LIPUTAN KHUSUS:

Sekjen PBB: Manusia Telah Menjadi Senjata Kepunahan Massal


Penulis : Tim Betahita

Negara-negara yang hadir pada KTT keanekaragaman hayati (COP15) akan bernegosiasi mengenai target biodiversitas dekade ini.

Biodiversitas

Minggu, 11 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyatakan umat manusia telah menjadi senjata kepunahan massal pada pembukaan konferensi KTT keanekaragaman hayati (COP15) di Montreal, Kanada. Dia mendesak agar pemerintah di seluruh dunia mengakhiri “pesta penghancuran” tersebut. 

“Kita tidak selaras dengan alam. Faktanya, kita memainkan lagu yang sama sekali berbeda. Di seluruh dunia, selama ratusan tahun, kita telah melakukan hiruk pikuk kekacauan, dimainkan dengan instrumen kehancuran. Deforestasi dan penggurunan menciptakan lahan terlantar dari ekosistem yang pernah berkembang pesat,” kata Guterres, dikutip Guardian, Rabu, 7 Desember 2022. 

“Kita meracuni tanah, air, dan udara dengan bahan kimia dan pestisida dan menghasilkan sampah plastik. Pelajaran terpenting yang kita berikan kepada anak-anak kita adalah bertanggung jawab atas tindakan mereka. Teladan apa yang kita tunjukkan ketika kita sendiri gagal dalam ujian dasar ini?” ujarnya. 

Pemerintah di seluruh dunia berkumpul di Montreal pekan ini untuk menegosiasikan target biodiversitas di bawah PBB untuk dekade ini.

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres saat berpidato dalam siaran pers di Sharm el-Sheikh, Mesir, tuan rumah konferensi iklim COP27. Dok UNFCCC/Kiara Worth

Pada upacara tersebut, perdana menteri Kanada, Justin Trudeau, mendesak negara-negara untuk menyepakati target untuk melestarikan 30% wilayah Bumi untuk alam dalam kesepakatan terakhir.

“Kami tidak memilih angka 30% itu secara acak. Ini adalah ambang batas kritis menurut para ilmuwan terbesar untuk menghindari risiko kepunahan dan juga untuk memastikan ketahanan pangan dan ekonomi kita. Tiga puluh persen itu cukup layak,” kata Trudeau. 

Pidato Trudeau sempat diinterupsi oleh protes. Para pengunjuk rasa mengangkat protes yang menyatakan bahwa skema 30% daratan dan laut tersebut merupakan pembunuhan masyarakat adat.  

Target tersebut, dikenal sebagai “30x30”, adalah proposal paling terkenal yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah untuk kesepakatan dekade ini demi melindungi keanekaragaman hayati. Dipimpin oleh Inggris, Kosta Rika dan Perancis, skema ini didukung koalisi lebih dari 100 negara. 

Namun ada kekhawatiran yang signifikan dari sejumlah masyarakat adat dan aktivis hak asasi manusia, yang memperingatkan bahwa hal itu dapat melegitimasi perampasan tanah lebih lanjut dan kekerasan terhadap masyarakat yang telah terbukti dapat melindungi alam dengan praktik terbaik.  

Sementara itu pada press klaar Rabu (6/12), Kepala Keanekaragaman Hayati PBB, Elizabeth Maruma Mrema; dan Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB, Inger Andersen, menyatakan bahwa KTT tersebut memiliki konsekuensi besar untuk mengatasi emisi dari tanah, sumber gas rumah kaca terbesar kedua setelah pembakaran bahan bakar fosil. 

“Jika kita melihat bencana baru-baru ini – banjir, kekeringan, gelombang panas, kebakaran hutan – ya, kami selalu mengatakan itu karena perubahan iklim,” kata Mrema. “Tapi di mana bencana ini terjadi? Mereka semua terjadi dalam ekosistem. Jelas bahwa kecuali kita melindungi dan memulihkan keanekaragaman hayati, pemanasan iklim akan terus meningkat. Dan kita mungkin gagal mencapai 1,5 derajat.”

Negosiasi di Kanada dijadwalkan selesai pada 19 Desember.