LIPUTAN KHUSUS:
Hutan Mangrove di Bali Terancam Pembangunan Terminal LNG
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Selain menghancurkan hutan mangrove, proyek tersebut juga akan mengancam keberadaan 6 tepat suci di Desa Adat Intaran.
Ekosistem
Jumat, 23 September 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Rencana pembangunan Terminal LNG Sidakarya yang masuk pada kawasan mangrove Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai dan pesisir Sanur, Bali, mendapat penolakan dari masyarakat. Selain menghancurkan hutan mangrove, proyek tersebut juga akan mengancam keberadaan 6 tepat suci di Desa Adat Intaran.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, Made Krisna Bokis Dinata mengatakan, dasar dari penolakan pembangunan Terminal LNG Sidakarya dikarenakan kawasan mangrove yang akan diubah menjadi kawasan Terminal LNG berada pada kerapatan tinggi diatas 70 persen, dimana rata-rata memiliki ketinggian pohon mencapai 4-10 meter.
“Di kawasan ini, sebaran satwa tinggi atau sering dijumpai,” kata Made Krisna Bokis Dinata, dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (22/9/2022).
Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan perubahan blok yang menempatkan tapak Proyek LNG di Tahura Ngurah Rai yang semula merupakan merupakan Blok Perlindungan menjadi Blok Khusus.
Bokis menjelaskan, pada peta blok Tahura tahun 2015 yang disahkan melalui Keputusan Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Nomor: SK.255/KSDAE-SET/2015 kawasan mangrove pada tapak proyek Terminal LNG masih sebagai kawasan perlindungan.
Namun pada Keputusan Direktur Jenderal KSDAE Nomor: SK. 1113/KSDAE/SET.2/KSA.0/12/2021 Blok Pengelolaan pada tapak proyek Terminal LNG Sidakarya berubah menjadi blok khusus. Bokis menganggap hal tersebut tidak memperhatikan kondisi lapangan.
“Harusnya peruntukan blok pada tapak Proyek Terminal LNG Sidakarya dikembalikan menjadi Blok Perlindungan,” kata Bokis.
Gelisah atas ancaman yang dihadirkan proyek Terminal LNG itu, Bokir bersama Bedesa Bendesa Desa Adat Intaran dan Eksekutif Nasional Walhi mendatangi Direktorat Jenderal (Ditjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) di Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Dalam pertemuan di Manggala itu, Direktur Perencanaan Kawasan Konservasi, Ahmad Munawir menyebut KLHK berkomitmen menjaga mangrove agar tetap utuh dan siap memperbaiki kerusakan yang terjadi pada hutan mangrove.
Bokis mewanti-wanti agar Dirjen KSDAE tidak melupakan fungsi pengawasan terhadap kawasan konservasi mangrove yang ada di daerah, terutama kawasan konservasi di Bali. Karena meski luasannya tidak terlalu besar, namun Kawasan mangrove memiliki fungsi yang amat signifikan.
“Dengan memperhatikan kondisi lapangan yang kami sampaikan terkait keadaan mangrove yang padat dan amat tinggi, harusnya tidak ada perizinan maupun rekomendasi yang diterbitkan oleh KSDAE, terlebih melegitimasi pembangunan Terminal LNG di kawasan mangrove.”
Tak hanya itu, di kawasan pesisir laut sekitar mangrove juga terdapat terumbu karang. Kondisi terumbu karang itu tergolong baik, dengan skala 50-70 persen.
Apabila pembangunan Terminal LNG itu dilanjutkan maka terumbu karang itu akan terdampak. Karena pembangunan terminal itu dilakukan dengan pengerukan alur laut dengan kedalaman 15 meter, lebar alur 145 meter, dengan total volume material keruk sebanyak 3.300.000 meter kubik.
Dilihat dari jaraknya, lokasi pengerukan (dredging) dengan ekosistem terumbu karang itu kurang dari 500 meter. Bahkan berdasarkan Peta Terumbu Karang yang ada pada RZWP3K, Provinsi Bali, lokasi pengerukan masuk di area indikatif Terumbu Karang seluas 5,2 hektare.
