LIPUTAN KHUSUS:
Sekjen PBB: Umat Manusia Menuju Neraka Iklim
Penulis : Aryo Bhawono
Perjuangan untuk menentukan bumi sebagai tempat layak huni ditentukan pada dekade ini.
Perubahan Iklim
Selasa, 08 November 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sekjen PBB, Antonio Guterres, memperingatkan bahwa umat manusia tengah berada di tengah jalan raya menuju neraka iklim. Perjuangan untuk menentukan bumi sebagai tempat layak huni ditentukan pada dekade ini.
Peringatan Guterres dilontarkan kepada para pemimpin dunia pada pembukaan KTT Iklim PBB (Cop27) di Mesir pada Senin (7.11/2022). Ia mengatakan, “Kami sedang berjuang untuk hidup kami dan kami kalah … Dan planet kita dengan cepat mendekati titik kritis yang akan membuat kekacauan iklim tidak dapat diubah.”
"Kami berada di jalan raya menuju neraka iklim dengan kaki kami menginjak pedal gas," lanjutnya, seperti dikutip dari Guardian.
Dunia menghadapi pilihan yang sulit selama dua pekan pembicaraan ke depan: Negara maju dan berkembang bekerja sama untuk membuat 'pakta bersejarah' yang akan mengurangi emisi gas rumah kaca. Kesepakatan ini akan menempatkan dunia pada jalur rendah karbon atau kegagalan, yang akan membawa kerusakan iklim dan bencana.
Jendela peluang tetap terbuka, tetapi hanya seberkas cahaya sempit yang tersisa, kata Guterres, pertarungan iklim global akan menang atau kalah dalam dekade penting ini – dalam pengawasan kami.
“Satu hal yang pasti: mereka yang menyerah pasti akan kalah,” tegasnya.
Presiden Mesir, Abdel Fatah al-Sisi, mengatakan dalam pidato pembukaannya di KTT bahwa orang-orang miskin dan rentan di seluruh dunia sudah mengalami efek cuaca ekstrem:
“Intensitas dan frekuensi bencana iklim tidak pernah lebih tinggi, dalam keempat penjuru dunia, membawa gelombang demi gelombang penderitaan bagi miliaran orang. Bukankah ini saatnya untuk mengakhiri penderitaan ini?” ucapnya.
Lebih dari 100 kepala negara dan pemerintahan dari seluruh dunia berkumpul di resor Sharm El-Sheikh, Mesir pada hari itu. Mereka akan melakukan pertemuan tertutup membahas krisis iklim selama dua hari.
Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak, akan hadir selama satu hari, bersama Olaf Scholz dari Jerman, Emanuel Macron dari Prancis, dan Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa. Presiden AS, Joe Biden, akan datang akhir pekan ini, setelah pemilihan paruh waktu AS.
Perdana Menteri Barbados, Mia Mottley, akan menetapkan inisiatif baru tentang pendanaan iklim bagi negara berkembang, bersama para pemimpin Afrika termasuk William Ruto dari Kenya, Macky Sall dari Senegal, dan George Weah dari Liberia. Putra mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, juga hadir dalam pertemuan tersebut.
Mulai Rabu esok (9/11/2022), para pemimpin dunia akan menyerahkan kepada pejabat dan menteri untuk sisa dua minggu pembicaraan. Namun, pertemuan puncak itu menjanjikan pembicaraan pelik dengan sedikit peluang untuk terobosan.
Pertemuan negara-negara itu berada dalam bayang-bayang perang di Ukraina, krisis energi di seluruh dunia dan krisis biaya hidup, serta meningkatnya ketegangan global. Negara-negara kaya dan miskin berselisih karena ekonomi-ekonomi besar telah gagal mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cukup cepat. Sedangkan negara-negara miskin yang menanggung beban krisis iklim hanya menerima sedikit bantuan keuangan yang mereka butuhkan dan yang telah dijanjikan.
Konferensi Cop 27 dimulai dengan lambat, para negosiator menghabiskan lebih dari 40 jam selama akhir pekan untuk memperdebatkan agenda. Pada akhirnya mereka sepakat masalah kerugian dan kerusakan yang mengacu pada dampak terburuk dari krisis iklim akan dibahas.
Negara-negara ekonomi rendah yang menderita kerugian dan kerusakan menginginkan mekanisme keuangan yang akan memberi mereka akses ke pendanaan untuk menanggulangi bencana iklim yang diderita.
Pembicaraan ini kemungkinan tidak akan memberikan penyelesaian akhir atas kerugian dan kerusakan. Tapi negara-negara mengharapkan kemajuan dalam cara-cara meningkatkan dan menyalurkan keuangan.
Pada sebagian besar penyelenggaraan KTT Iklim PBB, aktivis dan pengunjuk rasa memainkan peran kunci. Namun, Mesir menekan perbedaan pendapat dan memenuhi penjara dengan tahanan politik. Pemerintah Sisi telah berjanji bahwa suara aktivis iklim akan didengar, tetapi kegiatan mereka telah dibatasi. Pengunjuk rasa disekat di lokasi terpisah dan diharuskan mendaftar terlebih dahulu untuk memperoleh izin, bahkan untuk demonstrasi kecil.