LIPUTAN KHUSUS:

2021: Subsidi Global Untuk Energi Fosil Naik Dua Kali Lipat


Penulis : Tim Betahita

Subsidi global untuk bahan bakar fosil diperkirakan akan kembali meningkat, di tengah-tengah keuntungan besar yang dinikmati korporasi.

Energi

Rabu, 07 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Analisis terbaru mengungkap, subsidi global untuk bahan bakar fosil meningkat hampir dua kali lipat pada 2021, sebesar $700 miliar. Masifnya angka tersebut dinilai akan menjadi penghalang untuk mengatasi krisis iklim. 

Meskipun perusahaan bahan bakar fosil terus mendulang profit besar, angka subsidi melonjak lantaran pemerintah berusaha melindungi warga dari lonjakan harga energi pada masa pemulihan ekonomi global dari pandemi Covid-19. 

Sebagian besar subsidi digunakan untuk mengurangi harga yang harus dibayar konsumen. Namun, mayoritas manfaatnya dinikmati rumah tangga yang lebih kaya karena mereka menggunakan energi paling banyak. Sementara itu rumah tangga miskin tidak mengenai target. Subsidi diperkirakan akan meningkat lebih besar pada 2022 karena perang Rusia di Ukraina telah mendorong harga energi lebih tinggi. 

“Subsidi bahan bakar fosil merupakan penghalang jalan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, tetapi kesulitan yang dihadapi pemerintah untuk menghapus kebijakan ini harus digarisbawahi ketika harga bahan bakar tinggi dan fluktuatif,” kata Fatih Birol, direktur International Energy Agency (IEA), yang membuat analisis tersebut bersama OECD. 

Etienne Stott (duduk, kiri) dan aktivis XR lainnya di atas kapal tanker minyak di Bayswater, London./Foto: Vuk Valcic/Zuma Press Wire/Rex/Shutterstock

“Lonjakan investasi dalam teknologi dan infrastruktur energi bersih adalah satu-satunya solusi abadi untuk krisis energi global saat ini dan cara terbaik untuk mengurangi paparan konsumen terhadap biaya bahan bakar yang tinggi,” kata Birol. 

“Peningkatan yang signifikan dalam subsidi bahan bakar fosil mendorong konsumsi yang boros, sementara belum tentu menjangkau rumah tangga berpenghasilan rendah,” kata Mathias Cormann, sekretaris jenderal OECD.

“Kita perlu mengadopsi langkah-langkah yang melindungi konsumen [dan] membantu kita tetap di jalur netralitas karbon, serta keamanan dan keterjangkauan energi.” 

Analisis tersebut mencakup 51 negara kunci dan merepresentasikan 85% dari total pasokan energi global. Subsidi yang membuat harga bahan bakar fosil tetap rendah secara artifisial meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi $531 miliar pada 2021, dibandingkan dengan tahun 2020. Subsidi untuk produksi minyak dan gas mencapai rekor level $64 miliar. IEA menyatakan pada Mei 2021 bahwa tidak boleh ada proyek bahan bakar fosil baru jika dunia ingin memenuhi tujuan iklimnya. 

“Periode melonjaknya harga energi bahan bakar fosil, ketika perusahaan minyak dan gas membukukan rekor laba, seharusnya menjadi waktu yang ideal bagi pemerintah untuk menghapus subsidi produksi bahan bakar fosil – jadi melihat meningkatnya dukungan pemerintah untuk bahan bakar fosil sekarang sangat menyebalkan,” kata Gyorgy Dallos, aktivis dari Greenpeace Internasional. 

“Pemerintah harus menepati komitmen hijau mereka. Di sisi konsumen, pemerintah harus mengganti langkah dengan menargetkan rumah tangga yang mengalami kemiskinan bahan bakar,” tambahnya. 

Pada 2009, negara G20 setuju untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil yang “tidak efisien” secara bertahap dan, pada tahun 2016, G7 menetapkan batas waktu pada 2025. Namun hingga saat ini hanya sedikit kemajuan yang dicapai. 

Total $697 miliar mencakup subsidi eksplisit, termasuk pengurangan harga, pendanaan pemerintah, dan keringanan pajak. Perkiraan termasuk subsidi implisit, yaitu biaya kerusakan iklim dan polusi udara yang disebabkan oleh bahan bakar fosil, jauh lebih tinggi. Menurut Dana Moneter Internasional, angkanya mencapai$5,9 triliun pada 2020, atau $11 juta per menit. 

Krisis energi terbukti sangat menguntungkan bagi perusahaan minyak, bahkan tanpa subsidi. Dalam enam bulan pertama tahun 2022, lima perusahaan terkemuka – British Petroleum (BP), Shell, ExxonMobil, Chevron, dan Total – menghasilkan laba yang disesuaikan hampir $100 miliar. Angka tersebut adalah jumlah yang sama dengan yang dijanjikan negara kaya kepada negara miskin untuk membantu mengatasi krisis iklim pada tahun 2020, namun gagal dipenuhi.