LIPUTAN KHUSUS:

Wabah Flu Burung Picu Kemungkinan Limpahan ke Manusia


Penulis : Kennial Laia

Wabah flu burung yang tengah merebak di sejumlah negara menimbulkan kekhawatiran di kalangan ilmuwan tentang kemungkinan adanya potensi pandemi baru.

Satwa

Rabu, 18 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sebagian wilayah Eropa dan Amerika Utara tengah mengalami wabah flu burung terburuk yang pernah tercatat. Fenomena ini mendorong sekelompok peneliti global dalam modus siaga, yang didorong oleh kekhawatiran tentang dampak penyakit tersebut terhadap manusia. 

Antara tahun 2005 dan 2021, telah terjadi gelombang flu burung yang meninggalkan dampak signifikan di seluruh dunia. Sepanjang periode itu, terjadi kematian dan pemusnahan lebih dari 300 juta ayam, bebek, dan angsa. Burung liar turut menjadi korban dalam jumlah yang tidak diketahui. 

“Ada kekhawatiran tentang potensi pandemi,” kata Wendy Blay Puryear, ahli virologi molekuler di Tufts University. “Sebelum Covid ada di radar siapa pun, kami telah mengawasinya dengan sangat cermat.” 

Saat ini virus ini dianggap berisiko rendah bagi manusia, kata Puryear. “Namun, apa pun yang memiliki kemampuan untuk bereplikasi dan berevolusi dengan cepat, dan apapun yang memiliki kemampuan untuk menginfeksi banyak inang yang berbeda adalah sebuah bom waktu.” 

Burung bangau menjadi salah satu spesies yang mengalami kematian akibat flu burung. Dok Heidi Levine/SIPA/Shutterstock

Sebagian besar fokus para ahli adalah pada H5N1, flu burung yang sangat patogen yang turut memicu lonjakan kasus di seluruh dunia. Virus ini pertama kali diidentifikasi di sebuah peternakan angsa di Guangdong, China pada 1996. Virus ini telah muncul di setidaknya 63 spesies burung liar dan telah menunjukkan dirinya mampu menginfeksi mamalia seperti kucing hutan, anjing laut pelabuhan, dan beruang.

Ketika semakin banyak virus menyebar, maka semakin besar pula kemungkinannya menyebar ke manusia, kata Thijs Kuiken, seorang profesor di departemen viroscience di Erasmus University Medical Center di Rotterdam. Menurutnya, setelah virus menginfeksi manusia, kekhawatiran selanjutnya adalah virus tersebut dapat beradaptasi lebih lanjut untuk memungkinkan penularan dari manusia ke manusia. 

“Kemungkinannya sangat kecil, tetapi dampaknya – jika memang terjadi – sangat besar. Karena itu berarti kita akan menghadapi pandemi influenza baru,” kata Kuiken. Dia menunjuk flu tahun 1918 yang diyakini telah membunuh sebanyak 50 juta orang, sebagai contoh pandemi yang dikaitkan dengan flu burung dan berasal dari unggas. 

Saat H5N1 menyebar ke seluruh dunia, dampaknya terhadap manusia memicu alarm. Antara tahun 2003 dan Oktober 2022, virus tersebut muncul pada 865 manusia di 21 negara, dan mengakibatkan 456 kematian. Meskipun kasus ini – sebagian besar di Afrika dan Asia – dikaitkan dengan penanganan unggas hidup yang terinfeksi ketimbang penularan dari manusia ke manusia, angka tersebut menunjukkan bahwa virus tersebut “memiliki tingkat kematian kasus yang tinggi pada orang yang terinfeksi”, kata Kuiken.

Ian Barr, wakil direktur Pusat Kolaborasi WHI untuk Referensi dan Penelitian Influenza di Melbourne mengatakan, kemungkinan virus memerlukan lebih dari satu atau dua mutasi untuk memungkikan penularan dari manusia ke manusia. 

“Kita tidak pernah sepenuhnya tahu tentang virus ini… tetapi mereka telah bersama kita selama 18 tahun dalam berbagai bentuk. Selama itu pula mereka belum mendapatkan fungsi yang mudah menular ke manusia,” kata Barr. 

“Kami berharap bahwa virus ini sulit melakukannya. Tetapi lagi-lagi itu sesuatu yang tidak sepenuhnya kami ketahui,” tambah Barr. 

Barr menggambarkannya sebagai permainan angka. “Semakin banyak virus yang ada di luar saa, semakin banyak spesies yang mereka infeksi. Semakin lama mereka bertahan, maka semakin besar kemungkinan sesuatu untuk bermutasi atau menjadi serba salah atau berubah kembali dengan konsekuensi yang tidak diinginkan.”

Meski begitu, upaya untuk menghentikan penyebaran jenis virus ini diperumit oleh prevalensinya pada burung liar, kata Rebecca Poulson dari College of Veterinary Medicine di University of Georgia. 

“Kami tahu burung bergerak sangat jauh,” kata Poulson. “Dan jika burung-burung ini terinfeksi dan menyebarkan virus saat mereka bergerak melintasi bentang alam, mereka dapat menyebarkannya cukup luas dalam waktu yang sangat singkat.” 

Kehadiran virus pada burung liar dan unggas ternak telah memungkinkannya menyebar di antara populasi dan memperkuat penyebarannya, kata Nichola J Hill, asisten profesor biologi di University of Massachusetts di Boston.

“Saya pikir kita dulu berpegang teguh pada gagasan bahwa kita dapat mengendalikan virus pada unggas, dan itu bukan masalah,” katanya. "Namun sekarang kita menghadapi era baru karena virus ini pun menginfeksi burung liar. Ini adalah situasi yang jauh lebih kompleks dalam hal mencari tahu bagaimana mengendalikannya dan memprediksi ke mana arah selanjutnya."

Namun, yang jelas adalah bagaimana peran yang dimainkan oleh sistem pangan kita dalam membawa kita ke titik ini, kata Hill, mengutip tingginya kepadatan unggas yang terlihat di peternakan komersial dan kesamaan genetik dari sebagian besar hewan. 

“Semua ini mengarah pada situasi yang sudah matang bagi virus untuk mendapatkan pijakan dan kemudian berkembang menuju virulensi,” pungkas Hill.

 

Artikel ini diadaptasi dari Guardian