LIPUTAN KHUSUS:
KPA Catat 212 Letusan Konflik Agraria di 2022
Penulis : Aryo Bhawono
Periode kedua pemerintahan Jokowi menunjukkan kenaikan angka kasus kriminalisasi dalam penanganan konflik agraria.
Agraria
Jumat, 13 Januari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sebanyak 212 letusan konflik agraria sepanjang 2022. Periode kedua pemerintahan Jokowi menunjukkan kenaikan angka kasus kriminalisasi dalam penanganan konflik agraria.
Sedikitnya 212 letusan konflik agraria sepanjang 2022 di berbagai sektor investasi dan bisnis berbasis korporasi. Konflik tersebut terjadi di 459 desa dan kota di Indonesia. Secara total, letusan konflik ini terjadi di atas tanah seluas 1 juta hektar, tepatnya 1.035.613 hektar berada dalam status konflik sepanjang tahun 2022. Sementara masyarakat yang terdampak konflik agraria setidaknya 346.402 kepala keluarga (KK).
“KPA mencatat masih belum ada perubahan signifikan dan mendasar yang dilakukan oleh pemerintah, baik di pusat dan daerah dalam hal penanganan dan penyelesaian konflik agraria yang tengah terjadi di lapangan. Termasuk masih lemah dan lambatnya upaya-upaya pencegahan (preventive policy and action), sebelum konflik dan kekerasan agraria meledak ke permukaan. Bahkan di tahun 2022 KPA mencatat terjadi kenaikan angka letusan konflik termasuk eskalasi kekerasannya,” ucap Sekjen KPA, Dewi Kartika, melalui rilis pers.
Jumlah ini bertambah jika dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 207 letusan pada tahun 2021. Meskipun kenaikannya tidak signifikan, namun dari sisi luasan wilayah terdampak konflik agraria naik drastis hingga 100 persen. Begitu pun dari sisi jumlah korban yang terdampak konflik agraria mengalami kenaikan signifikan hingga 43 persen dibanding tahun 2022.
Investasi dan praktik bisnis di sektor perkebunan mendominasi penyebab konflik agraria, terutama kelapa sawit. Sektor ini menyumbangkan 99 kasus dengan luasan wilayah konflik mencapai 377.197 hektar dan mengakibatkan korban terdampak sebanyak 141.001 KK.
Sebanyak 80 diantaranya terjadi di perkebunan sawit. Selanjutnya, perkebunan dengan jenis komoditas teh, kelapa, kakao dan karet masing-masing menyumbang 4 (empat) letusan konflik. Seterusnya konflik akibat perkebunan kopi dan tebu sebanyak 1 (satu) letusan konflik.
Tingginya letusan konflik agraria di sektor perkebunan dan bisnis sawit merupakan persoalan klasik yang tidak kunjung dipecahkan oleh pemerintah. KPA menengarai bisnis sawit menjadi anak emas pemerintahan dalam menggenjot perekonomian nasional.
Pada sektor pembangunan infrastruktur sebanyak 32 letusan konflik dengan luas mencapai 102.752 hektar dan berdampak pada 28.795 KK. Konflik di sektor ini didominasi oleh proyek-proyek pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata dan bendungan sebanyak 5 (lima) kasus letusan konflik, jalan tol dan pembangkit listrik menyumbang 4 letusan konflik. Pembangunan jalan, pelabuhan dan fasilitas umum sebanyak 3 letusan konflik.
Selanjutnya di sektor bisnis properti sepanjang tahun ini, konflik agraria meletus sebanyak 26 kali dengan luasan 4.572 hektar dan melibatkan 15.957 KK. Letusan konflik di sektor ini didominasi oleh klaim aset pemerintah di tanah dan pemukiman masyarakat dimana letusan konfliknya mencapai 13 kali. Selanjutnya konflik masyarakat dengan para perusahaan pengembangan perumahan sebanyak 8 kali letusan konflik.
Pada sektor pertambangan sebanyak 21 letusan konflik dengan luasan mencapai 213.048 hektar dan melibatkan 122.082 KK. Konflik di sektor ini didominasi oleh pertambangan batubara dan nikel, masing-masing sebanyak 7 letusan konflik. Disusul tambang emas dengan 4 (empat) letusan konflik. Sisanya, tambang pasir, seng dan batu andesit masing-masing sebanyak 1 (satu) letusan konflik.
“Dominasi ketiga sektor di atas (perkebunan, pembangunan infratruktur dan tambang) tidaklah mengherankan, sebab ketiganya merupakan proyek-proyek unggulan pemerintah. Apalagi investasi dan bisnis di sektor pertambangan sering diklaim sebagai salah satu tumpuan pemulihan ekonomi nasional setelah dihantam badai Covid-19,” kata Dewi.
Sementara pada sektor kehutanan tercatat 20 letusan konflik di 2022. Luasnya mencapai 328.056 hektar dan memberi dampak pada 13.635 keluarga. Konflik di sektor ini didominasi oleh konsesi-konsesi HTI sebanyak 15 letusan konflik dan konflik antara masyarakat dengan klaim-klaim hutan lindung sebanyak 5 letusan konflik.
Luasnya konflik agraria kehutanan ini menandakan betapa luasnya penguasaan tanah oleh korporasi kehutanan Negara dan swasta. Bahkan laporan Kementerian LHK menunjukkan sebanyak 26.000 desa masih diklaim sebagai kawasan hutan.
Selanjutnya secara berturut ditempati oleh sektor fasilitas militer dengan jumlah 6 letusan konflik, sektor pertanian dan pesisir masing sebanyak 4 letusan konflik
Letusan konflik agraria sepanjang tahun ini melanda 33 provinsi di Indonesia. Dari 33 provinsi tersebut, Jawa Barat menempati urutan pertama dengan 25 kejadian konflik, Sumatra Utara (22), Jawa Timur (13), Kalimantan Barat (13), Sulawesi Selatan dengan 12 kejadian.
Data konflik agraria tiga tahun terakhir yang dicatat KPA menunjukkan periode kedua pemerintahan Jokowi menunjukkan kenaikan angka kasus kriminalisasi. Sejak tahun 2020 hingga 2022 terjadi 767 kasus kriminalisasi agraria. Realitas agraria yang patut menjadi alarm darurat agraria, saat aspirasi hak-hak konstitusional agraria oleh rakyat direspon dengan kekerasan dan upaya pembungkaman perjuangan.
Tingginya angka kriminalisasi didukung oleh cara-cara penanganan yang selalu menggunakan aparat keamanan dalam penanganan konflik. Tak pelak pendekatan-pendekatan tersebut selalu berujung pada kasus penahanan sepihak, sebab lagi-lagi aparat kepolisian gagal memahami akar dari persoalan konflik agraria yang terjadi.
“Target-target pemulihan ekonomi pasca krisis akibat pandemi Covid-19 nampaknya menjadi alasan semakin represifnya Negara dalam menangani konflik-konflik agraria yang meletus di lapangan. Berbagai penolakan yang terjadi di lapangan akhirnya membuat pemerintah memilih jalan pintas, memukul mundur perlawanan masyarakat,” imbuh Dewi.