Terumbu Karang yang berada persis di tempat keluar masuknya kapal itu, oleh masyarakat setempat diyakini sebagai Barrier Reef atau pelindung dari terpaan gelombang yang mengarah ke pesisir.
Selain itu, dampak pembangunan Terminal LNG juga akan mendorong abrasi yang mengancam keberadaan tempat suci yang berada di sekitar rencana lokasi proyek Terminal LNG. Jaraknya paling jauh hanya sekitar 823,88 meter.
Bendesa Desa Adat Intaran, I Gusti Agung Alit Kencana memperkirakan setidaknya ada enam tempat suci yang terancam, yaitu Pura Dalem Pangembak, Pura Campuhan Dalem Pangembak, Pura Sukamerta, Pura Kayu Menengan, Pura Mertasari, dan Pura Tirta Empul Mertasari.
“Dengan adanya pengerukan tersebut pastinya akan merusak ekosistem laut di Pesisir Sanur akibat proyek Terminal LNG di Kawasan Mangrove dan Pesisir Sanur. Dan mengencam keberadaan enam tempat suci,” tegas I Gusti Agung Alit Kencana.
I Gusti Agung Alit Kencana menambahkan, pesisir Sanur juga merupakan ruang penghidupan bagi 400 orang keluarga nelayan tradisional. Pesisir Sanur itu digunakan oleh para nelayan yang berada di Desa Intaran, baik untik penangkap ikan maupun aktivitas lainya. Menurutnya, keberlangsungan pesisir Sanur sangat penting dijaga dari gempuran proyek pembangunan Terminal LNG di kawasan mangrove dan pesisir Sanur.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanudin mengatakan, proyek pembangunan Terminal LNG memiliki dua kesalahan utama. Yang pertama, akan menghancurkan hutan mangrove dan terumbu karang yang dilindungi oleh UU 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Kedua, menghilangkan hak-hak masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional yang dilindungi oleh UU No. 7 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” kata Parid.
Parid menjelaskan, rencana pembangunan Terminal LNG di Tahura, yang merupakan Kawasan konservasi mangrove seluas 14,5 hektare bertentangan dengan rencana pemerintah Indonesia yang akan merestorasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare sampai dengan tahun 2024.
Isu hutan mangrove banyak disebut oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di banyak forum internasional. Jokowi menyatakan, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinannya telah dan sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 hektare sampai dengan tahun 2024. Presiden Jokowi berpendapat, rehabilitasi hutan mangrove merupakan salah satu cara untuk menciptakan laut yang sehat. Ini merupakan kunci keberlanjutan pembangunan Indonesia yang notabene negara kepulauan terbesar di dunia.
Proyek pembangunan LNG yang akan menghabiskan hutan mangrove seluas 14,5 hektare ini, akan mendorong pelepasan karbon dalam jumlah banyak. Menurut catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2018), setiap satu hektare lahan mangrove, mampu menyerap karbon dioksida 39,75 ton per tahun. Jika dihitung, 14,5 hektare wilayah mangrove dapat menyerap 576,375 ton karbon per tahun.
“Jika luasan itu hilang, maka akan ada 5.763,75 ton karbon yang hilang dalam 10 tahun ke depan. Artinya, pembangunan proyek LNG itu secara ekologis tidak ramah lingkungan karena akan mendorong pelepasan karbon dalam jumlah banyak,” tambah Parid.
Atas dasar itu, Bendesa Desa Adat Intaran Bali bersama dengan Eksekutif Daerah Walhi Bali dan Eksekutif Nasional Walhi menyampaikan sejumlah desakan sebagai berikut:
- Mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam hal ini Dirjen KSDAE untuk mengembalikan peruntukan Blok Pengelolaan Tahura Ngurah Rai Bali menjadi Blok Perlindungan pada Tapak Terminal LNG Sidakarya.
- Mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, untuk mengevaluasi dan mencabut izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKPRL) yang telah dikeluarkan untuk pembangunan Terminal LNG.
- Mendesak Gubernur Bali untuk menghentikan seluruh agenda yang membahas peninjauan kembali dan/atau revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yang melegalisasi pembangunan Terminal LNG di kawasan mangrove dan pesisir Sanur.