LIPUTAN KHUSUS:

Gajah Mati, Tanda Habitat di Bentang Alam Seblat Terancam


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Kematian gajah ini menandakan bahwa habitat gajah sumatera di Bentang Alam Seblat tidak baik-baik saja, dan terancam.

Biodiversitas

Kamis, 15 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Seekor gajah sumatera (Elephas Maximus sumatranus) betina ditemukan mati di Kawasan Hutan Produksi (HP) Air Rami, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Saat ditemukan, gajah yang telah dipasangi GPS Collar tersebut telah menjadi tulang belulang. Kematian gajah ini menandakan bahwa habitat gajah sumatera di Bentang Alam Seblat tidak baik-baik saja, dan terancam.

Temuan gajah mati ini awalnya diketahui saat tim patroli Konsorsium Bentang Alam Seblat melakukan pemantauan pergerakan gajah pada 11 September 2022 lalu. Berdasarkan data GPS Collar, titik posisi gajah tidak bergerak sejak 20 Agustus 2022. Hal ini baru diketahui ketika tim patroli akan melaksanakan kegiatan patroli.

Pada hari ketiga, tepatnya Selasa, 13 September 2022, pukul 09.45 WIB tim patroli menemukan bangkai gajah tersebut di wilayah HP Air Rami dengan koordinat 47 M X 808892 Y 9671611. Lokasi temuan gajah mati ini berada di dalam areal kerja Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT Anugerah Pratama Inspirasi (ASI).

Kondisi gajah tinggal tulang belulang dengan GPS Collar yang berada ditumpukan tulang tengkorak. Belum diketahui dengan jelas apa yang menjadi penyebab pasti kematian gajah berkalung GPS Collar tersebut.

Gajah sumatera betina ditemukan mati dan telah jadi tulang belulang di areal kerja PT ASI, di Bentang Alam Seblat, Bengkulu./Foto: Konsorsium Bentang Alam Seblat.

Namun di sekitar lokasi kematian gajah, wilayah hutan di Bentang Alam Seblat yang masuk dalam kawasan HP Air rami ini ditemukan beberapa titik telah terbuka, ada beberapa wilayah yang baru dibuka, sementara wilayah lainnya sudah mulai digarap menjadi perkebunan.

Penanggung jawab Konsorsium Bentang Alam Seblat, Ali Akbar menyatakan jika situasi habitat masih seperti sekarang maka pelestarian gajah sumatera di Bentang Alam Seblat tidak akan terwujud.

Ali mengaku sduah setahun lebih pihaknya berjibaku mencoba menyelamatkan habitat dan populasi tersisa gajah di Bentang Alam Seblat, patroli setiap bulan, meningkatkan kesadaran komunitas atas pentingnya fungsi satwa serta membangun kerjasama dengan para pihak juga telah dilaksanakan.

"Kejadian ini merupakan pukulan balik yang menyakitkan bagi kami," kata Ali Akbar.

Ia menambahkan, pembukaan lahan di kawasan Bentang Alam Seblat akan berdampak terhadap populasi gajah yang jumlahnya sedikit.

"Jika gajah di kawasan ini punah, maka kita semua akan menerima ancaman yang lebih besar yakni bencana alam” katanya.

Menurut Ali, berdasarkan hasil analisis tutupan hutan di kawasan bentang alam seblat yang dilakukan oleh Konsorsium Bentang Alam seblat yang terdiri dari Kanopi Hijau Indonesia, Genesis Bengkulu dan Lingkar Inisiatif Indonesia, dalam kurun waktu 2020-2022, seluas 6.350 hektare hutan alami Kawasan Bentang Alam Seblat porak poranda dirambah.

"Upaya pelestarian gajah sumatera dengan populasi tidak lebih dari 50 ekor semakin sulit untuk dilakukan. Ancaman keselamatan habitat gajah terus menerus terjadi."

Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Dony Gunaryadi mengatakan temuan ini menandakan upaya yang dilakukan dalam pelestarian gajah Sumatera kurang maksimal. Gajah yang dipasang GPS Collar tersebut membantu mendeteksi konflik antara manusia dan gajah.

Namun apa daya gajah tersebut mati di wilayahnya sendiri lanjutnya. Donny juga menambahkan pihak FKGI akan meminta keseriusan dari aparat yang berwenang untuk mengusut penyebab kematian gajah tersebut.

Gajah betina yang mati ini tercatat dilengkapi GPS Collar sejak 25 November 2020. Saat dipasang alat tersebut, gajah betina ini berusia sekitar 30 tahun. Gajah yang dipasang kalung GPS ini akan memberikan informasi titik koordinat keberadaanya dengan periode yang telah diatur setiap 6 jam sekali melalui satelit dan secara otomatis dapat dipantau dan diunduh lokasinya melalui aplikasi tracker bawaan secara online.

Langkah ini dilakukan dengan beberapa tujuan, selain untuk dapat mengetahui lebih rinci pola pergerakan harian kelompok gajah ini dari waktu ke waktu, juga dapat menjadi sistem peringatan dini dalam upaya pencegahan dan penanggulangan konflik gajah dengan manusia. Selain itu, data pergerakan gajah ini akan menjadi informasi penting tentang pola penggunaan ruang oleh kelompok gajah ini.

Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu. Upaya konfirmasi yang dilakukan belum membuahkan hasil apapun.

Kondisi habitat gajah sumatera di Bentang Alam Seblat yang rusak dan terfragmentasi ini sepertinya bertolak belakang dengan pernyataan Menteri LHK Siti Nurbaya dalam penandatanganan MoU antara RI dan Norwegia 12 September kemarin.

Yang mana dalam pernyataan resminya, Siti Nurbaya menyebut Indonesia terus berupaya melakukan restorasi lingkungan dengan tetap membangun prinsip-prinsip kelestarian lingkungan dan terus menerapkan prinsip-prinsip hijau.

Yang di antaranya adalah penataan habitat satwa liar yang terfragmentasi akibat izin konsesi yang lalu dan penegakan hukum yang lebih sistematis dan intensif.

Bila berkaca dari kondisi Bentang Alam Seblat, fragmentasi habitat gajah di sana cukup mengancam populasi. Di satu sisi, habitat gajah tersebut telah dikuasai oleh perkebunan sawit swasta skala besar, maupun konsesi kehutanan. Di sisi lain perambahan dan alih fungsi lahan ilegal di habitat tersebut seolah tak terbendung.