LIPUTAN KHUSUS:

Kuasa Sawit Malaysia di Indonesia


Penulis : Aryo Bhawono dan Raden Ariyo Wicaksono

Korporasi sawit Malaysia mendapat sokongan lembaga pendanaan milik pemerintah Malaysia. Kini negara tersebut duduk sebagai salah satu penguasa sawit di Indonesia.

Sawit

Selasa, 13 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Koalisi organisasi nirlaba, Forest and Finance, mencatat Malaysia menduduki urutan tiga besar investor yang dinilai berisiko terhadap kerusakan hutan di Asia Tenggara, termasuk sawit. Nilai total 10 besar investasi mencapai USD 26,6 miliar. Di mana investornya adalah Pemerintah Malaysia, manajer aset Amerika Serikat, dana pensiun Jepang dan Korea Selatan, Singapura, serta Hong Kong.

Tiga lembaga negara Malaysia di puncak investasi itu adalah Permodalan Nasional Berhad (PNB) senilai 5,6 miliar Dolar AS, Employees Provident Fund (EPF) senilai 4,1 miliar Dollar AS, dan Kumpulan Wang Persaraan (KWAP/ Perkumpulan Dana Pensiun) senilai 1,3 miliar Dolar AS. Mayoritas investasi mereka pada sektor perkebunan sawit.

PNB merupakan perusahaan manajemen modal terbesar di Malaysia. Sedangkan EPF merupakan badan hukum federal penyedia dana pensiun karyawan di bawah kementerian keuangan Malaysia. Dan KWAP merupakan lembaga pengelola dana pensiun.

Selain menguasai puncak 10 besar, masih terdapat Lembaga Kemajuan Tanah Persekutuan (FELDA) dengan nilai investasi 1,1 miliar Dolar AS.

Area perkebunan dan pabrik kelapa sawit milik PT Eagle High Plantations (BWPT). Foto: BWPT

Jejak investasi Malaysia ini tergambar jelas di Indonesia. Pendanaan ini mampu mendudukkan korporasi besar Malaysia untuk menjadi penguasa sawit di Indonesia. Dominasi ini terjadi mulai dari hulu hingga hilir dengan penguasaan lahan sawit yang cukup besar.

Data yang diolah oleh Yayasan Auriga Nusantara mencatat setidaknya ada 13 grup perusahaan besar yang terindikasi berbendera Malaysia--terdaftar berkantor pusat di Malaysia dan/atau dimiliki oleh perusahaan-perusahaan atau warga negara Malaysia--yang menguasai sekitar 671 ribu hektare konsesi perkebunan sawit di Indonesia.

Grup perusahaan sawit Malaysia itu adalah Anglo Eastern Plantation, CB Industrial Product Holding Berhad, Eagle High Plantations, Felda, Genting Plantations, IJM Plantations Berhad, KPN Corp, Kuala Lumpur Kepong (KLK) Berhad, Sime Darby, TDM Berhad, TSH Resources, United Malacca Berhad dan Wilmar.

Konsesi sawit milik korporasi asal Negeri Jiran berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU) tersebar di 17 provinsi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Olah data menunjukkan luas total HGU sawit Malaysia di Indonesia itu sekitar 306 ribu hektar, diantaranya berupa lahan dengan Fungsi Ekosistem Gambut.

Kemudian, berdasarkan analisis data kebakaran, terindikasi adanya sekitar 20 ribu hektare areal yang terbakar di dalam areal HGU sawit Malaysia itu dalam rentang waktu 2015-2019.

Sementara menurut perhitungan data Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan (PPKH), setidaknya ada sekitar 725 ribu hektar kawasan hutan yang dilepaskan untuk perkebunan sawit milik 14 grup perusahaan besar Malaysia. Kawasan untuk perusahaan sawit Malaysia ini tersebar di 15 provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Sebanyak 14 group perusahaan itu yakni, Anglo Eastern Plantation, Berkala Maju Bersama, CWK Holdings, Eagle High Plantations, Genting Plantations, IOI Corporation, KPN Corp, Kuala Lumpur Kepong, Sime Darby, Trurich Resources, TSH Resources, United Plantations, Wilmar dan YPK Holdings.

Di dalam areal pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit Malaysia itu, terdapat Fungsi Ekosistem Gambut yang luasnya sekitar 272 ribu hektare.

Analisis lebih lanjut mengindikasikan adanya areal terbakar seluas sekitar 9.368 hektare di areal pelepasan kawasan hutan perusahaan-perusahaan sawit Malaysia itu. Lahan terbakar itu teridentifikasi pada rentang waktu 2015 hingga 2019.

Jejak tiga lembaga investasi Malaysia di puncak investor yang merisikokan kerusakan hutan di Asia Tenggara, PNB, EPF (KWSP), dan KWAP, nampak di korporasi Malaysia yang memiliki konsesi perkebunan di Indonesia. Penelusuran secara acak terhadap grup korporasi sawit asal Malaysia menunjukkan ketiganya sebagai pemilik saham.

Situs milik Sime Darby Berhad sendiri menuliskan per Februari 2022, PNB menjadi pemilik saham mayoritas perusahaan itu dengan saham sebanyak 55,67 persen. Sedangkan EPF memegang saham 9,1 persen dan KWAP sebanyak 7,1 persen.

Jejak yang sama juga dapat dilihat dalam Annual Report Genting Plantation 2021. Substantial shareholder perusahaan itu mencatat EPF memiliki 12,5 persen saham dan KWAP memiliki saham 7,3 persen.

