LIPUTAN KHUSUS:

19 Tahun RSPO: Kegagalan Sawit Berkelanjutan


Penulis : Aryo Bhawono

Hampir sepanjang dua dekade usia RSPO, organisasi itu dianggap telah gagal memenuhi misinya menjadikan sektor sawit berkelanjutan.

Sawit

Jumat, 02 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Usia RSPO akan menginjak 19 tahun pada 1 Desember nanti. Namun hampir sepanjang dua dekade, organisasi itu dianggap telah gagal memenuhi misinya menjadikan sektor sawit berkelanjutan. 

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) akan menggelar pertemuan umum pada 1 Desember 2022 di Malaysia, tepat saat usianya menginjak 19 tahun. Sebanyak 100 NGO menganggap lembaga itu gagal menjalankan misi menjadikan sektor industri sawit ‘berkelanjutan’. Sebaliknya, RSPO justru digunakan oleh industri sawit sebagai alat untuk menutupi penghancuran lingkungan, pelecehan hak asasi manusia dan buruh, serta perampasan lahan.

“Kami, dan berbagai organisasi yang bekerja dengan masyarakat yang terdampak oleh perkebunan sawit, telah berulang kali mengecam RSPO atas kegagalannya dalam mengangkat permasalahan masyarakat yang lahannya dirampas oleh perusahaan sawit,” 

Masalah utama dari kelembagaan beserta sistem sertifikasi RSPO tercatat dalam laporan terbaru pada 2021 tentang kegagalan mereka dalam mencegah penggundulan hutan, mengabaikan masyarakat terdampak dan mengangkat persoalannya. Greenpeace mencatat kegagalan ini meliputi degradasi hutan dan konversi ekosistem lainnya. 

Ilustrasi perkebunan sawit

Sedangkan Milieudefensie (Friends of the Earth Netherland) melaporkan temuan umum dan studi kasus tentang proses sertifikasi Socfin, sebuah perusahaan perkebunan yang berbasis di Luksemburg, di Afrika Barat. Mereka menyebutkan ada kesenjangan kritis dalam praktik RSPO dan kebijakan proses konsultasi, yang melemahkan kredibilitas sertifikat.

Mereka dan organisasi dunia lainnya juga memaparkan kegagaln yang sama dalam pernyataan internasional bersama pada 2008 dan 2018,

Sejak 2020, RSPO telah mengeluarkan sertifikat konsesi sawit di Kamerun, Sierra Leone, Nigeria, Sao Tome, Ghana, DRC, Nigeria dan Pantai Gading untuk Socfin, perusahaan yang berbasis di Luksemburg. Sertifikat ini dikeluarkan dengan mengabaikan komplain masyarakat terkait konflik lahan, deforestasi, polusi, pelanggaran hak buruh, serta praktik kekerasan.

Masyarakat Sierra Leone, Kamerun dan Pantai Gading telah menuntut penangguhan sertifikat Socfin tersebut. Setelah terbitnya suatu laporan media tentang perkebunan sawit Socfin di Kameron, sekretariat RSPO mengirimkan tim verifikasi untuk memeriksa tuntutan masyarakat. 

Meski tokoh masyarakat sempat mengatakan bahwa tim dari RSPO menghindari bertemu dengan pihak-pihak yang kritis terhadap perusahaan dan mengabaikan bukti-bukti yang diberikan olehnya, hasil verifikasi RSPO tetap menunjukkan adanya pelanggaran standar-standar RSPO yang dilakukan oleh kebun milik Socfin di Kamerun. Namun, meski adanya bukti-bukti tersebut, RSPO tetap mengeluarkan sertifikat untuk perkebunan sawit lainnya milik grup Socfin.

