LIPUTAN KHUSUS:

Pekalongan Terancam Tenggelam, oleh Krisis Iklim dan Ulah Manusia


Penulis : Kennial Laia

Temuan BRIN, area dengan elevasi kurang dari 1 meter di Pekalongan akan tenggelam dalam 9 tahun. Dalam 66 tahun seluruhnya tenggelam jika tanpa tindakan serius.

Perubahan Iklim

Sabtu, 05 November 2022

Editor : Kennial Laia

BETAHITA.ID -  Kota Pekalongan menjadi salah satu yang terdampak paling parah akibat perubahan iklim, dan terancam tenggelam akibat penurunan muka tanah dan meluasnya banjir rob. Kondisi ini telah menghilangkan pendapatan dan memaksa warga meninggalkan rumah mereka. 

Qomarudin, kepala Desa Api-Api, Kecamatan Wonokerto, Pekalongan, Jawa Tengah, mengatakan banjir rob mulai masif pada 2008 di desanya. Tidak hanya wilaya pantai, air memasuki kebun melati, tambak, jalan, dan sawah. Pada 2013, air mulai memasuki pemukiman setinggi paha orang dewasa. 

Menurut Qomarudin, yang sebelum menjadi kepala desa, aktif dalam kegiatan pemuda dan komunitas petani-nelayan, warga membentuk kelompok mitigasi untuk menghadapi situasi tersebut. Mereka menanam mangrove di bantaran sungai hingga pesisir dan membangun tanggul di tambak. 

“Tapi air pun semakin tinggi dan menggenangi rumah. Akhirnya pada 2016, ada kecenderungan warga Wonokerto menyerah dengan tingginya air rob,” tutur Qomarudin, dalam diskusi daring bertajuk “Krisis Iklim: Ancaman Tenggelamnya Kota Pekalongan” oleh organisasi nonprofit Satya Bumi, Kamis, 3 November 2022. 

Seorang ayah mendorong putranya di dalam sebuah kotak di jalan yang digenangi banjir rob di Pekalongan, Jawa Tengah. Dok Greenpeace

“Mata pencaharian hilang. Semua tenggelam, dari sawah, kebun melati, tambak, hingga pantai wisata. Warga mulai pindah ke area yang lebih aman. Ada yang juga petambak yang menjual tambak ke pemodal dan menjadi buruh di tempat tersebut,” tutur Qomarudin. 

Menurut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Galdita A. Chulafak, laju penurunan permukaan tanah di wilayah pantai utara Jawa Tengah relatif tinggi, dan tertinggi terjadi di Pekalongan. Menggunakan data penginderaan jauh, diketahui lajunya berbeda mulai dari 4 cm hingga 11 cm. 

Perubahan tutupan tanah akibat bertambahnya pembangunan, wilayah tambak, pertanian terutama di hulu, serta berkurangnya vegetasi hutan termasuk faktor dari kondisi ini, kata Galdita. 

"Selain itu, data juga menunjukkan adanya rekayasa pesisir dimana terjadi perubahan muara sungai yang tadinya aliran tidak langsung mengarah ke laut karena terhalang barrier sedimen, menjadi langsung ke laut dengan dibangunnya jetty dan dihilangkannya barrier alam," ujar Galdita. 

Kondisi ini menyebabkan kota yang masyhur dengan batik itu rawan terdampak rob. Di kemudian hari, dampaknya diprediksi bisa jauh lebih besar jika tidak segera diatasi. Menurut Galdita, penelitian BRIN menemukan Pekalongan mengalami laju penurunan tanah yang cukup tinggi bahkan melebihi Jakarta. 

Jika mengambil rata-rata tengah laju penurunan tanah (6 cm per tahun) di Pekalongan, hitungan tanpa memperhatikan parameter lain memungkinkan terjadinya penurunan muka tanah hingga 60 cm dalam 10 tahun ke depan, kata Galdita. 

"Padahal sebagian wilayah Kota Pekalongan sudah ada yang mempunyai elevasi di bawah 0 mdpl. Tinggal kita hitung perkiraan, misalnya elevasi tertinggi adalah 4 mdpl atau 400 cm di atas permukaan laut, dibagi enam, mungkin tenggelam seluruhnya sekitar 66 tahun lagi," terangnya. 

"Kalau memakai kemungkinan terburuk 11 cm, ya semua wilayah yang elevasi kurang dari 1 meter kira-kira bakal tenggelam 9 tahun lagi jika tidak dilakukan pencegahan," tuturnya. 

Menurut Arif Ganda Purnama, spesialis tata kelola dari Zurich Flood Resilience Alliance Mercy Corps, risiko banjir rob dapat meningkat lima kali lipat dari sisi luasan dalam 15 tahun ke depan. Sementara itu hasil analisis dampak pada 41 kelurahan, kerugian per tahun mencapai Rp 1,55 triliun pada 2020. Angka ini diprediksi meningkat 30 kali lipat menjadi Rp 31,28 triliun pada 2035. 

"Untuk dapat menghindari skenario tersebut penanganan banjir slow-onset memerlukan transformasi tata kelola multi spektrum dengan visi bahwa banjir tidak memberikan dampak negatif bagi masyarakat," kata Arif.

Perencana Ahli Madya Bappeda Kota Pekalongan Miftakhudin mengatakan pemerintah telah berupaya mengatasi persoalan ini. Upaya mitigasi dilakukan dengan membangun infrastruktur pengendali banjir rob, layanan kebencanaan, pengembangan kawasan konservasi pesisir untuk perkuatan fungsi ekologi, pembatasan perizinan penggunaan air bawah tanah, serta monitoring laju penurunan tanah.

Pemerintah daerah juga memasukkan penanganan banjir dan rob ke dalam semua dokumen perencanaan pembangunan dan alokasi anggarannya. Strategi lainnya adalah berkolaborasi dengan berbagai stakeholder baik pemerintah, akademisi, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat. 

"Permasalahan yang dialami oleh Pekalongan dapat menjadi pembelajaran area perkotaan lain atas dampak perubahan iklim dan aktivitas perkembangan perkotaan. Dengan kompleksitas permasalahan yang ada, perlu kolaborasi berbagai pihak untuk bersama-sama mengatasinya," tuturnya.

Direktur Eksekutif Satya Bumi Annisa Rahmawati mengatakan, prinsip-prinsip HAM seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan anti-diskriminasi harus menjadi bagian dari mitigasi dan penanganan banjir rob di Pekalongan maupun kota lainnya. 

"Kondisi wilayah di Pekalongan bisa menjadi contoh pembelajaran bagi kota-kota lain agar bisa lebih mempersiapkan dan memprioritaskan langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berdampak luas, termasuk mempengaruhi kelompok-kelompok masyarakat rentan," tuturnya.