LIPUTAN KHUSUS:

Kutukan Kekayaan Alam di Tanah Papua


Penulis : Aryo Bhawono

Masuknya investasi di Papua justru mengancam masyarakat adat dengan perampasan tanah, pelanggaran HAM, dan penghancuran budaya.

Masyarakat Adat

Selasa, 20 Desember 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pembangunan Papua dianggap masih gagal menghadirkan kesejahteraan kepada Orang Papua Asli (OAP). Masuknya investasi di pulau kepala burung itu justru mengancam masyarakat adat dengan perampasan tanah, pelanggaran HAM, dan penghancuran budaya. 

Penelitian kolaborasi antara Greenpeace Indonesia dan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkap kekayaan sumber daya alam di Papua justru berubah menjadi kutukan bagi OAP. Mereka menghadapi ketimpangan untuk mendapatkan akses tiga layanan publik utama yaitu kesehatan, pendidikan serta pendapatan ekonomi.

Laporan berjudul 'Otonomi Khusus dan Kutukan Sumber Daya Alam' ini juga mengungkap pendapatan ekonomi yang hanya bersumber pada industri ekstraktif justru semakin memperparah kutukan sumber daya alam di Tanah Papua. Eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan tanpa adanya investasi serius bagi pembangunan masyarakat asli Papua telah dan akan memperburuk kondisi sosial ekonomi mereka, serta ekosistem dalam jangka panjang.

“Wilayah Papua dan Papua Barat (dua provinsi sebelum pemekaran) yang menjadi wilayah fokus pada laporan ini mencatat indeks kutukan sumber daya alam di kedua wilayah tersebut menduduki posisi kedua dan ketiga dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia”, ungkap Direktur INDEF, Berly Martawardaya. 

Warga Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, mengangkat tanaman kering karena gagal panen dari kebun mereka, Foto: Walhi Papua

Kedua provinsi ini termasuk dua dari 3 daerah dengan pembangunan berkelanjutan yang rendah meski berlimpah secara sumber daya alam. Angka kemiskinan di Papua mencapai 26,5 persen sedangkan Papua Barat sebesar 21,6 persen. Meskipun terjadi penurunan angka kemiskinan sejak 2002-2020, namun angkanya relatif kecil. 

Tren penurunan ini terjadi sejak diberlakukannya otonomi khusus di wilayah Papua. Hasil penelitian tersebut tidak berbeda jauh dengan data yang tercantum dari Biro Pusat Statistik wilayah Papua Barat yaitu persentase penduduk miskin Papua Barat pada September 2021 sebesar 21,82 persen, menurun 0,02 persen poin terhadap Maret 2021.

Banyak pengamat yang beranggapan otonomi khusus tidak efektif mengatasi masalah kesejahteraan di Papua. Masyarakat Papua terutama OAP memiliki tingkat kesejahteraan rendah baik dilihat dari kesejahteraan ekonomi (tingkat pendapatan atau kemampuan daya beli) maupun kesejahteraan sosial (pendidikan, kesehatan dan gizi, dan lain-lain). 

Masalah geografis Tanah Papua yang sebagian besar pegunungan bukan menjadi satu-satunya faktor mengapa pemerataan pembangunan sangat lambat, dan Indeks Pembangunan Manusia di Papua sangat rendah. Faktor penyebab lain adalah ketidakseimbangan antara hasil pengelolaan sumber daya alam yang tidak kembali lagi untuk kesejahteraan masyarakat, pengelolaan dana otonomi khusus yang tidak transparan oleh elite lokal, serta tidak bersinerginya hubungan struktural antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

Berdasarkan analisis Greenpeace Indonesia lebih dari 20 persen daratan Tanah Papua telah dibebani oleh perizinan industri ekstraktif berbasis lahan, seperti pertambangan, hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH), maupun perkebunan kelapa sawit. 

“Bahkan, lebih dari 7,5 juta hektare hutan tersebut terancam terdeforestasi karena berada dalam konsesi kelapa sawit, hutan tanaman industri maupun pertambangan”, ucap Nico Wamafma, Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Rosita Tecuari, pemuka masyarakat adat Namblong di Kabupaten Jayapura, Papua menyebutkan eksploitasi sumber daya alam, dalam hal ini hutan telah meminggirkan hak-hak orang asli Papua termasuk masyarakat adat. 

“Kami telah mengalami sendiri bagaimana hutan kami diambil paksa oleh perusahaan, sementara kami yang memiliki tanah adat tersebut tidak mendapatkan kesejahteraan apapun”, ungkapnya. 

Anggota DPD RI wilayah Papua Barat, Filep Wamafma, mengatakan kebijakan pemerintah pusat yang terkait dengan pembangunan masyarakat dan wilayah Papua, apapun itu, seharusnya melibatkan masyarakat Papua. Selama ini kebijakan otonomi khusus nyatanya tidak secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.

Kemudian, kata dia, ada lagi kebijakan baru yaitu pemekaran provinsi yang belum tentu akan efektif mengatasi masalah-masalah yang ada di Tanah Papua, bahkan mungkin hanya akan menimbulkan masalah baru.

Laporan Greenpeace Indonesia dan INDEF memberikan tiga rekomendasi, pertama, perbaikan sistem tata kelola yang memastikan akuntabilitas program otonomi khusus. Kedua, pelaksanaan tata kelola otonomi khusus dapat dilakukan melalui implementasi specific grant, atau bantuan spesifik yang bertujuan langsung untuk peningkatan kesejahteraan Orang Asli Papua. Ketiga, pelibatan Orang Asli Papua dalam merumuskan desain pembangunan Papua.