Materi presentasi investor milik IOI Corporation Berhad mencantumkan EPF sebagai pemilik 13,2 persen saham. Dan Data Financial Times atas kepemilikan saham per 31 Desember 2021-30 Agustus 2022 mencatat PNB menjadi pemilik 4,9 persen saham Kuala Lumpur Kepong (KLK) Berhad.

Dukungan investasi ini sejalan dengan ekspansi perusahaan Malaysia untuk memperluas perkebunan di Indonesia. Awal menjamurnya kebun sawit Malaysia di tanah air bermula saat krisis moneter pada 1997-1998. Syarat pinjaman yang didapat Indonesia dari Dana Moneter Internasional (IMF) adalah membuka investasi asing di beberapa sektor, termasuk perkebunan kelapa sawit.

Pada masa Orde Baru, sektor kebun sawit dibatasi dari penanaman modal asing. Komposisi penguasaan sawit terbesar dipegang mulai dari Badan Usaha Milik Negara, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), perkebunan besar swasta, dan perkebunan sawit rakyat.

Namun, saat krisis, pemerintah menjual dan melelang aset yang bermasalah. Perusahaan milik negeri jiran itu pun ikut mengakuisisi perusahaan sawit seperti PTPN.

Desentralisasi memudahkan perusahaan Malaysia melakukan ekspansi, karena adanya pelimpahan kewenangan perizinan sektor sawit ke daerah. Peluang ini segera dimanfaatkan. Bermodalkan industri yang telah mapan dan penguasaan pasar dari hulu ke hilir, Malaysia pun melakukan ekspansi di Indonesia pada 2000-an.

Misalnya saja Genting Plantation Berhad, mereka menuliskan dalam sejarah perusahaannya, mulai melakukan ekspansi ke Kalimantan Barat, Indonesia pada 2005. Perusahaan yang mulai melantai di bursa Malaysia pada 1982 ini kemudian terus memperluas lahan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah pada 2008. Pada 2017 mereka juga mengembangkan perkebunan di Kalimantan Selatan.

IOI Group juga melakukan ekspansi ke Indonesia setelah melakukan joint venture dengan Harita Group di Kalimantan pada 2007.

Namun beberapa korporasi sawit besar Negeri Jiran itu sudah mulai menapak di Indonesia sejak masa orde baru. KLK Plantation misalnya, mulai berinvestasi di Indonesia pada 1994 dengan membeli lahan perkebunan di Pulau Belitung dan kemudian merambah ke Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan. Perkebunan Grup di Indonesia kira-kira berukuran sama dengan perkebunan Malaysia. Investasi KLK di Indonesia direncanakan untuk berkembang lebih jauh dengan pendirian pabrik oleokimia pertamanya di Dumai.

Sedangkan Sime Darby, dalam catatan website Majalah Sawit Indonesia, menapak di Indonesia sejak 1988 dengan mengakuisisi 23 lahan perkebunan milik Salim Group seluas 256.000 hektare. Setidaknya pada 2014, mereka telah memiliki lahan seluas 288.057 hektare yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, sebanyak 209.391 hektare telah tertanam dengan produksi Tandan Buah Segar (TBS) sebanyak 3,9 juta ton dan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 800.000 ton.

Ekspansi korporasi sawit Malaysia terus berlanjut. Pada 2015 lalu, Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak mengatakan, perusahaan perkebunan Malaysia Felda Global Venture (FGV) berencana membeli lahan seluas 420 ribu hektare di Papua.

Perusahaan ini akan bekerja sama dengan beberapa perkebunan di Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan pekebun Felda yang menghadapi masalah kekurangan lahan baru.

"Ia dalam peringkat cadangan untuk pengambilalihan Eagle High Plantation (EHP) dan kita menerima cadangan dari pemegang saham FGV yang sebelumnya memutuskannya. Di antaranya Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP), Lembaga Tabung Haji, Kumpulan Wang Diperbadankan (KWAP), dan Pemerintah Negeri Pahang,” ucap dia kala itu.

Catatan keuntungan atas perkebunan Sawit yang diraup oleh perusahaan-perusahaan asal Malaysia tersebut pun terbilang cuan. Borneo Network, salah satu media Malaysia, mencatat Laba Bersih hingga dihasilkan Sime Darby Plantation Bhd (SDP) pada akhir Juni 2022 mencapai 812 juta RM. Jumlah ini naik sebesar 32 persen dibandingkan pada kuartal sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 617 juta RM.

Dikutip dari BHarian, Kuala Lumpur Kepong Bhd (KLK) mencatatkan laba bersih 599,3 juta RM pada akhir 2021 lalu. Pada tahun sebelumnya mereka mencatatkan keuntungan 357,4 juta RM. Sedangkan Sedangkan laba bersih Genting Plantation Bhd pada 31 Maret 2022, melonjak menjadi 116,64 juta RM dari 63,73 juta RM pada kuartal yang sama tahun lalu.

Catatan keuntungan ini seiring dengan duduknya Malaysia sebagai negara pemasok sawit terbesar kedua dunia. Namun apakah uang yang mengalir deras dari bisnis sawit ini masuk ke pendapatan negara Malaysia? Mengingat lembaga pendanaan pemerintah turut ambil bagian dalam investasi perkebunan sawit di Indonesia.

Sedangkan Kedutaan Besar Malaysia tak bersedia memberikan penjelasan atas hal ini.