Di Sierra Leone pada Januari 2022, sebanyak 1.475 masyarakat setempat yang terdampak oleh perkebunan milik Socfin mengeluarkan petisi kecaman terhadap keputusan RSPO mengeluarkan sertifikat kepada Socfin. Petisi tersebut menyatakan bahwa proses audit RSPO terbukti cacat dan mengabaikan masalah terkait perampasan lahan, pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan. 

Seperti yang diuraikan dalam siaran pers internasional yang ditandatangani oleh berbagai organisasi, proses konsultasi RSPO berjalan dengan penuh kesalahan. Para pihak yang terdampak, termasuk para pemilik lahan, tidak dimintai pendapatnya. Salah satu buktinya adalah penolakan atas laporan pemerintah setempat yang telah mengeluarkan perintah pencabutan izin dan menuntut adanya proses partisipatif untuk menyelesaikan konflik lahan. 

Proses audit tidak independen dari perusahaan, tidak ada ruang konsultasi yang aman bagi masyarakat, meski dampak besar akan dihadapi oleh para masyarakat.”

Sertifikasi untuk Socfin yang belum lama berjalan di Afrika ini menunjukkan bagaimana RSPO tidak hanya gagal dalam membantu masyarakat, namun justru ikut mengurangi hak masyarakat atas kehidupan. Masyarakat dan kelompok sipil pendukung telah menyia-nyiakan waktu dan sumber daya berharga untuk mengikuti alur proses RSPO yang rumit dan berlapis-lapis. Para tokoh masyarakat yang vokal dalam proses RSPO menjadi rentan terhadap intimidasi dan kekerasan.

Pada satu kasus baru lainnya, anggota masyarakat Barranquilla de San Javier di Ekuador mengadakan aksi protes damai pada 2019 untuk menuntut perusahaan Energy & Palma, anggota RSPO untuk angkat kaki dari tanah milik masyarakat. Masyarakat juga menuntut penghentian pencemaran air dan deforestasi. Namun, aksi tersebut direspon oleh aparat keamanan dengan kekerasan, dan kemudian, sebagai tindakan intimidasi terang-terangan, perusahaan membawa tujuh pemimpin masyarakat ke pengadilan, dan menuntut ganti rugi sebesar 320.000 dolar AS. 

Pengadilan telah mengeluarkan satu dari dua putusan dan menghukum anggota masyarakat untuk membayar 151.000 dolar AS, yang kemudian diajukan banding oleh para pembela. Perusahaan kemudian turut mengajukan banding dan bersikeras untuk pembayaran sebesar US$320.000. Putusan kedua masih tertunda. Sampai hari ini, RSPO belum mengambil tindakan untuk memberikan sanksi kepada Energy & Palma.

Di saat yang sama, masyarakat di Liberia masih menantikan solusi atas komplain yang diajukan kepada RSPO sejak 10 tahun yang lalu terhadap Golden Agri-Resources (Sinar Mas). Pengalaman-pengalaman masyarakat ini menunjukkan bagaimana sistem komplain RSPO tidak pernah betul-betul berjalan efektif.

Menurut mereka selama 19 tahun terakhir RSPO menjadi instrumen yang tidak becus dalam menuntut tanggung jawab perusahaan atas pengrusakan lingkungan dan pelanggaran hak masyarakat dan buruh. RSPO telah terbukti sebagai sarana yang dapat dipercaya bagi komunitas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi terhadap perusahaan sawit. Namun sebaliknya, RSPO justru melemahkan upaya masyarakat dan memberikan kelonggaran bagi perusahaan untuk terus merampas lahan. 

“Pada saat lahan-lahan yang telah mendapat sertifikat RSPO terus merambah, dan ketika RSPO dipromosikan sebagai standar rujukan bagi aturan dan kebijakan nasional, regional, internasional, kami hendak menyatakan kembali kecaman kami terhadap RSPO. Kami juga bermaksud menyatakan komitmen kami untuk terus berupaya melayani kepentingan masyarakat serta menghentikan model kolonial industri perkebunan sawit,” tulis pernyataan tersebut.