LIPUTAN KHUSUS:
Sepanjang 2022 Sumbar Kehilangan Hutan Seluas 27.447 Hektare
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Luas tutupan hutan yang berkurang ini sebesar 1,5 persen dari total luas tutupan hutan di Sumbar 1.744.549 hektare pada 2021.
Hutan
Kamis, 29 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Berdasarkan analisis Citra Sentinel II yang dilakukan oleh Tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, sepanjang 2022, Sumatera Barat (Sumbar) kehilangan hutan seluas sekitar 27.447 hektare. Luas tutupan hutan yang berkurang ini sebesar 1,5 persen dari total luas tutupan hutan di Sumbar 1.744.549 hektare pada 2021.
Manajer Komunikasi KKI Warsi Rudi Syaf menjelaskan, penurunan tutupan hutan di Sumbar disebabkan oleh banyak faktor. Dari pantauan Sentinel, hilangnya hutan terjadi di areal yang dibuka untuk perladangan dalam skala kecil di banyak tempat. Selain itu juga ada indikasi kegiatan ilegal dalam kawasan hutan, seperti untuk pertambangan emas tanpa izin.
“Penghitungan tutupan hutan yang hilang ini kami lakukan di areal hutan alam di Sumbar dengan analisis Citra Sentinel II dan tutupan hutan di Sumbar mengalami penurunan dari tahun ke tahun,” kata Rudi Syaf, dalam jumpa pers Catatan Akhir Tahun KKI Warsi 2022, Jumat (23/12/2022), dikutip dari Tempo.co.
Dari catatan KKI Warsi, aktivitas ilegal seperti Pertambangan Emas Ilegal (PETI) terpantau di empat kabupaten, yakni Dharmasraya seluas 2.179 hektare, Solok 1.330 hektare, Solok Selatan 2.939 hektare, dan Sijunjung 1.174 hektare. Tambang emas ilegal biasanya terjadi di sungai utama atau pun sungai kecil dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL), hutan produksi, dan hutan lindung.
“Perlu adanya komitmen yang kuat untuk menanggulangi tindakan ilegal yang mengakibatkan kehilangan tutupan hutan. Diperlukan komitmen pemerintah untuk melakukan kegiatan-kegiatan untuk memulihkan hutan dan menahan laju deforestasi,” timpal Rainal Daus, Wakil Direktur KKI Warsi.
Rainal mengatakan, menjaga tutupan hutan adalah upaya meraih manfaat ekologi bagi masyarakat, seperti ketersediaan air bersih, lingkungan yang sejuk, dan terhindar dari bencana alam. Namun, menjaga tutupan hutan juga bernilai ekonomi, seperti yang dirasakan oleh masyarakat di lanskap Bukit Panjang Rantau Bayur atau Bujang Raba di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.
Kondisi zero deforestasi di area Perhutanan Sosial kelola masyarakat mendatangkan manfaat ekonomi melalui skema imbal jasa lingkungan. Bujang Raba terdaftar ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo. Dari perhitungan KKI Warsi pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton C/hektare atau 1,052 ton CO2 e/hektare.
Melalui skema ini masyarakat mendapatkan dana yang difungsikan membiayai kegiatan sosial seperti khitanan, menjadi bantuan langsung tunai (BLT) ketika pandemi, dan membiayai kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan.
“Praktik baik dari pengalaman ini juga menjadi peluang bagi hutan yang dikelola oleh masyarakat di Sumbar,” kata Rainal.
Dari kajian KKI Warsi di Lanskap Lunang Silaut Pesisir Selatan, Sumbar, penghitungan potensi cadangan karbon di zona lindung di tiga hutan nagari memungkinkan untuk meraih skema imbal jasa karbon.
“Nilai karbon ini memiliki potensi dengan perkiraan sebesar 6 dolar per ton per hektare di pasar karbon sukarela. Dengan begitu, tutupan hutan memiliki nilai ekonomi kepada masyarakat yang mengelolanya,” ungkapnya.
Selain itu potensi sumber daya alam di wilayah Hutan Nagari, Hutan Adat, Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Sumbar yang dapat dikembangkan sangat beragam, seperti potensi air untuk sumber energi, air minum, dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berupa madu, aren, rotan, dan ekowisata. Potensi ini dapat dikembangkan sehingga mendatangkan manfaat ekonomi tanpa harus menebang pohon atau kayu.