LIPUTAN KHUSUS:

El Niño 2023: Rekor Gelombang Panas Ekstrem Diprediksi Terjadi


Penulis : Kennial Laia

Dengan kehadiran El Niño, suhu bumi diprediksi sangat mungkin melebihi 1.5C tahun ini.

Perubahan Iklim

Jumat, 20 Januari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Fenomena iklim El Niño pada akhir tahun ini diprediksi terjadi kembali. Para ilmuwan mengatakan hal ini akan menyebabkan suhu global naik menembus rekor dan menghasilkan gelombang panas yang belum terjadi terjadi sebelumnya. 

Perkiraan awal mengindikasikan El Niño akan kembali pada akhir tahun 2023, yang memperburuk cuaca di seluruh dunia. Suhu bumi juga diprediksi sangat mungkin melebihi 1.5C. Untuk diketahui, tahun paling terpanas (2016) yang pernah tercatat dipicu oleh El Niño.

El Niño merupakan bagian dari osilasi alami yang didorong oleh suhu lautan dan angin di Pasifik. Peristiwa ini beralih antara El Niño, La Niña yang lebih dingin, dan kondisi netral. Tiga tahun terakhir telah terjadi serangkaian peristiwa La Nina berturut-turut yang tidak biasa. 

Walau baru memasuki Januari, tahun 2023 diperkirakan akan lebih panas dari 2022. Tahun lalu disebut sebagai tahun terpanas kelima atau keenam dalam catatan, menurut kumpulan data global. Selain itu El Niño akan terjadi selama musim dingin di belahan bumi utara dan efek pemanasannya baru dirasakan berbulan-bulan kemudian. Artinya tahun 2024 kemungkinan besar akan membuat rekor suhu global baru. 

Ilustrasi gelombang panas ekstrem. Foto: iStock

Gas rumah kaca yang dipancarkan oleh aktivitas manusia telah meningkatkan suhu global rata-rata sekitar 1,2C hingga saat ini. Hal ini telah menyebabkan dampak bencana di seluruh dunia. Mulai dari gelombang panas yang membakar Amerika Serikat dan Eropa hingga banjir dahsyat di Pakistan dan Nigeria, yang merugikan jutaan orang. 

“Sangat mungkin El Niño besar berikutnya dapat membawa kita lebih dari 1.5C,” kata Prof Adam Scaife, kepala prediksi jarak jauh di Kantor Meteorologi Inggris, dikutip Guardian. “Saat ini kemungkinan kita berada di suhu 1.5C dalam periode lima tahun adalah 50:50.” 

“Dengan perubahan iklim, dampak peristiwa El Niño akan semakin kuat, dan Anda harus menambahkannya dengan dampak perubahan iklim itu sendiri, yang terus meningkat setiap saat,” jelas Scaife. “Jika kedua hal ini bersatu, kita akan cenderung melihat gelombang panas yang belum terjadi sebelumnya selama El Niño berikut.”

Dampak fluktuasi siklus El Niño-La Niña dapat dilihat di banyak wilayah di dunia, kata Scaife. “Saat ini sains dapat memberi tahu kita kapan hal ini akan terjadi beberapa bulan ke depan. Jadi kita benar-benar perlu menggunakannya dan lebih siap, mulai dari kesiapan layanan darurat hingga tanaman apa yang akan ditanam.” 

Meskipun El Niño disebut akan menambah cuaca ekstrem, tingkat keparahannya masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.

Prof Bill McGuire, di University College London, Inggris, mengatakan saat El Niño tiba, cuaca ekstrem yang mengamuk di seluruh planet bumi pada 2021 dan 2022 akan menjadi tidak berarti. 

Sementara itu Prof Tim Palmer, di University Oxford bilang: “Hubungan antara cuaca ekstrem dan suhu rata-rata global tidak terlalu kuat. [Tetapi] efek termodinamika dari perubahan iklim akan membuat anomali yang kita dapatkan dari El Niño menjadi lebih ekstrem.” 

Namun skala kemungkinan El Niño masih belum jelas. Prof Andy Turner, di University of Reading, mengatakan: "Banyak model prakiraan musiman menunjukkan datangnya kondisi El Nino moderat dari musim panas 2023." Gambarannya akan jauh lebih jelas pada bulan Juni, kata para ilmuwan.

Fenomena El Niño-La Niña adalah penyebab terbesar perbedaan cuaca dari tahun ke tahun di banyak daerah. Pada tahun-tahun La Niña, angin pasat Pasifik timur-ke-barat lebih kuat, sehingga mendorong air permukaan yang hangat ke barat dan menarik air yang lebih dalam dan lebih dingin di timur. Peristiwa El Niño terjadi ketika angin pasat berkurang, memungkinkan air hangat menyebar kembali ke arah timur, menutupi air yang lebih dingin dan menyebabkan peningkatan suhu global.

Negara-negara yang berbatasan dengan Pasifik barat, termasuk Indonesia dan Australia, mengalami kondisi yang lebih panas dan kering. “Anda cenderung mengalami banyak kekeringan, banyak kebakaran hutan,” kata Scaife, meskipun China dapat mengalami banjir di cekungan Yangtze setelah El Niño besar.

Sementara itu musim hujan India, dan hujan di Afrika bagian selatan juga dapat ditekan. Daerah lain, seperti Afrika timur dan Amerika Serikat bagian selatan, yang keduanya mengalami kekeringan baru-baru ini, dapat mengalami lebih banyak hujan dan banjir. Di Amerika Selatan (AS), wilayah selatan lebih basah. Namun Amazon menjadi lebih kering. 

“Efek El Niño juga dapat dirasakan hingga pertengahan garis lintang belahan bumi utara, dengan kemungkinan kondisi yang lebih basah di Spanyol mulai musim panas dan kondisi yang lebih kering di pesisir timur AS pada musim dingin dan musim semi berikutnya,” kata Turner. 

Palmer mengatakan pertanyaan terbesar yang belum terjawab adalah apakah perubahan iklim mendorong lebih banyak peristiwa El Niño atau lebih banyak peristiwa La Niña.

“Hal itu sangat penting bagi negara-negara yang ingin melakukan adaptasi jangka panjang, dan akan membutuhkan model iklim beresolusi lebih tinggi. Itu hanya bisa terjadi dengan komputer yang lebih besar.”

Palmer dan koleganya menyerukan pendirian pusat internasional untuk pemodelan iklim senilai $1 miliar, serupa dengan Large Hadron Collider yang memungkinkan fisikawan partikel internasional bekerja bersama.