LIPUTAN KHUSUS:

Di Kanada, Masyarakat Adat Papua Desak Penyelamatan Hutan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Perwakilan masyarakat adat Papua hadir dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB atau CBD COP15 menyuarakan kegelisahan pembabatan hutan Papua.

Masyarakat Adat

Selasa, 13 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perwakilan masyarakat adat Papua hadir dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB atau CBD COP15 yang digelar 3-17 Desember 202 di Montreal, Kanada. Di sana mereka mengungkapkan kegelisahan atas pembabatan hutan yang tengah terjadi di Papua. Berharap CBD COP15 ini bisa menguatkan pengakuan terhadap masyarakat adat.

Seperti yang disampaikan Orpha Yosua, perempuan dari suku Namblong, Papua. Ia membeberkan perjuangan masyarakat adat melawan PT Permata Nusa Mandiri (PNM), perusahaan kelapa sawit yang hendak berinvestasi di Distrik Nimbokrang, Jayapura. Perusahaan tersebut diduga secara ilegal membabat hutan yang menjadi sumber hidup masyarakat adat.

“Kami yang paling tahu betapa berharganya hutan kami dan bagaimana cara menjaganya. Pemerintah harus mengakui hak-hak dan pengetahuan kami, dan kami akan melanjutkan apa yang sudah kami lakukan untuk menjaga hutan dan tanah kami. Bukan hanya untuk kami, tapi juga makhluk lainnya di bumi,” kata Orpha, dalam konferensi pers masyarakat adat yang berlangsung di Montreal, pada Jumat (9/12/2022) kemarin.

Sejak zaman dahulu, komunitas masyarakat adat dikenal telah hidup secara harmoni dengan alam. Masyarakat adat, yang jumlahnya hanya 5 persen dari seluruh populasi dunia, berkontribusi melindungi 80 persen keanekaragaman hayati dunia yang masih tersisa--terlepas dari berbagai kekerasan dan kriminalisasi terhadap praktik-praktik tradisional mereka.

Perempuan adat Tanah Papua di dalam hutan. Perempuan adat memegang hak kelola hutan ulayat karena peran pentingnya sebagai tulang punggung pangan di dalam keluarga. Foto: Pusaka

Negara-negara harus menggeser paradigma kolonial yang berpusat pada ekstraksi, serta mengubah pendekatan kebijakan ke arah perlindungan alam dengan menjunjung hak-hak masyarakat adat. Masyarakat adat juga harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan, terlebih yang menyangkut tanah mereka.

“Kami berharap COP15 akan mengakui hak-hak kami dan akan membuka lebih banyak ruang untuk kami bisa terlibat dalam proses pembuatan kebijakan,” kata Dinamam Tuxá, perwakilan masyarakat adat dari Brasil, dalam forum yang sama.

Secara terpisah, pengurus Dewan Adat Knasaimos Papua Barat, Arkilaus Kladit, juga berharap CBD COP15 dapat menjadi forum yang mendukung perjuangan masyarakat adat dalam memperjuangkan hak mereka. Arkilaus sebelumnya memperjuangkan status hutan desa di Sorong Selatan demi melawan pembalakan liar. Dari perjuangan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan status hutan desa pada 2014.

“Prinsip kami adalah hutan itu terbatas. Seketika hutan rusak, anak-anak kami ke depan tidak bisa hidup. Jadi hutan tidak boleh rusak. Itu juga warisan orang tua kami,” ujar Arkilaus.

CBD COP15 menjadi momen yang akan menentukan bagaimana kebijakan negara-negara dalam satu dekade ke depan untuk melindungi alam dan keanekaragaman hayati. Mengingat bahwa menurut laporan PBB, ada satu juta spesies yang terancam punah di seluruh dunia.

“Alam kita dalam kondisi krisis dan membutuhkan perlindungan. Indikator suksesnya negosiasi ini adalah seberapa besar mereka menempatkan masyarakat adat dan pengetahuan mereka sebagai inti dari setiap kebijakan dan aksi,” kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia yang hadir di Montreal.

Dalam konteks Indonesia, lanjut Sekar, pemerintah mestinya memperkuat perlindungan masyarakat adat. Salah satunya dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang pembahasannya mandek sejak 2009.

Sayangnya, dalam CBD COP15, delegasi Indonesia menyatakan tak setuju dengan prinsip 30×30, atau target global untuk melindungi setidaknya 30 persen daratan dan 30 persen area laut hingga 2030.