LIPUTAN KHUSUS:

PTPN V Dituding Rampas Tanah Adat Pantai Raja


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Penguasaan lahan oleh PTPN V merampas tanah masyarakat adat seluas 1.013 hektare.

Agraria

Senin, 31 Oktober 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sejak Jumat, 21 Oktober 2022, sekitar 40 orang Masyarakat Adat Desa Pantai Raja, Kampar, Riau berangkat ke Jakarta dengan restu dari Lembaga Adat melayu Provinsi Riau (LAM Riau) untuk berjuang mendapatkan kembali tanah yang dikuasai oleh salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PTPN V sejak 1984. Penguasaan lahan oleh PTPN V merampas tanah masyarakat adat seluas 1.013 hektare.

"Pada 1999, PTPN V mengakui terdapat 150 hektare tanah masyarakat masuk dalam area kebun inti PTPN V. Pengakuan tersebut disertai janji pengembalian tanah masyarakat adat. Pada 2019, Komnas HAM memberikan rekomendasi penyelesaian konflik. Komitmen pengembalian tanah masyarakat dan rekomendasi penyelesaian konflik diabaikan oleh PTPN V dan justru masyarakat dikriminalisasi,” ungkap Gusdianto, Perwakilan Masyarakat Adat Pantai Raja, dalam pernyataan tertulisnya.

Terkatung-katungnya konflik masyarakat adat dan PTPN V selama lebih dari 38 tahun disebut disebabkan keengganan negara menyelesaikan konflik tersebut. Lambatnya penyelesaian konflik oleh negara mendorong masyarakat “Menjemput Keadilan di Jakarta”.

Sejak tiba di Jakarta pada Minggu, 23 Oktober 2022, masyarakat telah menyampaikan aduan kepada Menteri ATR/BPN, Kantor Staf Presiden, Kementerian BUMN hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pertemuan dengan Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto dilaksanakan pada Senin, 24 Oktober 2022.

Sejumlah perwakilan masyarakat adat Pantai Raja membentangkan spanduk di depan Kantor Kementerian ATR/BPN./Foto: Facebook/Okto Yugo Setiyo

“Saya dan Kepala Desa Pantai Raja, Khaerud Zaman menyampaikan kasus konflik masyarakat Adat Pantai Raja dengan PTPN V kepada Menteri ATR/BPN. Dalam pertemuan itu, Menteri ATR/BPN mengatakan bahwa Kementerian ATR/BPN dalam penyelesaian konflik PTPN V dan masyarakat perlu duduk bersama dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Desa. Pada akhir pertemuan, Menteri ATR berjanji membantu penyelesaian konflik. Kami menunggu realisasi janji tersebut”, kata Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari Riau.

Selanjutnya masyarakat adat Pantai Raja bertemu Tim Reforma Agraria Kantor Staf Presiden (KSP). KSP sudah menerima aduan masyarakat sejak tahun 2020 dan menindaklanjutinya dengan kunjungan lapangan.

Tim Reforma Agraria KSP menyampaikan terdapat 223 konflik yang melibatkan PTPN, termasuk PTPN V. KSP menyampaikan kendala penyelesaian konflik dengan entitas usaha BUMN terkait Peraturan Menteri BUMN No. 2 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara.

Direktur Eksekutif WALHI Riau, Boy Even Sembiring mengatakan, konflik Masyarakat Adat Pantai Raja dengan PTPN V adalah satu dari sekian banyak konflik agraria di Riau. Pilihan PTPN V (Perusahaan BUMN) abai terhadap penyelesaian konflik menjadi cerminan buruk negara yang mementingkan bisnis dibandingkan kepentingan rakyat.

Boy berpendapat, seharusnya Kementerian BUMN dan badan usaha di bawahnya mengambil bagian dalam akselerasi program reforma agraria Presiden. Hambatan dalam penyelesaian konflik seperti Menteri BUMN dengan latar belakang pebisnis, harus dipaksa menjalankan bisnis dengan memperhatikan kepentingan rakyat.

"Apabila tidak mau, maka Presiden harus menggantinya. Gubernur Riau dan Bupati Kampar juga seharusnya menaruh perhatian terhadap konflik dengan memaksa PTPN V mengembalikan tanah masyarakat tanah adat atau mengusir PTPN V dari Riau," kata Boy Even Sembiring.

Ketua Bidang advokasi YLBHI, Zaenal Arifin menyebut konflik yang dihadapi masyarakat adat Pantai Raja merupakan satu dari sekian konflik yang gagal diselesaikan pada dua periode rezim Jokowi. Reforma agraria hanya jadi lips service. Penyelesaian konflik agraria membutuhkan komitmen politik dari Presiden karena tipologi konflik melibatkan lintas kementerian.

“Nahasnya, saat ini rezim Jokowi dikelilingi oleh pejabat publik yang terlibat dalam pusaran bisnis yang menjadi pemicu berbagai konflik agraria. Konflik yang menimpa masyarakat adat juga terjadi karena ketiadaan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta wilayahnya. Sudah waktunya pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat," jelas Zaenal Arifin.

Konflik antara masyarakat adat Pantai Raja dengan PTPN V harus menjadi prioritas Presiden Jokowi untuk segera diselesaikan. Setidaknya atas beberapa alasan yang mendasarinya.

Pertama, konflik sudah berlarut sejak 38 tahun dan menyebabkan kesengsaraan masyarakat. Pada 1984 PTPN V datang ke Pantai Raja tanpa ada dialog langsung merusak kebun karet masyarakat. Terdapat 157 KK kehilangan kebun karet yang menjadi sumber penghidupannya.

Kedua, Lahan yang disengketakan telah diakui oleh pihak PTPN V. Pada 1999, pihak masyarakat diundang oleh PTPN V untuk berdialog dan menghasilkan kesepakatan bahwa pihak PTPN V mengakui secara tertulis disaksikan oleh Pemkab Kampar, Kapolsek Siak Hulu bahwa terdapat lahan karet milik Masyarakat Adat Pantai Raja seluas 150 hektare berada dalam inti kebun Sei Pagar PTPN V.

Ketiga, masyarakat telah berjuang di daerah. Masyarakat telah berupaya sesuai koridor hukum dan meminta penyelesaian pemerintah daerah mulai dari Bupati Kampar, hingga Gubernur Riau. Bahkan telah difasilitasi Komnas HAM RI pada 2019, DPRD Provinsi Riau juga oleh Gubernur Riau pada 2021.

Keempat, masyarakat jadi korban kriminalisasi dan digugat ke pengadilan akibat konflik yang tak kunjung selesai. Saat masyarakat menuntut kesepakatan mediasi oleh Komnas HAM RI, justru PTPN V melalui Direktur PTPN V, Jatmiko K Santosa melaporkan 14 perwakilan warga Polda Riau dengan tuduhan pendudukan lahan tanpa izin. PTPN V menggugat 14 perwakilan masyarakat ke Pengadilan Negeri Bangkinang sebesar Rp14,5 miliar.