LIPUTAN KHUSUS:
Papua Barat: Putusan PTTUN Makassar Resahkan Masyarakat Adat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Putusan PTTUN Makassar membuat masyarakat adat di Distrik Konda, Distrik Teminabuan, Distrik Wayer dan Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan (Sorsel) gelisah.
Masyarakat Adat
Senin, 05 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar, tentang Rapat Majelis Hakim PTTUN Makassar pada 10 Agustus 2022, yang mengabulkan permohonan banding perusahaan PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) dan PT Persada Utama Agromulia (PUA), membuat masyarakat adat di Distrik Konda, Distrik Teminabuan, Distrik Wayer dan Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan (Sorsel) gelisah.
Mereka resah dan khawatir putusan majelis hakim ini akan menjadi pembenaran bagi kedua perusahaan tersebut untuk dapat kembali beroperasi, dan merampas tanah serta hutan adat Suku Tehit, Suku Gemna, Suku Kais dan Suku Maybrat. Pasalnya, kedua perusahaan ini beroperasi di dalam wilayah hak ulayat suku-suku tersebut. Bila ditotal, keseluruhan luas konsesi dua perusahaan itu diperkirakan sebesar 62.000 hektare.
“Kitorang punya hutan hanya sepanggal, cukup untuk kehidupan manusia di kampung saja. Kalau perusahaan diberi izin untuk ambil hutan lagi, maka masyarakat hidup bagaimana dan dari mana?” keluh Yulian Kareth, tokoh masyarakat adat Suku Afsya dari Kampung Mbariat, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan.
Wilayah hidup masyarakat adat di Kampung Mbariat berada di atas urat tanah kawasan hutan di daratan Kali Bariat hingga ke daerah rawa dan hutan mangrove di sepanjang Kali Kaibus. luasnya 3.196 hektare.
Lebih dari separuh wilayah adat mereka menjadi sasaran perusahaan PT ASI. Suku Gemna dan sub suku Mlakya secara formal memburaskan situasi ini melalui sidang adat.
Pertimbangan hukum majelis hakim yang disampaikan adalah seputar pertimbangan yuridis dari aspek prosedural. Antara lain seperti tenggang waktu pengajuan gugatan, prosedur penerbitan putusan, proses tahapan pemberian sanksi, kesalahan penulisan dan lain sebagainya.
Pertimbangan tersebut dirasa belum cukup adil, tidak mempertimbangkan suara masyarakat adat. Putusan ini justru mengundang sikap miring terhadap negara, lembaga peradilan dan perusahaan, dikarenakan beresiko menimbulkan kerugian dan hilangnya hak rakyat.
Sebagaimana terungkap, keputusan Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mencabut izin perusahaan-perusahaan ini dikarenakan adanya kerugian negara dan keinginan untuk meminta perusahaan bertanggung jawab.
Pemerintah berniat mencari perusahaan yang terindikasi mengangkut hasil hutan kayu dan yang mensertifikatkan tanah untuk kepentingan perusahaan mendapatkan uang, dan merugikan negara. Pemerintah akan meminta perusahaan untuk mengembalikan atau mempertanggungjawabkan kerugian daerah.
Hal tersebut diungkapkan Yohan Hendrik Kokorule, Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Sorong Selatan, setelah pemerintah mencabut izin usaha empat perusahaan perkebunan di daerah Sorong Selatan, yakni PT Anugerah Sakti Internusa, PT Persada Utama Agromulia, PT Internusa Jaya Sejahtera dan PT Varia Mitra Andalan.
“Ini tidak akan terulang lagi. Karena perusahaan kelapa sawit, bisnis mereka ilegal,” kata Yohan Hendrik Kokorule, di hadapan ratusan masyarakat adat yang melakukan aksi protes pada 20 Mei 2021.
Akan tetapi, dua perusahaan tersebut, PT ASI dan PT PUA, anak perusahaan Indonusa Agromulia Group, menggugat putusan bupati tentang pencabutan izin melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada tanggal 29 Desember 2021. Masing-masing penggugat yakni PT Anugerah Sakti Internusa, dengan register perkara Nomor 45/G/2021/PTUN.JPR, dan PT Persada Utama Agromulia dengan register perkara Nomor 46/G/2021/PTUN.JPR.
Perusahaan menuntut agar keputusan Bupati Sorsel itu dinyatakan batal atau tidak sah. Perusahaan berdalil, keputusan bupati yang mencabut izin perusahaan telah merugikan kepentingan perusahaan.
Kerugian dimaksud antara lain perusahaan tidak dapat melanjutkan kegiatan usaha perkebunan, terhentinya perundingan dan pembicaraan dengan pihak perbankan yang akan membiayai investasi, terganggunya kepentingan ekonomi masyarakat, dan juga kerugian besar karena mengeluarkan biaya pengurusan perizinan.
"Dalil ini bertolak belakang dengan realitas sosial dan tuntutan masyarakat dalam aksi protes yang menolak keberadaan dan rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit, sejak sosialisasi pemerintah daerah dan tim evaluasi perizinan, yang hasilnya menemukan adanya kerugian negara," ujar Fangky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Selain itu perusahaan-perusahaan itu diketahui tidak memenuhi kewajibannya, seperti memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling lambat tiga tahun, dan pelanggaran administrasi penerbitan izin usaha perkebunan tanpa izin lingkungan, serta kejanggalan administrasi lainnya.
Demikian pula, keterangan saksi di PTUN Jayapura, Frans Salmon Thesia, pejabat Kepala Distrik Teminabuan dan juga pemilik hak ulayat. Frans mengatakan tidak pernah kenal dan tidak pernah tahu aktivitas perusahaan. Dirinya tidak pernah tahu ada pemilik hak ulayat yang melepaskan tanahnya kepada perusahaan tersebut.
Menurut pendapat ahli Victor T.H. Manengkey, S.H., M.H., terkait kepentingan masyarakat, putusan bupati tentang pencabutan izin sebetulnya upaya menyelamatkan bukan hanya masyarakat setempat, tetapi menyelamatkan lingkungan hidup yang ada di tempat itu.
Majelis Hakim PTUN Jayapura berpendapat, pengajuan gugatan perusahaan telah melampaui waktu 90 hari kerja sejak hasil upaya administratif diterima penggugat. Sesuai Pasal 5 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan setelah menempuh upaya administratif. Majelis Hakim PTUN Jayapura (23 Mei 2022) menyatakan gugatan penggugat tidak diterima.
"Lembaga peradilan idealnya haruslah menghasilkan putusan dan pertimbangan yang adil, mengutamakan keadilan, kebenaran, dan kepentingan perlindungan rakyat banyak dan keberlanjutan lingkungan," imbuh Fangky.