penanggulangan karhutla lainnya. Akan tetapi karhutla masih saja terjadi.
Lahan terbakar di Jambi./Foto: Pantau Gambut
Angga menyimpulkan, pemerintah masih belum serius melihat karhutla sebagai ancaman. Kemudian monitoring dan evaluasi di tingkat tapak, terhadap kebakaran berulang, baik itu di dalam konsesi maupun masyarakat juga tidak ada.
“Wujud ketidakseriusan pemerintah dalam menangani karhutla dapat dilihat dari hanya dilakukannya antisipasi tanpa adanya proses mitigasi, sehingga karhutla terus berulang. Penanganan karhutla juga terkesan lambat karena adanya saling lempar kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan karhutla,” ujar Angga.
Selain itu, pemerintah juga cenderung melihat karhutla dari sisi musim saja, tetapi tidak bicara Komitmen dan mengabaikan perintah Pemulihan di wilayah Kebakaran Berulang, berdasarkan UU 32/2009 dan PP 71/2014 Jo. PP 57/2016.
Lahan Gambut di Kalbar Masih Rentan Terbakar
Ancaman karhutla juga di Kalimantan Barat (Kalbar) juga cukup besar. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat, pada 2015 jumlah titik api yang terpantau di Kalbar jumlahnya sekitar 13.468 titik, dan di tahun-tahun berikutnya titik-titik api itu masih terus bermunculan, yang menandakan kebakaran terus terjadi berulang di provinsi itu.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Nikodemus Ale mengatakan, kerentanan karhutla di Kalbar besar, apalagi luas gambut di Kalbar mencapai 1,6 juta hektare, dan dari 124 Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) yang ada di Kalbar, baru 17 KHG saja yang sudah diintervensi.
Sejauh ini 5 dari 124 KHG itu memiliki riwayat kebakaran, yakni KHG Sungai Pawan-Sungai Tolak, KHG Sungai Durian-Sungai Kualan, KHG Sungai Tolak-Sungai Siduk yang ada di Kabupaten Kayong Utara, kemudian dua KGH lainnya KHG Sungai Matan-Sungai Semandang dan KHG Sungai Matan-Sungai Rantau Panjang yang berada di Kabupaten Ketapang.
Walhi Kalbar melakukan pemantauan terhadap pembuatan infrastruktur pembasahan gambut (IPG) di 5 areal konsesi perusahaan, yaitu PT Golden Youth, PT Jalin Vaneo, PT Kayong Agro Lestari, PT Kalimantan Agro Pusaka dan PT Sinar Karya Mandiri. Hasilnya dua perusahaan di antaranya diketahui tidak membangun IPG.
Sedangkan hasil pantauan IPG di 9 desa di Kalbar menunjukkan 12 unit IPG mengalami rusak berat dan 1 unit sekat kanal hanya ditemukan plang dengan tidak ada fisik bangunan sekat dan tidak ada kanalnya.
Dari berbagai temuan di lapangan itu, Walhi Kalbar menilai, para pemegang hak konsesi bisa dianggap tidak memiliki atau memiliki kepatuhan melaksanakan mandat pemulihan atau restorasi ekosistem gambut yang rusak akibat karhutla yang rendah.
Kondisi Infrastruktur Pembahasan Gambut (IPG) di Kalbar./Foto: Walhi Kalbar
Penilaian tersebut salah satunya didasarkan pada fakta bahwa pemegang hak konsesi tidak pernah memberikan laporan kepada dinas terkait dalam melakukan kegiatan pemulihan atau restorasi, karena lemahnya pengawasan dari dinas terkait.
"Bahkan, dari 2015 sampai 2018, tidak ada satupun kebakaran yang terjadi area konsesi yang dijangkau oleh hukum. Untuk penegakan hukum karhutla yang ada di kawasan konsesi di Kalimantan Barat, jauh panggang dari api. Padahal, kalau peladang langsung masuk hukum,” kata Ale.
Kasus Karhutla di Kalteng dan Penegakan Hukumnya
Di Kalimantan Tengah (Kalteng) bencana ekologis pada periode 2015 hingga 2021 meningkat secara signifikan. Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Bayu Herinata menyebut, itu terjadi akibat lalainya pencegahan dan penanggulangan.
Bayu menganggap, pemberian izin pemanfaatan ruang kepada perusahaan besar adalah salah satu akar bencana karhutla, termasuk di Kalteng. Yang mana karhutla terjadi akibat degradasi lingkungan di kawasan berkategori lindung atau ekosistem penting seperti hutan dan gambut.
“Karhutla muncul dari pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dan tidak melihat aspek lingkungan. Sehingga, aktivitas yang berkontribusi terhadap degradasi lingkungan banyak dilakukan, seperti pembuatan kanal," hemat Bayu.
Penegakan hukum juga menjadi catatan Bayu. Menurutnya, koordinasi antar-instansi penegak hukum masih lemah, sehingga memperlemah proses penegakan hukum.
Di Kalteng, sejumlah kasus karhutla korporasi telah diproses secara hukum dan sudah ada vonisnya, seperti kasus PT Arjuna Utama Sawit (AUS) yang diganjar bayar ganti rugi kerusakan lingkungan senilai sekitar Rp115 miliar serta biaya pemulihan lingkungan senilai Rp227 miliar, dan PT Kalimantan Lestari Mandiri yang divonis bayar ganti rugi kerusakan lingkungan Rp89 miliar dan biaya pemulihan sebesar Rp210 miliar.
Selain dua kasus korporasi itu, ada pula kasus karhutla korporasi lain yang tengah berproses, yakni kasus PT Kumai Sentosa yang digugat membayar sekitar Rp175 miliar oleh KLHK.
Tampak dari ketinggian areal konsesi perkebunan sawit PT Kumai Sentosa terbakar./Foto: Gakkum
Bayu melihat, ada beberapa persoalan yang muncul dalam perjalanan penanganan kasus karhutla di Kalteng, seperti pelaksanaan eksekusi kewenangan ketua pengadilan negeri, dan lambatnya penerimaan relaas pemberitahuan isi putusan dan salinan dokumen putusan.
Masalah lainnya, adanya perlawanan dari pihak perusahaan berupa pengajuan peninjauan kembali, penundaan pelaksanaan eksekusi karena adanya peluang hukum yang bisa dilakukan oleh termohon dan gugatan balik dari pihak termohon.
Walau begitu, Bayu masih berharap agar penegakan hukum terus dilakukan dan menjerat pelaku karhutla, terutama perusahaan nakal.
"Penegakan hukum harus bisa lebih menyasar kepada entitas yang lebih besar dan tidak hanya pada kelompok masyarakat yang lebih kecil,” kata Bayu.
Bayu juga memberi beberapa nasihat kepada pemerintah agar karhutla bisa sedikit teratasi, misalnya melakukan evaluasi terhadap perizinan bagi korporasi dalam penguasaan dan menghentikan konversi gambut untuk industri dan proyek lahan skala besar.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan, awal datangnya musim kemarau 2022 di Indonesia terjadi pada periode April-Juni dan memasuki puncak musim kemarau pada Juni hingga September.
BMKG juga mengingatkan, ancaman karhutla di 2022 akan lebih tinggi dibandingkan 2021 lalu, dikarenakan musim kemarau yang lebih kering pada sebagian besar wilayah Indonesia dibandingkan 2021 lalu.